Kasih Tak Sampai

Fajar merekah dengan berbagai untaian ketenangan di dalamnya. Saat hamba-hamba Tuhan bersimpuh dalam ketundukan dan pengabdian, di dalam sebuah ruangan kecil, ada seorang yang dirundung duka dan perih. Ia sangat sedih saat orang yang begitu dicintainya mengatakan kepadanya bahwa ia sama sekali tak mempunyai tempat di hatinya.

Ia begitu ingat bagaimana --beberapa pekan terakhir ini-- pikiran dan jiwanya tersekat di dalam ruang yang bernama cinta. Iya, dia mencintai gadis itu dengan seluruh yang ada pada dirinya. Hembusan napasnya, langkah kakinya, pandangan matanya, goresan tangannya, ruang pikirannya, relung hatinya; semuanya menyebut-nyebut nama gadis yang dicintainya.

Ia telah menempuh berbagai upaya agar sang gadis bisa melihat riak-riak harapan yang ada di pelupuk matanya. Agar sang gadis bisa menangkap getaran jiwa yang dipancarkan oleh tatapan matanya. Agar sang gadis bisa mengajak hatinya untuk membaca untaian ketulusan dan pengorbanan, agar sang gadis percaya bahwa ia tidak main-main.

Ia sebelumnya begitu bahagia karena langit berkenan membukakan pintu cinta di dalam hatinya. Jauh sebelum itu, ia selalu bertanya-tanya, mengapa dirinya belum juga merasakan bagaimana indahnya tersekat cinta dan rindu. Mengapa belum juga ada gadis yang mampu mengambil hatinya, padahal tak terhitung, sudah berapa gadis yang datang menyatakan perasaannya secara langsung maupun tidak langsung.

Iya, ia begitu bahagia, karena mulai saat ini, ia tidak akan mendengar ejekan dari sahabat-sahabatnya karena tak kunjung menemukan belahan jiwanya. Ia begitu bahagia karena ibunya tidak lagi mencemaskan dirinya, karena kesendirian yang begitu betah menemaninya selama ini. Ia begitu bahagia, karena mulai saat ini, ia bakal benar-benar menjadi seorang laki-laki.

Namun apa yang terjadi? Idealisme gadis itu telah menelapkan riak harapan yang ada di pelupuk matanya. Idealisme gadis itu telah merobohkan taman mimpinya. Ia begitu tak berdaya saat ia tahu bahwa ia sama sekali tak mempunyai tempat di hati sang gadis.

Kebahagian sesaat yang ia rasakan --setelah ia tahu bahwa ia kini bisa jatuh cinta-- harus dibalas dengan kepedihan tak berujung. “Mengapa barus sekarang?” ia menggerutu. “Mengapa kamu harus mengulur-ulur waktu, hingga ketika hati ini benar-benar berharap, kamu pada akhirnya mengatakan bahwa aku hanya orang asing yang tak pantas mendapatkan tempat di hatimu?”

Ia terus melantunkan kalimat-kalimat di atas bersama air mata yang tak berhenti menetes. Dengan isakan yang terengah-engah, ia melangkah kakinya menuju atap rumah. Ia kemudian duduk terpaku sembari melihat jauh ke arah bulan yang hampir penuh.

“Wahai Bulan,” ujarnya. “Kamu begitu indah terlihat di kejauhan sana, menemani kesunyian malam dengan cahaya lembutmu. Namun siapa yang menyangka jika kau begitu menderita, karena kau hanyalah bongkahan tanah gersang yang memuakkan. Begitu juga aku. Orang-orang akan melihatku penuh senyuman saat bertatap muka dengan mereka. Namun mereka tidak tahu kalau jauh di lubuk hatiku, ada pedih yang menyayat dan derita yang membunuh.”

Yamhullah ma yasyaa’..!


Fajar 13 Ramadan 1435 H
Ahmad Satriawan Hariadi

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India