Titisan Darah

Aku selalu merasa bahwa napas tak akan lama lagi. Sehingga, tindakan terburu-buru dalam segala hal, selalu menjadi sifat yang menonjol dalam diriku. Aku selalu tergesa-gesa dalam menggapai mimpi dan harapanku. Aku ingin keduanya berada di depan mataku saat ini juga. Akibatnya, akupun mendapati begitu banyak kegagalan dalam hidupku. Sungguh benar bijak bestari ketika mengatakan, "Ketergesaan seringkali mengakibatkan kegagalan."
Aku selalu merasa bahwa denyut jantung ini sebentar lagi akan berhenti. Karena itu, aku ingin sekali melihat titisan darahku sebelum menutup mata untuk selama-lamanya. Baik laki-laki maupun perempuan, aku tak peduli. Kata mereka, yang pertama untuk membusungkan dada di depan manusia, sedangkan yang kedua untuk memahami arti dari kasih sayang saat senjakala nanti. Aku tetap saja tak peduli.
Aku belum berpikir terlalu jauh untuk itu. Karena saat ini aku hanya ingin benar-benar menjadi manusia, dengan keberadaan titisanku di pangkuanku. Merasakan indahnya hidup dari keringat sendiri, tanpa bergantung kepada siapapun selain kasih sayang langit. Menyadari sekaligus merasakan betapa kerasnya penghidupan ini.
Aku selalu memimpikan kehadiran titisanku. Mengkhayalkan suasana ketika kudapati fokusku hanya pada bagaimana agar ia tak seperti bapaknya yang hidupnya selalu bimbang dan setengah-setengah. Bagaimana agar ia tak bodoh dan sok pintar seperti bapaknya. Bagaimana agar ia tak menjadi pembangkang dan pengkritik seperti bapaknya. 
Ada perasaan yang sangat sulit terbahasakan ketika aku melihat balita ditimang-timang. Ada kerinduan hati yang begitu besar terhadap sosoknya di pangkuanku. Ada hasrat untuk berlama-lama dengannya. Ada angin halus yang membelaiku ketika mendapatinya begitu polos; senyumnya, cekikikannya, tangisnya, dan semuanya.  
Namun tahukah kamu, jika aku sangat muak ketika melihat balita itu dibentak-bentak oleh ibunya. Aku sangat benci ketika melihatnya tersedu-sedu, sementara sang ibu terus memukulinya. Aku sangat murka ketika sang ibu memaksa anaknya untuk berhenti menangis dengan mencubit telinganya atau menyumpal mulutnya.
Kini aku digerayangi beberapa pertanyaan: Bukankah aku terlalu dini untuk memimpikan seorang titisan? Bukankah aku terlalu terburu-buru untuk hal itu? Bukankah aku belum mempunyai ibu dari titisanku? Bukankah para gadis itu seakan menjauh sejauh-jauhnya untuk menjadi calon ibunya? Bukankah ketergesaan itu seringkali membuat manusia pulang dengan tangan kosong? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Memang benar, aku belum kepikiran mengenai sosok ibunya. Sama sekali belum. Karena sampai saat ini, belum ada sosok ibu yang membuat mataku tertuju kepadanya, mengisi relung hatiku, membuat waktuku tertahan beberapa saat ketika menatap matanya. Sungguh belum ada. Lalu jika adanya demikian, bagaimana mungkin aku berpikiran untuk merajut ikatan sakral yang bernama pernikahan itu? Oh begitu jauhnya.
Namun anehnya aku begitu rindu dengan sosok titisanku. Aku merasa ia begitu dekat. Sangat dekat. Jangan Tanya aku mengapa bisa demikian. Sebab akupun tidak tahu alasannya. Sungguh aneh diriku, yang ingin menyebrangi selat Lombok tapi tidak mempunyai perahu.
Titisanku! Bagaimanapun buruknya keadaanku saat ini, aku merindukan sosokmu sedalamnya. Sangat dalam.

Islamic Missions City, 5 Maret 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India