Jika takdir
memberikan pilihan untuk menentukan hari kesedihan, maka aku akan memilih hari
ini. Iya, hari ini adalah hari kesedihan. Aku menangis sejadi-jadinya. Semua
dimensi kehidupan memaksaku ringkih, lalu menyenandungkan isakan. Anda mungkin
bertanya-tanya, mengapa hari ini harus menjadi hari tangisan? Mengapa hari ini
kudapati perasaanku tersayat-sayat, seraya berharap agar aku dimakzulkan saja
dari pentas kehidupan ini?
Hari ini, aku
mencederai Hanif, sahabatku sendiri. Saat bermain bola, aku mendorongnya hingga
tulang selangkanya patah. Tak pelak, aku digerayangi rasa bersalah. Hanya saja,
aku tak mau melakukan pencitraan, sehingga aku hanya akan menunjukkan rasa
penyesalan dan perhatianku tatkala manusia memandang, namun saat tak ada mata
yang tertuju kepadaku, aku mengacuhkan Hanif tanpa perasaan bersalah
sedikitpun.
Oleh sebab
itu, aku membiarkan orang-orang menunjukkan rasa ibanya kepada Hanif, sampai
mereka puas. Akupun terkesan biasa-biasan saja. Hanya saja hatiku merintikkan gerimis
kesedihan saat kulihat Hanif menggerutu karena perih yang dirasakannya. Siapa
yang tahu jerit hati ini? Tidak ada.
Itulah
penyebab kesedihan yang pertama. Kesedihan selanjutnya adalah ketika seseorang
yang sangat saya hormati --di samping usianya yang enam tahun lebih tuan dariku
dan keakraban yang sudah sangat lama terjalin-- mengarahkan telunjukknya ke
arah kepalanya seraya mengatakan, “Ini kamu berfungsi nggak sih? Tulisannya saja yang mengajak orang untuk ini dan itu,
tapi ternyata..”
Bagai disambar
petir, tidak pernah terpikir olehku kalau dia akan mengeluarkan kata-kata
penyayat hati tersebut. Aku tak bisa berkata-kata. Aku menarik Hanif agar kami
berdua segera beranjak dari tempat itu, lalu berjalan menuju ke arah halte. Kini, kudapati orang
tersebut tak lagi mendapat tempat di hatiku.Tempat orang-orang yang kuhormati
dan kuhargai.
Kata-kata
orang tersebut masih terngiang-ngiang di telingaku. Semakin kuingat, semakin
kubenci orang itu. Sangat benci. Karena tak kuasa menahan peri, kubiarkan air
mataku meleleh saat menginjakkan kaki di kamarku. Aku terus saja menangis.
Selain memikirkan keadaan Hanif yang begitu mengenaskan di samping ia masih
memiliki dua mata kuliah untuk diujikan, aku juga disibukkan oleh perkataan
orang itu. Keduanya menjelma gebar isakan.
***
Setelah
berkemas-kemas, aku melangkahkan kakiku menuju Rumah Sakit Rab’ah di mana Hanif
akan melakukan Rontgen. Anda mungkin tidak percaya, kalau ternyata di sinilah
puncak dari kesedihan itu. Kenapa bisa? Karena inilah pertama kalinya aku
menginjakkan kakiku di tanah Rab’ah setelah delapan bulan lebih. Aku belum
pernah menginjak tanah ini semenjak ujian kenaikan tingkat musim panas tahun
kemarin.
Kulihat
sekeliling tanah itu. Ada banyak yang berubah; masjidnya, taman kotanya, dan
monumen barunya. Ada beberapa mobil polisi yang parkir di samping masjid
Rab’ah. Kulihat puluhan polisi dengan persenjataan lengkap berjaga-jaga di
sepanjang jalan.
Sembari
berjalan menuju rumah sakit, sekelebat bayangan darah manusia yang pernah
bersimbah di atas pijakanku ini kembali memaksaku meringis lagi. Dalam hati,
aku tidak mau berpanjang-panjang mendeskripsikan Rab’ah berikut tragedinya yang
kini menjadi lambang ketegaran, sebab aku tidak mau air mataku menetes lagi
saat menulis tulisan ini.
Aku tidak
peduli dengan keadaan sekelilingku. Aku mempercepat langkahku menuju rumah
sakit sambil mengusap air mataku. Saat itu pula aku merasa eksistensiku
tergerus sedikit demi sedikit. Lengkap sudah deret tangis dan kesedihan hari
ini. Iya, tangis dan tangis.
***
Kini aku tidak
tahu harus bagaimana, kurasakan semua arah yang kutuju menampakkan mimik yang
begitu masam. Kulihat orang-orang di sekelilingku, lalu kudapati guratan dahi
mereka mengkerut seakan mengatakan, “Enyahlah dari hidup ini!”
Namun di balik
semua kesedihanku hari ini, aku hanya bisa berterima kasih kepada Sang
Pencipta, karena ada sayup-sayup harapan yang Ia kirim lewat seseorang. Orang
itu begitu asing bagiku, karena aku sama sekali tidak pernah bertemu
dengannya.Tapi tahukah kamu jika ia begitu dekat kurasakan. Sangat dekat. Ia
bukan kekasihku. Ia juga bukan sahabatku. Yang kurasakan, dia adalah diriku
sendiri. Baik-baiklah di sana. Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikanmu.
Islamic Missions City, 14 Januari 2014
Ahmad
Satriawan Hariadi
9 komentar:
Apa kau tahu bahwa air mata sebenarnya prajurit terkuat yang bisa kau andalkan setiap kali terluka? Tak ada yang bisa meringankan sakit yang menekan tengkukmu selain dia. Yah..kau harus mulai bersikap masa bodoh kepada mereka yang hanya melihat permukaan. Mereka hany dapat bisa menuntut tanpa mengetahui matamu sembab gara-gara pilu. Tapi setidaknya paragraf akhir lumayan bagus, karena itu bukti masih ada yang peduli. Kamu kuat, meski kadang harus jatuh. Yeah..semua orang juga pernah jatuh, kan? You know what i mean
Laki-laki dan air mata itu ibarat musim panas dan hujan. Anda pun tahu, musim panas tidak mau ritual tahunannya untuk menghangatkan bumi diganggu oleh hujan. Sehingga kita sangat mendapati hujan saat musim panas. Jika pun ada hujan, maka itulah titik nadir ketidakberdayaan musim panas.
Ya, I know what you mean..
Hujannya hanya datang satu hari saja, biarkan dia datang agar musim panas tak terlalu menyengat
Yah, benar..
Sesekali waktu hujan memang harus turun agar musim panas tidak terlalu percaya diri..
Bukan, sesekali harus disapa hujan agar musim panas mengenal kesejukan ^_^
Kesejukan? Iya juga sih..
Iya..kesejukan yang memang pahit. Tapi setelah itu, setidaknya seseorang datang dan peduli. Iya, kan?
Iya.. Iyaaa.. Saya harus bersyukur sama Allah..
dan harus senyum lagi...hehehe
Post a Comment