Kaum Terpelajar, Sejauh Mana?



Secara alami, kita sering memusuhi apa yang tidak kita ketahui. Bahkan, dengan pengetahuan kita terhadapnya yang masih setengah-setengah, kita semakin memusuhi hal tersebut. Hal tersebut, menurut pandangan penulis, sangatlah wajar. Bagaimana tidak, minat kita untuk lebih banyak membaca, kemudian menganalisis, lalu keluar dengan kesimpulan yang matang dan dipertanggungjawabkan—memang belum sampai kepada hal tersebut.

Hal tersebut juga diakui oleh sastrawan Arab terkemuka, Taha Hussein (1889-1973), terlepas dari pandangannya yang kontroversial. Menurutnya, minat kita terhadap membaca hal-hal yang berat memang sudah sangat menurun. Media-media, lanjutnya, merupakan hal-hal yang sangat ringan dan tidak membutuhkan jerih payah dan akal yang matang untuk memahaminya. Jika dicermati, apa yang dikatakan oleh Taha Hussein ada benarnya, dan sangat sejalan dengan apa yang kita lihat pada masa kita saat ini. Kaum terpelajar yang tugas utamanya adalah belajar dan belajar, sudah melupakan jati dirinya sendiri. Mereka lebih condong kepada hal-hal yang bersifat materi dan berpola pikir pendek.

Jika para pendahulu menjadikan materi sebagai penunjang untuk keberlangsungan studi mereka; seperti perjuangan Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu—maka kaum terpelajar saat ini menjadikan studi sebagai penujang keberlangsungan bisnis mereka; seperti visa pelajar yang dimanfaatkan untuk bekerja. Jadi, anda saat ini jangan berpikir masalah minat baca mereka, tapi seyogianya berpikir bagaimana mengubah paradigma kaum terpelajar ini. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sehingga hal ini bukan saja menjadi kebiasaan, melainkan sudah menjadi karakter kaum terpelajar kita saat ini.

Jika setengah abad yang lalu sastrawan sekaligus pemikir Arab, Ahmad Amin (1886-1954) di dalam Faydh al-Khâthir, mengeluhkan keadaan kawula muda yang tidak mau menelaah dan mempekerjakan otaknya untuk membaca dan menanalisis buku-buku besar, sehingga mereka cenderung terbiasa dengan bacaan-bacaan yang tidak menguras energi dan pikiran; semacam koran, majalah, dan cerita-cerita ringan—maka saat ini kita jangan sampai mengeluhkan yang sama. Sebab kawula terpelajar belakangan ini memang tidak mau membaca dan belajar. Kita akan mendapati bahwa cita-cita yang begitu mulia dan tinggi akan berbanding terbalik dengan upaya untuk mengaktualkannya.

Maka produktivitas kaum terpelajar kita saat ini berada pada titik nadir yang ironis. Mereka sudah tidak lagi berpikir tentang sumbangsih kepada agama dan negaranya. Mereka sudah tidak lagi berpikir masalah peradaban. Mereka sudah tidak lagi berpikir masalah ketertinggalan. Mereka hanya bisa berkomentar dan berkomentar. Mereka hanya bisa mengkritik. Lidah mereka bukan lagi aktualisasi kematangan nurani dan pikiran, melainkan bahasa nafsu yang pedas dan menyakiti perasaan. Mereka hanya bisa memikirkan keuntungan apa yang bisa diraup untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Sampai kapan engkau seperti ini wahai kaum terpelajar?

Islamic Missions City, 8 Syawal 1433 H

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India