Dalam
berbagai kesempatan, kita merasakan diri kita begitu cepat terbawa suasana di
sekitar kita. Ketika di dalam majelis ilmu, kita larut dalam ketenangan jiwa
dan kerendahan hati. Kasih sayang Allah begitu terasa di dalam setiap napas
yang kita hembuskan. Hati kita yang selama ini tandus oleh kelalaian dan
kesalahan, kini mendapat percikan keimanan dan keinsyafan, di dalam setiap
detik yang terlewati.
Namun
berbeda halnya ketika mejelis telah usai. Kita seakan terbangun dari tidur panjang.
Lalu merajut kembali untaian dosa dan silap. Kebersamaan Allah tak lagi kita
rasakan. Tak ayal, kita pun berbuat seenaknya saja. Kita tak peduli lagi dengan
batasan-batasan yang telah digariskan Allah di dalam hidup kita.
Kemudian
dampak yang tak terelakkan dari corak kehidupan kita yang di atas adalah sikap
kita yang selalu overaktif; baik secara mental maupun fisik. Ketika kita
ditimpa kesusahan penghidupan, kita berkeluh kesah sejadi-jadinya. Kemudian
ketika kita diliputi keluangan penghidupan, kita begitu egoistis menikmati
anugerah Allah. Kita bertingkah seakan yang hidup di dunia ini hanya kita saja.
Sementara manusia di mata kita umpama barang dagangan yang bisa perlakukan
sekehendak kita. Iya, inilah kita yang sesungguhnya, makhluk yang selalu melampaui
batas.
Lalu apa
yang menyebabkan kita begitu cepat terbawa suasana di sekitar kita? Jawabannya
adalah karena kita tidak mempunyai prinsip, atau tidak memegang teguh prinsip
kita. Kita harus akui kalau tabiat manusia umpama pucuk pohon, yang begitu
pasrah pada kehendak angin.
Namun hal
tersebut tidak bisa melegitimasi kita untuk membungkukkan badan pada kemunafikan
dan kesewenangan. Inilah yang membedakan orang yang berprinsip dengan yang
lainnya. Terlebih lagi jika prinsip tersebut berdiri di atas kemurnian
penghambaan dan konsistensi dalam mengaktualkan ajaran agama kita.
Dengan
begitu, prinsip akan mengajari seseorang makna keteguhan hati dan kebesaran
jiwa. Ia tak lagi disibukkan oleh perkara remeh yang menelapkan waktunya. Ia
tak lagi bersusah payah untuk mencari muka di hadapan manusia, karena yang
berkelebat di kepalanya adalah bagaimana membuat rida Sang Pencipta, dalam
keadaan apapun. Ia tak lagi bahu membahu untuk memperelok tampilan jasadnya,
karena ia tahu bahwa ia hanya akan bernilai di mata Allah dengan keluhuran
pekertinya.
Kemudian
mengapa ruh takwa tersebut menjadi hilang begitu saja, dengan usainya sebuah
majelis ilmu? Pertanyaan ini sejatinya telah dijawab oleh Ibnul Jauzi di dalam Shaidul
Khatir. Ia menjelaskan dua alasan mengapa bisa demikian. Pertama,
karena nasihat di dalam sebuah majelis ilmu tersebut ibarat cemeti; yang
dampaknya akan berangsur hilang seiring berjalannya waktu. Kedua, kerena
jiwa yang begitu fokus, dan perhatian yang hanya tertuju pada pemaparan sang
guru; membuat seseorang tak lagi memikirkan hiruk pikuk dunia dan sempit
penghidupan.
Setelah
direnungi, penyataan Ibnul Jauzi tersebut ada benarnya, bahkan sangat selaras
dengan realitas yang kita amati. Namun penulis lebih condong kepada ketiadaan prinsip,
atau sikap kita yang tidak memegang teguh prinsip kita, jika kita sudah
mempunyai prinsip. Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa sebaik-baik prinsip
adalah prinsip yang berdiri di atas kemurnian penghambaan dan konsistensi.
Dengan
begitu seseorang tak lagi hidup bak air mengalir, karena tidak mempunyai visi
dan kuasa untuk menentukan tempat berlabuhnya. Tetapi ia hidup seperti musafir,
yang berpegang teguh pada rute perjalanannya, dan berkuasa penuh atas dirinya
sendiri. Sampai atau tidaknya ia pada tujuan, tergantung pada keteguhan hatinya
dalam menapaki pahit getir kehidupan. Tanyakanlah kepada diri kita, apakah kita
hidup seperti seorang musafir ataukah seperti air mengalir?
Islamic
Missions City, 14 Maret 2014
Ahmad
Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment