Katakan
wahai sahabatku, mengapa sayup-sayup kesedihan ini tak juga mau beranjak dari tatapan
matamu? Begitu kejikah dunia ini memperlakukanmu, hingga tak ada lagi
bayang-bayang senyuman dari bibirmu?
Kamu terus
saja mengacuhkanku dengan tatapan kosongmu ke arah kacamata di atas meja itu.
Aku tidak mendapati isyarat dari wajahmu jika kamu mendengarkan apa yang
kukatakan atau hendak melafazkan beberapa kata.
Kurasakan
keheningan ini semakin menjadi-jadi. Tetapi kacamata itu sama sekali tak
terlepas dari tatapanmu walau sejenak saja, sahabatku. Mengapa? Ada apa dengan
kacamata itu? Itukah jawaban dari kebisuanmu ini terkait pertanyaan-pertanyaanku
beberapa saat yang lalu?
Aku pun
mengambil kacamata itu lalu menatapnya dengan saksama. Pada gagangnya hanya
tertulis: "Jangan mengenakannya!". Mataku terbalak penuh keheranan.
Apakah sikap apatis yang diperlihatkan sahabatku karena ulah kacamata ini? Tanpa
berpikir panjang, aku langsung mengenakan kacamata itu.
Lalu apa
yang terjadi?
Aku
merasakan diriku berada di dalam ruang yang lapang namun pekat. Sesaat kemudian
kulihat sosok diriku tak jauh di depan sana. Iya, aku melihat diriku sendiri,
namun di atas layar putih. Terpikir olehku saat itu juga kalau kacamata ini
adalah kacamata hakikat, yang dengannya aku bisa melihat hakikat diriku
sendiri dan orang lain berikut keadaannya, di atas sebuah layar.
Ternyata
dugaanku benar. Kuikuti dengan saksama 'film hakikat' ini. Kulihat diriku bukan
seperti diriku yang yang kukenal. Dalam film ini, aku mendapati diriku sebagai
sosok penjilat, egois, dan diktatoris. Aku tidak pernah benar-benar tulus
melakukan apapun dalam hidupku.
Aku
melihat diriku sangat senang memuji orang lain, namun tahukah kamu jika pujian
palsu tersebut hanya untuk menipu orang lain seakan-akan aku mencintai mereka?!
Aku sering
mengatakan kalau aku sangat mencintai hal-hal yang sementinya dicintai; seperti
almamater dan para guruku. Tapi tahukah kamu jika itu hanya propaganda dan
kamuflase agar aku dikenal sebagai pembela keduanya?!
Sehingga tatkala
ada orang kritis yang mempertanyakan kebijakanku, aku mendapatkan pembelaan
dari para pecinta guru dan almamaterku. Sedang pada hakikatnya, aku sendiri
hampir tidak pernah menghadiri majelis mereka, apalagi untuk memahami seutuhnya
apa yang dipelajari di almamaterku, berikut metode pembelajarannya.
Aku begitu
semangat melakukan pendekatan dengan siapapun yang kudapati kepentinganku dalam
dirinya, lalu mengatasnamakan hajat orang banyak. Aku rela menunggu berjam-jam,
bahkan berhari-hari agar aku bisa merampungkannya. Tapi tahukah kamu kalau
kerja keras yang terlihat dari diriku selama ini hanyalah pelindung dari badai
kritikan yang ditujukan kepadaku?!
Karena
logikanya: bagaimana mungkin aku yang sudah bersusah payah melakukan ini dan
itu untuk kepentingan orang banyak, lalu kamu, yang duduk-duduk atau
tidur-tiduran di sana, seenaknya saja mengkritik, menyalahkan, dan seakan-akan
tidak menghargai jerih payahku?!
Sebagai tindakan
konkretnya, aku tidak akan segan-segan mengancam orang-orang yang mencoba
mengkritik dan memojokkanku, entah itu dengan tulisan maupun ucapan mereka.
Kukatakan kepada mereka kalau aku mempunyai para loyalis yang siap membuat
mereka babak belur, jika tidak menghapus atau mencabut kembali
kritikan-kritikan mereka kepadaku.
Di atas
layar itu, kudapati diriku sebagai sosok yang merasa mempunyai 'kekuasaan',
sehingga aku sangat benci dengan orang-orang yang mencoba menggoyahkan
kekuasaanku. Akupun akhirnya mengambil kebijakan bahwa mereka harus dijauhkan
dari bayang-bayang kekuasaanku ini, agar stabilitasnya terjaga.
Kemudian aku
sangat gemar berkoar-koar bahwa aku sama sekali tidak memihak kepada siapapun.
Tapi tahukah kamu, kalau hal itu hanya semacam siasat, untuk mencari muka di
hadapan orang-orang yang belum mengenalku atau tidak tahu banyak tentang
diriku. Akhirnya mereka pun bersimpati kepadaku, sesaat kemudian mereka berdiri
dibelakangku.
Kulihat
diriku di atas layar itu sebagai sosok yang merasa memiliki segudang
pengalaman. Sehingga dalam semua even-even yang aku adakan, aku tidak butuh
dengan ide-ide brilian orang lain dan persiapan yang matang. Aku hanya butuh
kesiapan ekstra mereka pada hari H saja.
Lalu kudapati
diriku sebagai sosok yang sangat percaya diri dan merasa sangat pintar. Aku tidak
segan untuk mengatakan bahwa aku layak untuk dihargai. Kemudian dalam berbagai
kesempatan aku berbicara dengan gagahnya tanpa sadar sedikitpun begitu banyak
kesalahan fatal di sana; isinya, kaidahnya, etikanya, dan lain-lain.
Selanjutnya
agar semua orang percaya bahwa aku dekat dengan berbagai lapisan manusia, aku
tidak akan malu-malu untuk berpose secara tidak lazim dengan orang-orang yang
semestinya dihormati, atau sosok yang manusia menjaga jarak darinya sebagai
bentuk respek mereka.
Tampilan berikutnya
adalah hakikat orang-orang yang terlihat dekat denganku. Pada tampilan ini,
kudapati ubun-ubunku terbakar dengan dahsyatnya. Bagaimana tidak, tenyata
orang-orang yang selama ini kuanggap dekat dan akrab, ternyata menaruh
kebencian yang begitu mendalam kepadaku.
Mereka
ternyata selama ini kecewa dengan sikapku yang sangat diktatoris dan terlampau mementingkan
diriku sendiri. Sampai-sampai mereka merasa diperalat dan dimanfaatkan olehku.
Lalu setelah mendapatkan uluran tangan dari mereka, aku seakan-akan tidak
menganggap keberadaan mereka sedikitpun.
***
Semakin lama
menyaksikan 'film hakikat' ini membuat perasaanku tak karuan. Kudapati dadaku
begitu sesak dengan apa yang kusaksikan. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, aku
langsung melepas kacamata itu, lalu meletakkannya tepat di depanku. Kupandangi
kacamata itu dengan dalam. Di sisi lain kurasakan badanku menggigil begitu
dahsyat. Sesaat kemudian beberapa pertanyaan menghantui pikiranku.
Bukankah aku
menyadari semua ini sebelumnya? Bukankan aku tahu jika apa yang kutampakkan kepada
manusia selama ini tidak pernah sejalan dengan apa yang kupendam dalam hatiku? Mungkinkah
jika yang luput selama ini dari perhatianku adalah apa yang manusia lihat dan
rasakan terhadap diriku, sehingga aku melakukan apapun seenaknya saja tanpa
mempedulikan mereka?
Akhirnya aku
menyadari, mengapa sahabatku tak kuasa mengungkapkan sepatah kata pun dari
bibirnya, dan mengapa ia hanya bisa duduk termangu sambil menatap kacamata itu
dengan tatapan kesedihan.
Di sisi
lain, aku juga menyadari bahwa sesuatu, jika semakin dekat, akan semakin susah
terlihat, apalagi untuk memberikan penilaian terhadapanya. Mungkin atas dasar
inilah, mengapa kekurangan dan kebobrokan diriku umpama bintang-bintang di
langit sana. Terlihat kecil, namun sejatinya jauh lebih besar dari pijakanku
ini.
Atas dasar
itu juga, mengapa kelebihanku laksana bulan purnama. Terlihat begitu jelas di
pelupuk mata, namun tidak ada apa-apanya dibanding ukurang bintang yang berjuta
kali lipat lebih besar daripada bulan.
Akibatnya,
aku tidak pernah mau tahu dengan apa yang dikatakan orang lain terhadap diriku,
sampai akhirnya diperlihatkan sendiri oleh 'kacamata hakikat' ini. Sehingga akupun
menyadari, mengapa selama ini aku tersibukkan oleh pencapaian personal dan
gemar memperhatikan kekurangan orang lain.
Aku berdoa,
semoga bukan aku dan sahabatku saja yang diperkenankan memakai 'kacamata hakikat' ini. Aku berharap, para pemangku kebijakan di sekitarku berkenan memakainya,
agar kebohongan dan kemunafikan ini tak selamanya mendikte langkah-langkah kita
dalam menapaki kehidupan ini.
Islamic
Missions City, 1 Januari 2014
Ahmad Satriawan Hariadi