Ila Walady

Arahan dan nasihat merupakan salah satu dari sekian banyak aktivitas yang memiliki ketergantungan kepada siapa arahan dan nasihat itu ditujukan. Sehingga merupakan kejanggalan dalam berpikir dan kemiskinan dalam pengalaman, jika anda memberikan arahan dan nasihat kepada orang terpelajar, sebagaimana anda mengarahkan dan menasihati bocah ingusan.

Jika anda ingin menyelami permasalahan ini lebih jauh lagi, maka tanyakanlah kepada diri kita sendiri, sudah berapa banyak arahan dan nasihat yang masuk ke telinga kita? Lalu dari sekian banyak arahan dan nasihat itu, berapa banyak yang mengena dan mengubah paradigma kita dalam menapaki hidup ini?

Kemudian kita harus menyadari bahwa setiap masa memiliki gaya hidup, cita rasa, dan paradigmanya masing-masing. Lalu atas dasar inilah kita harus tahu, bahwa arahan dan nasihat akan lebih mengena, jika selaras dan seiring dengan perkembangan zaman. Dengan begitu, arahan dan nasihat juga memiliki ketergantungan pada kapan kedua hal tersebut disampaikan.

Jika kita menilik jumlah buku arahan dan nasihat secara keseluruhan, maka sebagian besar diperuntukkan untuk usia dini hingga remaja. Jika anda pernah mengenyam pendidikan di pesantren, maka anda tidak akan asing dengan buku-buku semisal Akhlaqu lil Banin atau Akhlaq lil Banat. Atau jika anda menilik perbukuan di Mesir, maka buku-buku semisal al-Mursyid al-Amin akan banyak anda temukan.

Lalu kita akan dibuat keteteran saat diminta untuk mencari buku arahan dan nasihat yang dikhususkan untuk mahasiswa sarjana maupun pascasarjana. Iya, buku yang terkategori demikian nyaris tidak ada. Padahal, di dalam kenyataannya, mahasiswa --yang pada hakikatnya memiliki kejiwaan yang begitu labil-- juga tidak kalah butuh terhadap arahan dan nasihat, sebagaimana anak kecil membutuhkan keduanya. Iya, arahan dan nasihat yang sesuai dengan dunia, kapasitas, cita rasa, dan paradigma mahasiswa.

Lalu dalam hal ini, buku Ila Walady, menurut saya, sejauh ini merupakan satu-satunya buku arahan dan nasihat yang sangat sesuai dengan dunia, kapasitas, cita rasa, dan paradigma mahasiswa. Buku setebal 159 halaman ini merupakan kumpulan artikel pemikir sekaligus sastrawan besar Mesir, Ahmad Amin, di majalah bulanan Al-Hilal. Pada akhir tahun 1949, majalah Al-Hilal meminta Ahmad Amin untuk menulis silsilah artikel yang berjudul “Risalah Ila Waladi”, yang memuat arahan, nasihat dan pengalaman berharga Ahmad Amin kepada para mahasiswa. 

Namun yang membuat buku ini terasa begitu spesial dan begitu mengena adalah karena buku ini lebih diperuntukkan kepada mahasiswa yang jauh-jauh meninggalkan kampung halamannya, alias mahasiswa rantau. Mengapa? Karena saat Ahmad Amin menulis buku ini, walady (anakku) yang dimaksudkan di sana adalah putra Ahmad Amin yang waktu itu kebetulan sedang menimba ilmu di Inggris.

Sehingga tidak heran, pada arahan dan nasihat yang kedua, Ahmad Amin berbicara mengenai tiga tipe dan karakteristik mahasiswa yang merantau belajar ke Eropa. Selain itu, Ahmad Amin juga berbicara tentang politik ala mahasiswa. Ia sembari menjelaskan dengan santun bagaimana bentuk politik mahasiswa yang konstruktif, berikut yang destruktif. Hal-hal semacam ini, menurut saya, sangat penting bagi kita, selaku mahasiswa rantau, untuk kita kaji dan renungkan secara mendalam.

Di samping itu, saya mendapati uslub Ahmad Amin di dalam buku ini jauh berbeda dengan uslubnya di dalam buku-bukunya yang pernah saya baca; semisal Hayati, Zu’ama al-Islah fi al-Ashr al-Hadits, Fajru a-Islam, Duha al-Islam, dan sebagian dari Zuhru al-Islam. Saya melihat uslub Ahmad Amin di dalam Ila Walady ini memadukan antara uslubnya Taha Hussein dan Ahmad Hasan al-Zayyat. Meskipun begitu, ciri khas Ahmad Amin di dalam hal kejelasan maknanya, keluasan wawasannya, kedalaman pemikirannya, dan ketajaman analisisnya; tetap seperti sedia kala, sebagaimana kita dapati di dalam buku-bukunya yang lain. []


Islamic Mission City, 23 September 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Mengambil Risiko

Merupakan sebuah kemestian bahwa selalu ada risiko yang setia menanti anda di balik setiap pilihan. Jika anda ingin seperti kerikil yang berserakan di jalanan, maka anda cukup bersikap masa bodoh dengan sekeliling anda.

Lalu jika anda ingin nama anda harum dikenang sejarah, maka tidak ada teman bagi anda selain pengorbanan dan pengorbanan. Kemudian tiba saatnya anda harus menentukan pilihan; apakah mau menjadi kerikil atau tidak. Semuanya kembali kepada diri anda, bukan orang lain.

Atas dasar inilah kita jangan sampai terhenti pada poin kekaguman saja saat membaca kisah mereka yang harum dikenang sejarah. Kita juga jangan sampai lupa bahwa ada risiko besar yang mereka ambil untuk harumnya sebuah keabadian.

Kita harus tahu bahwa di balik nama besar mereka, ada tubuh yang berharikan keletihan, ada tumpukan beban pikiran yang menelapkan kenyamanan dan memasung ketenangan, ada rajutan derita dalam setiap langkah yang tertapaki, dan ada untaian cobaan dan malapetaka yang menghalangi tertuainya mimpi dan harapan.

Tidak sadarkah kita bahwa keberanian itu --sebagaimana kata al-Mutanabbi-- membuat celaka, dan kedermawanan itu membuat miskin? Apakah kita mengira bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya hanya santai dan berleha-leha di rumah mereka saat menyebarkan agama Allah?

Artinya, semakin harum namanya seseorang di dalam sejarah, semakin besar pula risiko yang ia ambil. Pertanyaannya adalah seberapa besar risiko yang anda ambil untuk keabadian anda kelak?
   
Saya merasa bahwa hal yang membuat fakta sejarah, berubah menjadi khayal belaka di mata kita, adalah karena ketidakberanian kita mengambil risiko besar. Penyebabnya pun beragam; apakah karena kita terlalu mementingkan diri sendiri, atau terbuai oleh keindahan dan kenyamanan sesaat, atau mungkin karena mentalitas inferior yang mewabahi negeri ini sudah begitu mengakar di dalam diri kita. []


Hay Sabie, 12 September 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

Karena Aku Mencintaimu

Biarlah kita berjarak
Berseberangan jauh
Bila perlu tak bersua
Agar kita merasa

Biarlah rasa terpasung
Tersekat kesedihan
Meratapi masa suram
Bersama sesal malam

Kedekatan saat ini
Hanya awal tangis sepi
Tawa riang bersama
Hanya awal derita

Bilamana ia datang
Meyekar kubur rindu
Menyirami gersang hati
Menemani kembali


Asrama Turki, Hay Sabie, 1 September 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India