Meninjau Kembali Kedekatan Kita dengan Nabi Muhammad

Betapa banyak orang yang berdekatan di dunia ini, namun sejatinya mereka terpisah begitu jauh. Kita bahkan tak menemukan jalan untuk membuat mereka berdekatan, meski hanya setapak saja. Apa sih sebenarnya hakikat dari sebuah kedekatan? Apakah kedekatan itu ketiadaan jarak? Ataukah tautan jiwa yang berdiri di atas gugusan rindu dan serpihan pengorbanan dua manusia yang terpisahkan jarak dan waktu?
Setelah dipikir-pikir, ternyata bayangan yang ditangkap oleh mata kita adalah kedekatan yang bisa kita raba eksistensinya secara real. Iya, itulah kedekatan indrawi.Tapi percaya atau tidak, kedekatan jenis ini jarang sekali membuat mata kita tertuju padanya. Bahkan kita seringkali tak menyadari keberadaannya.
Kedekatan selanjutnya adalah kedekatan yang disebabkan oleh tautan perasaan. Kedekatan semacam ini tidak mengenal jarak dan waktu pada hakikat dirinya. Maka berapapun jauhnya jarak dan waktu, kedekatan maknawi ini cenderung konstan, bahkan semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya hari.
Kemudian dalam kehidupan sehari-hari, justru kedekatan maknawi inilah yang selalu menaungi hari-hari manusia. Dari kedekatan emosional inilah berbagai macam inspirasi bermekaran. Dari sanalah ide-ide brilian mulai menampakkan jati dirinya. Dari sanalah daya khayal mendapatkan suntikan energinya untuk membahasakan kediktatoran sebuah jarak yang memisahkannya. Dari sanalah perasaan cinta dan rindu membias kelabilan jiwa, di mana pada saat-saat tertentu cekikikan  membahasakan kebahagiaannya, sedangkan di lain waktu sedu sedan mengisyaratkan gelisah jiwa dan perihnya hati yang tertinggal pergi.
Jadi, yang menjadi tolak ukur sebuah kedekatan dalam dinamika kehidupan ini adalah kedekatan emosional atau kedekatan perasaan. Apalah arti sebuah jarak, jika hati dua pecinta larut dalam dimensi yang bahasa sendiri tak kuasa menerangkan maknanya, apalagi hendak menjelaskan hakikatnya.
Kemudian atas dasar inilah mengapa Nabi Muhammad tidak pernah tertelap zaman, meski hanya sedetik saja.Tidak ada yang menampik bahwa beliau telah pergi ke ribaan Tuhan lebih dari 14 abad yang lalu. Lalu merupakan kejanggalan dalam pola pikir, jika mengingkari eksistensi sang Nabi di dalam hati kaum muslimin, selama pengakuaan jiwa bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, masih terdengar sayup-sayupnya di atas muka bumi ini.
Jika adanya demikian, maka jangan sekali-kali heran, jika anda mendapati begitu banyak cara kaum muslimin mengaktualkan kedekatannya dengan sang Nabi. Ada yang memilih menyendiri, lalu dalam keheningan, ia merangkai bisikan-bisikan jiwanya menjadi syair-syair doa dan pujian kepada sang Nabi. Di lain tempat, ada beberapa gelintir manusia yang bahu membahu mengadakan festival peringatan kelahiran sang Nabi. Atau di lain waktu, berpuluh-puluh album mengenai manakib Nabi dirilis ke khalayak ramai. Begitu juga dengan berbagai macam cara kaum muslimin lainnya, yang tentu sangat banyak jika diulas di sini.
Namun yang menjadi titik tekan di sini adalah bagaimana mengaktualkan kedekatan kita dengan sang Nabi, agar sejalan dengan prinsip-prinsip agung Islam, serta bersesuaian prioritas kebutuhan personal pemegang identitas muslim, jika dilihat dari realitas kaum muslimin dewasa ini.
Tidak ada yang salah jika kedekatan kita dengan sang Nabi menjadi titik tolak inovasi kita dalam merangkai kata-kata indah nan jujur terkait sang Nabi. Tidak ada yang salah jika kedekatan yang divisualkan dalam bentuk festival tersebut menjadi titik tolak untuk mempelajari hakikat sang Nabi --berikut perjuangan tiada henti beliau dalam membumikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta-- dengan tujuan mengikuti jejak agung beliau.
Namun yang perlu ditinjau kembali adalah ketika syair-syair pujian dan berbagai macam genre selawat, hanya menjadi tampilan yang menghiasi lidah dan mengundang decak kagum manusia.Sementara gaya hidup kita semakin pragmatis di mana kepentingan menjelma sesembahan, dan hidup kita sendiri menempuh jalan yang bertolak belakang dengan jalan sang Nabi. Atau lidah kita dengan tanpa beban menyenandungkan bahwa Nabi-lah makhluk Tuhan yang paling pantas dipuji, sementara omongan dan sikap kita sama sekali tak pantas mendapatkan pujian. Atau kita berkoar-koar bahwa Nabi sangat humanis dan menghargai perbedaan, sementara kita diam saja melihat saudara-saudara kita sesama manusia dibantai, bahkan kita dengan bangganya mendukung orang-orang yang merestui pembantaian tersebut.
Begitu juga dengan perlunya meninjau kembali berbagai macam festival peringatan kelahiran Nabi, yang dikhawatirkan hanya menjadi rutinitas tahunan saja. Tidak ada yang berubah dari festival-festival tersebut; konten ceramahnya itu-itu saja, parade selawat yang itu melulu, ritual dan zikirnya hanya itu-itu saja, dan lain sebagainya.
Akibatnya, muncul dugaan kalau kedekatan kita dengan sang Nabi yang divisualkan dalam berbagai macam festival di atas, merupakan solusi praktis dari ketidakmampuan kita mengimplementasikan ajaran-ajaran sang Nabi secara utuh dalam kehidupan personal kita, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita ringkih dalam meneladani sang Nabi, namun di satu sisi, kita ingin menujukkan kepada manusia kalau kita mencintai beliau. Akhirnya festival-festival peringatan kelahiran sang Nabi menjadi sarana yang paling efektif untuk menutupi kebobrokan kita ini, di samping mencari simpati politik orang banyak.
Kejadian semacam ini disebabkan karena paradigma kita yang menganggap bahwa kedekatan emosional kita dengan sang Nabi hanya sebatas ungkapan perasaan rindu dan cinta saja. Sehingga layaknya seorang pecinta, yang hanya mencukupi dirinya dengan tampilan yang seperlunya saja, agar yang dicinta percaya keseriusan cinta sang pecinta.
Sedangkan pada hakikatnya, kedekatan emosional kita dengan sang Nabi tidak terbatas pada proses pengungkapan cinta dan rindu. Sama sekali tidak. Ini semua karena Islam yang dibawa oleh sang Nabi tidak hanya sebatas ungkapan saja. Melainkan mencakup seluruh elemen kehidupan; mulai dari yang paling kecil hingga paling besar, mulai dari konsepsi hingga penerapannya, mulai dari menapaki kehidupan hingga hembusan napas terakhir.
Oleh karena itu, daripada tersibukkan oleh bermegah-megahan dalam mengadakan festival peringatan kelahiran Nabi, lebih baik orang tersebut --sebagaimana kata Syekh Muhammad al-Ghazali-- bangkit meluruskan dirinya sendiri dan memperbaiki keadaannya, agar ia dekat dengan jalan hidup seorang Muhammad; baik saat hidup maupun mati, saat berperang maupun berdamai, dalam ilmu maupun pengamalannya, dalam kebiasaan maupun ibadah-ibadahnya.
Dari sini terbukti, betapa banyak orang yang mengaku dekat dengan Nabi, atau merasa diri sepenuhnya mengikuti jalan Nabi lewat penampilan luarnya saja; namun sejatinya ia sangat jauh dan bertolak belakang dengan ruh ajaran Islam itu sendiri. Ini semua tidak akan terjadi kecuali karena pemahaman yang dangkal, dan pola pikir yang keliru.
Kemudian keadaan seperti inilah yang menuntut setiap pemegang identitas muslim untuk merenungi lebih dalam pelajaran-pelajaran penting dan butiran-butiran hikmah dari sejarah hidup sang Nabi, bukan semata-mata mengikuti alur kisah hidup beliau dari lahir hingga meninggal dunia. Karena di dalam perjalanan beliau ada kehalusan budi pekerti, sempurnanya pengorbanan, semangat yang selalu terbakar, dan sinar optimisme dalam menggapai cita-cita.
Jika boleh memberikan usulan terkait buku yang membahas hikmah dan pelajaran penting dalam sejarah hidup sang Nabi, maka penulis merekomendasikan buku Fikih Sirah milik Syekh Muhammad al-Ghazali, atau buku dengan judul yang sama karya Dr. Muhammad Said Ramadan al-Buty.

Islamic Missions City, 9 Rabiul Awal 1435 H
Ahmad Satriawan Hariadi

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India