Merekonstruksi Intelektualitas Masisir



Ketika kita menemukan kata “rekonstruksi”, maka yang terbesit dalam benak kita adalah adanya upaya menghidupkan atau membangun kembali sesuatu yang sebelumnya pernah eksis, namun di dalam perjalanannya mengalami stagnasi dan akhirnya hilang. Sedangkan kata “intelektualitas” yang kita inginkan disini adalah geliat keintelektualan yang termanifestasi dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti talaqqi dan kajian; serta geliat kekaryaan yang termanifestasi dalam produktivitas ilmiah seperti peneluran karya-karya, dan lain-lain.

Empat tahun belakangan ini, diakui atau tidak, iklim intelektualitas masisir memang berada pada posisi yang sangat menyedihkan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya talaqqi dan kajian pernah menjadi trending style masisir, maka saat ini kita akan semakin sulit menemukan wajah-wajah masisir di majelis-majelis yang senantiasa eksis di Masjid al-Azhar. Hal senada juga terjadi pada kelompok-kelompok kajian masisir yang eksistensinya kini masih dipertanyakan oleh para pemerhati dinamika masisir, karena keadaan kelompok kajian tersebut yang semakin tertatih-tatih karena sepi peminat.

Jika kedua hal tersebut (talaqqi dan kajian) tidak lagi menjadi corak khas masisir, maka kita jangan sekali-kali heran apabila kita terus menerus kagum dengan buah karya para pendahulu kita, karena sampai saat ini kita tak kunjung produktif seperti mereka. Begitu juga dengan para pendahulu kita yang terus menerus mendiskreditkan karya-karya tulis ilmiah masisir belakangan ini, entah karena mutu tulisan atau daya analisis masisir yang amat dangkal. Atau kita jangan sampai kaget, jika karya-karya masisir yang muncul ke permukaan adalah kumpulan diary yang dibukukan dan kontemplasi-kontemplasi yang agaknya kurang layak untuk disematkan pada komunitas intelektual yang tak seharum namanya, yaitu masisir.

Pada pertengahan 2012 ini, iklim intelektualitas masisir mendapat sedikit angin segar, karena salah satu kelompok kajian berhasil membukukan karya-karya tulis ilmiah para anggotanya. Artinya, bahwa memang  ada upaya untuk merekonstruksi intelektualitas masisir yang sempat mati suri beberapa tahun belakangan ini. Masisir boleh saja membuat semacam spesialisasi dalam konteks geliat keintelektualan dan kekaryaan, begitu juga orientasi dan karakteristik pada kelompok-kelompok kajian yang mereka geluti, sehingga bisa menciptakan iklim keilmuan dan kekaryaan yang dinamis dan elegan dengan diadakannya dialog lintas kelompok kajian.

Beralih kepada media aktualisasi intelektualitas masisir, yaitu jurnal ilmiah keislaman. Jika sebelumnya kita pernah mendengar Jurnal OASE milik ICMI, yang pernah menjadi lambang supremasi intelektualitas masisir pada akhir dekade 90an, begitu juga dengan jurnal-jurnal masisir yang diterbitkan setelahnya semacam Jurnal HIMMAH milik PPMI, Jurnal Al-Umran milik PCIM, Jurnal AFAQ milik MUNTADA, Jurnal QATHRUNNADA milik WIHDAH, dan lain sebagainya; maka kemana media-media yang menjadi media aktualisasi intelektualitas masisir tersebut? Mana hasil geliat kekaryaan yang notabene merupakan buah dari geliat keilmuan tersebut?

Mungkin anda akan menjawab Jurnal HIMMAH. Maka penulis katakan bahwa memang Jurnal HIMMAH merupakan satu-satunya jurnal ilmiah masisir yang masih eksis. Namun jika anda mencermati dapur redaksi jurnal milik PPMI tersebut, maka anda akan mendapati keluhan yang menjadi-jadi dari para awak redaksi. Mengapa? Karena begitu sulitnya mencari sosok masisir yang mau menulis karya ilmiah, yang termanifestasi dalam hasil penelitian (lapangan maupun kepustakaan), gagasan konseptual, kajian, dan aplikasi teori.

Jika pun ada masisir yang bersedia menulis, maka anda jangan heran jika harapan staf redaksi harus pupus, karena beberapa penulis mengundurkan diri di tengah jalan. Tidak berhenti sampai di situ, pada penerbitan Jurnal HIMMAH volume 7, nomor 1, Februari 2012 kemarin, berbagai macam kritikan dari para pemerhati jurnal di berbagai forum, terus menghujani terkait kualitas tulisan-tulisan yang dimuat jurnal tersebut. Namun penulis melihatnya sebagai semacam suplemen kepada awak redaksi dan masisir pada umumnya untuk terus meningkatkan kualitas tulisan dan semakin mempertajam daya analisisnya.

Gebrakan-gebrakan untuk menghidupkan kembali geliat keilmuan dan kekaryaan masisir saat ini memang sangat dibutuhkan, mengingat kondisi iklim intelektualitas masisir yang semakin memburuk. Khalayak pun masih ingat dengan artikel yang pernah dimuat oleh Buletin TEROBOSAN pada April 2012 yang berjudul “Masisir, Komunitas Mahasiswa?”. Penulis artikel tersebut berpendapat bahwa ada empat tipologi masisir saat ini, yaitu mahasiswa akademis, mahasiswa aktivis, mahasiswa hedonis, dan mahasiswa materialis. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa tipologi mahasiswa yang menghegemoni masisir saat ini adalah mahasiswa aktivis dan mahasiswa meterialis.

Dari gambaran keadaan masisir yang diutarakan oleh penulis artikel tersebut, maka yang terbesit dalam benak kita adalah bahwasanya geliat keilmuan dan kekaryaan masisir memang perlu direkonstruksi secepat mungkin. Selain itu, paradigma akademis yang menjadi kerangka dasar sebuah komunitas intelektual, harus sesegera mungkin mengabolisi paradigma materialis yang menjadi trending style masisir saat ini. Dengan demikian, untuk merealisasikan upaya rekonstruksi intelektualitas tersebut, diperlukan sebuah gebrakan dari para pemangku kebijakan seperti KBRI, PPMI, dan organisasi-organisasi lainnya untuk terus bersinergi guna membangun kembali iklim intelektualitas yang dinamis dan progresif.

15/07/2012

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India