Aku selalu merasa bahwa napas tak akan lama
lagi. Sehingga, tindakan terburu-buru dalam segala hal, selalu menjadi sifat
yang menonjol dalam diriku. Aku selalu tergesa-gesa dalam menggapai mimpi dan
harapanku. Aku ingin keduanya berada di depan mataku saat ini juga. Akibatnya,
akupun mendapati begitu banyak kegagalan dalam hidupku. Sungguh benar bijak
bestari ketika mengatakan, "Ketergesaan seringkali mengakibatkan
kegagalan."
Aku selalu merasa bahwa denyut jantung ini
sebentar lagi akan berhenti. Karena itu, aku ingin sekali melihat titisan darahku
sebelum menutup mata untuk selama-lamanya. Baik laki-laki maupun perempuan, aku tak peduli. Kata mereka,
yang pertama untuk membusungkan dada di depan manusia, sedangkan yang kedua
untuk memahami arti dari kasih sayang saat senjakala nanti. Aku tetap saja tak
peduli.
Aku belum berpikir terlalu jauh untuk itu.
Karena saat ini aku hanya ingin benar-benar menjadi manusia, dengan keberadaan titisanku
di pangkuanku. Merasakan indahnya hidup dari keringat sendiri, tanpa bergantung
kepada siapapun selain kasih sayang langit. Menyadari sekaligus merasakan
betapa kerasnya penghidupan ini.
Aku selalu memimpikan kehadiran
titisanku. Mengkhayalkan suasana ketika kudapati fokusku hanya pada bagaimana agar ia tak seperti bapaknya
yang hidupnya selalu bimbang dan setengah-setengah. Bagaimana agar ia tak bodoh
dan sok pintar seperti bapaknya. Bagaimana agar ia tak menjadi pembangkang dan
pengkritik seperti bapaknya.
Ada perasaan yang sangat sulit terbahasakan
ketika aku melihat balita ditimang-timang. Ada kerinduan hati yang begitu besar
terhadap sosoknya di pangkuanku. Ada hasrat untuk berlama-lama dengannya. Ada
angin halus yang membelaiku ketika mendapatinya begitu polos; senyumnya,
cekikikannya, tangisnya, dan semuanya.
Namun tahukah kamu, jika aku sangat muak
ketika melihat balita itu dibentak-bentak oleh ibunya. Aku sangat benci ketika
melihatnya tersedu-sedu, sementara sang ibu terus memukulinya. Aku sangat murka
ketika sang ibu memaksa anaknya untuk berhenti menangis dengan mencubit
telinganya atau menyumpal mulutnya.
Kini aku digerayangi beberapa pertanyaan:
Bukankah aku terlalu dini untuk memimpikan seorang titisan? Bukankah aku
terlalu terburu-buru untuk hal itu? Bukankah aku belum mempunyai ibu dari titisanku?
Bukankah para gadis itu seakan menjauh sejauh-jauhnya untuk menjadi calon ibunya?
Bukankah ketergesaan itu seringkali membuat manusia pulang dengan tangan
kosong? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Memang benar, aku belum kepikiran mengenai
sosok ibunya. Sama sekali belum. Karena sampai saat ini, belum ada sosok ibu
yang membuat mataku tertuju kepadanya, mengisi relung hatiku, membuat waktuku
tertahan beberapa saat ketika menatap matanya. Sungguh belum ada. Lalu jika
adanya demikian, bagaimana mungkin aku berpikiran untuk merajut ikatan sakral yang
bernama pernikahan itu? Oh begitu jauhnya.
Namun anehnya aku begitu rindu dengan sosok titisanku.
Aku merasa ia begitu dekat. Sangat dekat. Jangan Tanya aku mengapa bisa
demikian. Sebab akupun tidak tahu alasannya. Sungguh aneh diriku, yang ingin
menyebrangi selat Lombok tapi tidak mempunyai perahu.
Titisanku! Bagaimanapun buruknya keadaanku
saat ini, aku merindukan sosokmu sedalamnya. Sangat dalam.
Islamic Missions City, 5 Maret 2014
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment