Memahami Esensi Idul Fitri

Tidak ada momen yang begitu jelas menunjukkan esensi Idul Fitri selain momen ketika Nabi mengatakan, “Idul Fitri merupakan hari di mana semua manusia berbuka.” Dengan diucapkannya kalimat sederhana penuh makna ini, seakan-akan sebuah konstitusi universal tentang kemanusiaan baru saja dikumandangkan. 

Mengapa demikian? Karena kata “semua manusia” menunjukkan bahwa perbedaan strata sosial tidak akan menemukan tempatnya lagi di hati manusia. Karena kata “berbuka” mengisyaratkan bahwa pada hari yang fitri ini, kenikmatan lahir dan batin bersama-sama merangkul semua manusia dalam ikhlasnya penghambaan dan indahnya kesalingan.

Kata “berbuka” juga memiliki cakupan yang menembus batas ruang dan waktu. Ya, kata tersebut bukan sekedar istilah untuk mengakhiri puasa pada petang hari dengan makan atau minum. Sama sekali tidak! Kata “berbuka” lebih dari itu. Kata “berbuka” adalah simbol keikhlasan dan kesetiakawanan. Kata “berbuka” juga merupakan lambang supremasi totalitas penghambaan dan sempurnanya kebahagiaan. 

Artinya, ketika Nabi mengatakan demikian, maka Idul Fitri bukan sekedar perkumpulan manusia di sebuah ladang luas untuk menunaikan salat, kemudian menyimak pemaparan sang khatib. Idul Fitri juga bukan sekedar salam-salaman ataupun permohonan maaf seseorang saat bejumpa sesamanya. Akan tetapi lebih dari itu. 

Idul Fitri merupakan simbol tegaknya syiar-syiar langit. Idul Fitri merupakan lambang kebahagiaan universal yang meliputi seluruh lapisan manusia. Pada hari yang fitri inilah kesetaraan benar-benar menemukan eksistensi di alam nyata. Karena seluruh elemen masyarakat, mulai dari balita hingga kakek-nenek, dari yang paling miskin hingga yang paling kaya, dari rakyat jelata hingga penguasa tertinggi; berkumpul dan bersatu padu di bawah panji langit, sembari mengagungkan nama Sang Pencipta. 

Dengan penyebutan Idul Fitri sebagai hari berbukanya semua manusia, maka pada hari itu juga tak ada lagi sikap riya, congkak, acuh tak acuh, dan kikir. Dengan penyebutan Idul Fitri sebagai hari berbukanya semua manusia, maka yang ada pada hari itu adalah sikap ikhlas, rendah hati, solidaritas, dan kedermawanan.

Jadi, momen Idul Fitri merupakan awal tertatanya kehidupan seorang mukmin, baik secara personal maupun sosial. Idul Fitri juga merupakan waktu yang paling tepat untuk memulai hidup sebagai manusia yang utuh. Ya, manusia yang memegang teguh identitas kemanusiaannya. Manusia yang tidak tunduk kepada siapapun selain Sang Pencipta. Manusia yang berakhlak dengan akhlak khalifah Allah yang sejati. 

Manusia yang selalu menyambut hari barunya dengan hati yang lebih ikhlas, pikiran yang lebih dewasa, ilmu yang semakin dalam, wawasan yang semakin luas, dan perangai yang semakin mulia. Manusia yang setiap waktu tersibukkan untuk menata dirinya sendiri, mengarahkan sesamanya, dan melestarikan lingkungannya. Bukan manusia yang sibuk menuruti hawa nafsunya, menyakiti sesamanya, dan mencemari lingkungannya.

Dengan memahami esensi Idul Fitri sebagaimana sabda Nabi di atas, tempaan fisik dan mental selama sebulan penuh di bulan Ramadan, tidak akan berlalu sia-sia begitu saja dengan usainya bulan penuh berkah tersebut. Tidak! Ramadan, menurut penulis, merupakan langkah persiapan, untuk memulai ribuan langkah sesungguhnya yang harus ditapaki seorang muslim setelah Ramadan.

Ramadan juga merupakan satu-satunya sarana untuk mengetahui titik tertinggi kapabilitas mental dan fisik seorang mukmin dalam ibadahnya. Melalui Ramadan, kita akan mengetahui sejauh mana kejujuran kita terhadap diri kita sendiri. Kita akan menyadari seberapa jauh keimanan kita mempengaruhi gerak-gerik kita sehari-hari. Kita akan menyaksikan sejauh mana ketakwaan kita melindungi kita, agar tak terjerumus ke dalam lembah dosa dan maksiat. Kita juga akan mengetahui daya tahan fisik kita saat menapaki getirnya penghidupan.

Kemudian timbul pertanyaan besar kepada diri kita. Apakah tempaan Ramadan selama sebulan penuh tersebut akan berlalu begitu saja? Sanggupkah kita menjadikan hari-hari kita setelah Ramadan layaknya hari-hari Ramadan? Akankah kita, yang sudah berpuasa sebulan penuh, tetap menjadi sosok malaikat berwujud manusia yang --sebagaima kata Grand Sheikh Mahmud Shaltut-- tidak berbohong, tidak saling mencurigai, tidak saling fitnah, tidak membuat rencana jahat terhadap orang lain, tidak menipu, dan tidak memakan harta manusia dengan batil?

Itulah segelintir pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh keikhlasan diri dan konsistensi perbuatan kita.

Dengan memahami esensi Idul Fitri yang sesungguhnya, kita mestinya mulai untuk memanusiakan orang lain. Mulai memanusiakan orang lain berarti kita mulai menerima dan menghargai segenap perbedaan; apakah itu perbedaan suku, ras, mazhab, pandangan politik, bahkan agama. Mulai memanusiakan orang lain berarti mulai menatap manusia dengan tatapan kasih sayang. Mulai memanusiakan orang lain berarti mulai mengerahkan segala kemampuan moril maupun materiil untuk meringankan beban penghidupan sesama.

Kita tentunya tahu, jika Allah berkehendak, maka seluruh umat manusia akan sama-sama kaya, akan sama-sama berkulit putih, akan sama-sama berada di bawah naungan Islam. Namun kehendak Allah berkata lain. Ya, Allah menghendaki sebagian umat manusia tetap berada di jalan yang menyimpang, agar kita sepenuhnya menyadari bahwa hidayah Allah masih bersama sebagian yang lain. Karena jika tidak ada keburukan, maka kebaikan tidak akan pernah ada wujudnya di muka bumi. Begitulah sunnatullah.

Keburukan maupun penyimpangan yang muncul dari perbuatan manusia sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk membenci manusia. Yang bisa kita lakukan adalah membenci perbuatannya, bukan manusia itu sendiri. Karena bagaimana mungkin kita membenci makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah ketika Ia berfirman, “Sungguh Kami benar-benar telah memuliakan keturunan Adam.”
 
Dengan demikian, memahami esensi Idul Fitri secara utuh, merupakan sarana yang paling tepat untuk memanifestasikan “sebaik-baik umat” ke dalam kehidupan nyata. Karena dengan memahami esensi Idul Fitri, seseorang secara tidak langsung telah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Itu semua karena ia menyadari, bahwa Allah telah menghendaki kebaikan untuk segala eksistensi di atas permukaan bumi ini. Sehingga mau tidak mau, ia pun mulai berlaku baik terhadap semua ciptaan Allah, tanpa pandang pandang bulu. []


Ahmad Satriawan Hariadi
Islamic Mission City, 26 Juli 2014

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India