Memusuhi 'Diam'

Aku tidak tahu, sudah berapa kali aku membaca dan mendengar berbagai seruan untuk lebih banyak diam, dalam menapakai alur kehidupan yang seringkali tak terprediksikan ini. Jika bicara adalah perak, maka diam adalah emas. Diam adalah tanda utama dari pemahaman yang dalam dan kepala yang berlimpahkan pengetahuan. Begitu juga dengan hikmah yang lainnya tentang diam.

Aku yang membaca ataupun mendengar tentang keajaiban diam dalam hidup; hanya bisa terkesima dalam anggukan kepalaku. Apalagi jika kamu tahu, kalau aku adalah orang yang paling cepat terprovokasi oleh kalimat-kalimat sihir yang maknanya terkadang lebih luas dan lebih dalam dari Lautan Teduh.

Namun kali ini aku tidak lagi mengelu-elukan 'diam', tak lagi terkesima olehnya, tak lagi jejak-jejak kehidupanku terdikte olehnya. Kini bagiku 'diam' tak hanya kata usang yang kehilangan esensinya, melainkan telah menjadi musuh bebuyutanku. Jika kamu ingin tahu bagaimana aku memusuhi 'diam', lihatlah bagaimana setan memusuhi manusia, hingga bukan hanya sekali dua kali Tuhan mengingatkan manusia bahwa setan adalah musuhnya yang amat nyata.

Kamu tentunya tahu bagaimana dahsyatnya permusuhan yang tidak pernah mengenal kata akhir itu, saat Allah mengisahkan bagaimana jawaban setan setelah ia diberi keleluasaan untuk untuk mengenyam kehidupan hingga hari kiamat. Setan menjawab, "Sebagaimana Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan menghalang-halangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian akan kudatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Lalu Engkau tidak akan mendapati kebanyakan dari mereka yang bersyukur." Atau teguran Allah terhadap bapak kita Adam, setelah ia tertipudaya oleh Setan, "Bukankah Aku telah melarang kalian berdua untuk mendekati pohon itu dan mengatakan bahwa Setan adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?!"

Kamu mungkin bertanya kenapa diam yang sebelumnya sangat kukagumi, tiba-tiba menjadi musuh nomor wahid bagiku. Iya, aku memusuhi diam sejadi-jadinya karena ia telah menyiksaku begitu pedih, mengacak-acak perasaanku, dan membuat hidupku terluntai-luntai di tengah kerumunan manusia. 'Diam' begitu kasar kepadaku karena aku sedang tersekat di dalam ruangan yang bernama rindu.  

Wahai 'diam', kenapa kamu harus ada?! Kenapa kamu tidak lenyap saja dari pentas kehidupan ini?! Aku sungguh membencimu. Kenapa kamu selalu ada saat manusia belajar merindui kekasihnya?! Toh bukan manusia yang meminta rindu itu untuk menemaninya di  perapian. Akupun mulai berandai-andai, jika saja manusia tidak mengenal kata diam. Namun itu tentu saja tidak mungkin terjadi. Bodoh sekali aku ini! O 'diam', I really hate you!

Meskipun aku begitu membenci 'diam', aku tak menampik jika di balik diamnya dirimu, ada makna yang hanya bisa dijelaskan lewat diam. Iya, hanya diam dan diam. Tak ada yang lain. Kalau begitu, tetaplah diam, sayangku. Diam hingga akhirnya. 


Islamic Missions City, 18 Juni 2014

Ahmad Satriawan Hariadi

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India