'KESENDIRIAN'

Begitu banyak orang di samping kita; di rumah, di sekolah, di tempat kerja, dan di setiap jengkal yang tertapak dari dunia ini. Bahkan jumlah manusia yang begitu banyak di dunia ini, sangat cukup menjadi alasan yang paling logis bagi manusia untuk tidak mengenal kata 'kesendirian' dalam hidupnya.
Nyatanya kebanyakan dari kita justru selalu merasa sendiri, dan senantiasa mengutuk 'kesendirian' kita tersebut. Hati kita yang gersang dan perasaan kita yang tidak menentu; merupakan indikator yang paling signifikan dari 'kesendirian' yang saya maksudkan.
Pada titik inilah kehormatan diri atau harga diri manusia, benar-benar diuji eksistensinya dalam diri kita. Karena akutnya kesendirian tersebut, kita tidak segan lagi mengumbar 'kebobrokan' kita kepada siapa saja yang dekat dengan kita saat itu, bahkan kepada orang yang menaruh kebencian yang amat dalam dengan kita.
Karena parahnya kesendirian tersebut, kita tak kuasa lagi mengontrol diri kita. Semua kekejian yang dibisikkan oleh hawa nafsu sebagai solusi, langsung saja kita laksanakan tanpa membuang-buang waktu.
Jadi, dengan kesendirian inilah kita bisa mengetahui kapasitas dan kekuatan kita sendiri dalam menapaki kehidupan. Dan yang lebih penting, hanya kesendirian inilah yang kuasa membongkar kemunafikan seseorang.
Sehingga, anda jangan heran, jika melihat orang yang begitu taat menjalankan perintah Tuhan; tiba-tiba digelandang aparat negara karena mencuri uang rakyat. Atau anda tidak perlu heran, jika anda mendapati pemimpin yang begitu ramah dan senantiasa menebar senyuman kepada khalayak; tiba-tiba diberitakan media kalau ia adalah seorang playboy yang memiliki banyak wanita simpanan.
Oleh salah seorang ulama, kesendirian ini merupakan noktah kelemahan yang seringkali dimanfaatkan oleh Iblis dalam menjalankan misinya. Jika anda tidak percaya, bacalah dengan saksama bagaimana bapak kita, Nabi Adam, saat dikeluarkan dari surga.
Simak pula, bagaimana Nabi Adam berhasil dibuat bingung oleh iblis saat mengatakan, “Tuhanmu tidak melarangmu untuk mendekati pohon ini, melainkan  supaya kalian berdua tidak menjadi malaikat, atau menjadi orang-orang yang kekal di dalam surga.” Tak ayal, seseat kemudian pertahanan sang Nabi pun runtuh, setelah iblis bersumpah seraya mengatakan, “Sungguh, aku ini adalah pemberi nasihat bagi kalian berdua.”
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa siapa saja, apapun kedudukannya, bagaimanapun taatnya; bisa saja terjerumus ke dalam hal-hal yang manusia, mungkin saja menganggapnya tidak mungkin. Jika boleh jadi kemarin ia berhasil membahasakan sempurnanya penghambaan kepada Tuhan, maka tidak menutup kemungkinan kalau hari ini ia tekena wabah 'kesendirian', lalu melakukan hal-hal yang tak layak dan jauh dari nalar sehat.
Paradigma inilah yang seringkali tidak bisa diterima oleh kebanyakan kita. Kita seringkali menatap orang-orang yang membuat kita takjub --dalam ibadah, ilmu, dan perangainya-- dengan tatapan yang infallible, alias tatapan yang membuat orang yang ditakjubi, bebas dari kesalahan dan kritikan.
Kita seringkali lupa dengan tabiat kita sendiri, yang labil secara emosional dan gerak-gerik. Akibatnya, kita hampir saja menahbiskan siapa saja yang kita kagumi layaknya seorang malaikat yang bebas dari salah dan dosa. Bahkan kita terus saja berusaha mencari alibi yang membenarkan orang yang ditakjubi, meskipun sudah terbukti bersalah.
Jikapun anda masih ragu dengan ini semua, maka berikan saya alasan yang logis mengapa Nabi Adam, yang mendapat pengajaran langsung dari Allah, masih bisa dikibuli oleh iblis?
Saya yakin, jawaban yang paling logis adalah karena adanya tabiat humanis yang melekat pada diri sang Nabi. Dan melalui momen inilah --sebagaimana kata Sayyid Qutb-- Allah kembali memberikan pelajaran kepada Adam terkait hakikat dirinya sendiri; yaitu menunjukkan kepada dirinya bahwa ia labil secara emosinal dan gerak-gerik, dan mengingatkan sang Nabi bahwa iblis, adalah musuh bebuyutan manusia hingga hari kiamat kelak.
Akhirnya, sebagai insan yang bernalar sehat, kita harus lebih humanis lagi menatap diri kita sendiri dan orang lain. Ada banyak cara yang bisa menjadikan kita lebih humanis. Salah satunya adalah memegang teguh logika pengalaman; yaitu menjadikan setiap detik yang berlalu sebagai momen berlangsungnya pembelajaran dan bertambahnya kesadaran. Tujuannya adalah agar kita lebih manusiawi lagi. Jika kita melakukan kesalahan pada hari ini, maka merupakan kejanggalan dalam nalar jika kita terjatuh ke jurang kesalahan yang sama.
Jika kita dipermainkan dan dikhianati kemarin, maka tidak mungkin kepercayaan dan respek kita terhadap manusia hari ini, masih dalam porsi yang sama. Jika kita tahu bahwa kebaikan tidak akan mendatangkan apapun selain kebaikan, maka kita tidak akan mendayagunakan waktunya kecuali untuk kebaikan. Begitulah!
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang dinaungi kasih sayang Allah dalam setiap gerak-gerik kita.

Islamic Missions City, 23 Januari 2014

Ahmad Satriawan Hariadi

Hari Kesedihan

Jika takdir memberikan pilihan untuk menentukan hari kesedihan, maka aku akan memilih hari ini. Iya, hari ini adalah hari kesedihan. Aku menangis sejadi-jadinya. Semua dimensi kehidupan memaksaku ringkih, lalu menyenandungkan isakan. Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa hari ini harus menjadi hari tangisan? Mengapa hari ini kudapati perasaanku tersayat-sayat, seraya berharap agar aku dimakzulkan saja dari pentas kehidupan ini?
Hari ini, aku mencederai Hanif, sahabatku sendiri. Saat bermain bola, aku mendorongnya hingga tulang selangkanya patah. Tak pelak, aku digerayangi rasa bersalah. Hanya saja, aku tak mau melakukan pencitraan, sehingga aku hanya akan menunjukkan rasa penyesalan dan perhatianku tatkala manusia memandang, namun saat tak ada mata yang tertuju kepadaku, aku mengacuhkan Hanif tanpa perasaan bersalah sedikitpun.
Oleh sebab itu, aku membiarkan orang-orang menunjukkan rasa ibanya kepada Hanif, sampai mereka puas. Akupun terkesan biasa-biasan saja. Hanya saja hatiku merintikkan gerimis kesedihan saat kulihat Hanif menggerutu karena perih yang dirasakannya. Siapa yang tahu jerit hati ini? Tidak ada.
Itulah penyebab kesedihan yang pertama. Kesedihan selanjutnya adalah ketika seseorang yang sangat saya hormati --di samping usianya yang enam tahun lebih tuan dariku dan keakraban yang sudah sangat lama terjalin-- mengarahkan telunjukknya ke arah kepalanya seraya mengatakan, “Ini kamu berfungsi nggak sih? Tulisannya saja yang mengajak orang untuk ini dan itu, tapi ternyata..”
Bagai disambar petir, tidak pernah terpikir olehku kalau dia akan mengeluarkan kata-kata penyayat hati tersebut. Aku tak bisa berkata-kata. Aku menarik Hanif agar kami berdua segera beranjak dari tempat itu, lalu berjalan  menuju ke arah halte. Kini, kudapati orang tersebut tak lagi mendapat tempat di hatiku.Tempat orang-orang yang kuhormati dan kuhargai.
Kata-kata orang tersebut masih terngiang-ngiang di telingaku. Semakin kuingat, semakin kubenci orang itu. Sangat benci. Karena tak kuasa menahan peri, kubiarkan air mataku meleleh saat menginjakkan kaki di kamarku. Aku terus saja menangis. Selain memikirkan keadaan Hanif yang begitu mengenaskan di samping ia masih memiliki dua mata kuliah untuk diujikan, aku juga disibukkan oleh perkataan orang itu. Keduanya menjelma gebar isakan.
***
Setelah berkemas-kemas, aku melangkahkan kakiku menuju Rumah Sakit Rab’ah di mana Hanif akan melakukan Rontgen. Anda mungkin tidak percaya, kalau ternyata di sinilah puncak dari kesedihan itu. Kenapa bisa? Karena inilah pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di tanah Rab’ah setelah delapan bulan lebih. Aku belum pernah menginjak tanah ini semenjak ujian kenaikan tingkat musim panas tahun kemarin.
Kulihat sekeliling tanah itu. Ada banyak yang berubah; masjidnya, taman kotanya, dan monumen barunya. Ada beberapa mobil polisi yang parkir di samping masjid Rab’ah. Kulihat puluhan polisi dengan persenjataan lengkap berjaga-jaga di sepanjang jalan.
Sembari berjalan menuju rumah sakit, sekelebat bayangan darah manusia yang pernah bersimbah di atas pijakanku ini kembali memaksaku meringis lagi. Dalam hati, aku tidak mau berpanjang-panjang mendeskripsikan Rab’ah berikut tragedinya yang kini menjadi lambang ketegaran, sebab aku tidak mau air mataku menetes lagi saat menulis tulisan ini.
Aku tidak peduli dengan keadaan sekelilingku. Aku mempercepat langkahku menuju rumah sakit sambil mengusap air mataku. Saat itu pula aku merasa eksistensiku tergerus sedikit demi sedikit. Lengkap sudah deret tangis dan kesedihan hari ini. Iya, tangis dan tangis.
***
Kini aku tidak tahu harus bagaimana, kurasakan semua arah yang kutuju menampakkan mimik yang begitu masam. Kulihat orang-orang di sekelilingku, lalu kudapati guratan dahi mereka mengkerut seakan mengatakan, “Enyahlah dari hidup ini!”
Namun di balik semua kesedihanku hari ini, aku hanya bisa berterima kasih kepada Sang Pencipta, karena ada sayup-sayup harapan yang Ia kirim lewat seseorang. Orang itu begitu asing bagiku, karena aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya.Tapi tahukah kamu jika ia begitu dekat kurasakan. Sangat dekat. Ia bukan kekasihku. Ia juga bukan sahabatku. Yang kurasakan, dia adalah diriku sendiri. Baik-baiklah di sana. Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikanmu.

Islamic Missions City, 14 Januari 2014

Ahmad Satriawan Hariadi 

Meninjau Kembali Kedekatan Kita dengan Nabi Muhammad

Betapa banyak orang yang berdekatan di dunia ini, namun sejatinya mereka terpisah begitu jauh. Kita bahkan tak menemukan jalan untuk membuat mereka berdekatan, meski hanya setapak saja. Apa sih sebenarnya hakikat dari sebuah kedekatan? Apakah kedekatan itu ketiadaan jarak? Ataukah tautan jiwa yang berdiri di atas gugusan rindu dan serpihan pengorbanan dua manusia yang terpisahkan jarak dan waktu?
Setelah dipikir-pikir, ternyata bayangan yang ditangkap oleh mata kita adalah kedekatan yang bisa kita raba eksistensinya secara real. Iya, itulah kedekatan indrawi.Tapi percaya atau tidak, kedekatan jenis ini jarang sekali membuat mata kita tertuju padanya. Bahkan kita seringkali tak menyadari keberadaannya.
Kedekatan selanjutnya adalah kedekatan yang disebabkan oleh tautan perasaan. Kedekatan semacam ini tidak mengenal jarak dan waktu pada hakikat dirinya. Maka berapapun jauhnya jarak dan waktu, kedekatan maknawi ini cenderung konstan, bahkan semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya hari.
Kemudian dalam kehidupan sehari-hari, justru kedekatan maknawi inilah yang selalu menaungi hari-hari manusia. Dari kedekatan emosional inilah berbagai macam inspirasi bermekaran. Dari sanalah ide-ide brilian mulai menampakkan jati dirinya. Dari sanalah daya khayal mendapatkan suntikan energinya untuk membahasakan kediktatoran sebuah jarak yang memisahkannya. Dari sanalah perasaan cinta dan rindu membias kelabilan jiwa, di mana pada saat-saat tertentu cekikikan  membahasakan kebahagiaannya, sedangkan di lain waktu sedu sedan mengisyaratkan gelisah jiwa dan perihnya hati yang tertinggal pergi.
Jadi, yang menjadi tolak ukur sebuah kedekatan dalam dinamika kehidupan ini adalah kedekatan emosional atau kedekatan perasaan. Apalah arti sebuah jarak, jika hati dua pecinta larut dalam dimensi yang bahasa sendiri tak kuasa menerangkan maknanya, apalagi hendak menjelaskan hakikatnya.
Kemudian atas dasar inilah mengapa Nabi Muhammad tidak pernah tertelap zaman, meski hanya sedetik saja.Tidak ada yang menampik bahwa beliau telah pergi ke ribaan Tuhan lebih dari 14 abad yang lalu. Lalu merupakan kejanggalan dalam pola pikir, jika mengingkari eksistensi sang Nabi di dalam hati kaum muslimin, selama pengakuaan jiwa bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, masih terdengar sayup-sayupnya di atas muka bumi ini.
Jika adanya demikian, maka jangan sekali-kali heran, jika anda mendapati begitu banyak cara kaum muslimin mengaktualkan kedekatannya dengan sang Nabi. Ada yang memilih menyendiri, lalu dalam keheningan, ia merangkai bisikan-bisikan jiwanya menjadi syair-syair doa dan pujian kepada sang Nabi. Di lain tempat, ada beberapa gelintir manusia yang bahu membahu mengadakan festival peringatan kelahiran sang Nabi. Atau di lain waktu, berpuluh-puluh album mengenai manakib Nabi dirilis ke khalayak ramai. Begitu juga dengan berbagai macam cara kaum muslimin lainnya, yang tentu sangat banyak jika diulas di sini.
Namun yang menjadi titik tekan di sini adalah bagaimana mengaktualkan kedekatan kita dengan sang Nabi, agar sejalan dengan prinsip-prinsip agung Islam, serta bersesuaian prioritas kebutuhan personal pemegang identitas muslim, jika dilihat dari realitas kaum muslimin dewasa ini.
Tidak ada yang salah jika kedekatan kita dengan sang Nabi menjadi titik tolak inovasi kita dalam merangkai kata-kata indah nan jujur terkait sang Nabi. Tidak ada yang salah jika kedekatan yang divisualkan dalam bentuk festival tersebut menjadi titik tolak untuk mempelajari hakikat sang Nabi --berikut perjuangan tiada henti beliau dalam membumikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta-- dengan tujuan mengikuti jejak agung beliau.
Namun yang perlu ditinjau kembali adalah ketika syair-syair pujian dan berbagai macam genre selawat, hanya menjadi tampilan yang menghiasi lidah dan mengundang decak kagum manusia.Sementara gaya hidup kita semakin pragmatis di mana kepentingan menjelma sesembahan, dan hidup kita sendiri menempuh jalan yang bertolak belakang dengan jalan sang Nabi. Atau lidah kita dengan tanpa beban menyenandungkan bahwa Nabi-lah makhluk Tuhan yang paling pantas dipuji, sementara omongan dan sikap kita sama sekali tak pantas mendapatkan pujian. Atau kita berkoar-koar bahwa Nabi sangat humanis dan menghargai perbedaan, sementara kita diam saja melihat saudara-saudara kita sesama manusia dibantai, bahkan kita dengan bangganya mendukung orang-orang yang merestui pembantaian tersebut.
Begitu juga dengan perlunya meninjau kembali berbagai macam festival peringatan kelahiran Nabi, yang dikhawatirkan hanya menjadi rutinitas tahunan saja. Tidak ada yang berubah dari festival-festival tersebut; konten ceramahnya itu-itu saja, parade selawat yang itu melulu, ritual dan zikirnya hanya itu-itu saja, dan lain sebagainya.
Akibatnya, muncul dugaan kalau kedekatan kita dengan sang Nabi yang divisualkan dalam berbagai macam festival di atas, merupakan solusi praktis dari ketidakmampuan kita mengimplementasikan ajaran-ajaran sang Nabi secara utuh dalam kehidupan personal kita, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita ringkih dalam meneladani sang Nabi, namun di satu sisi, kita ingin menujukkan kepada manusia kalau kita mencintai beliau. Akhirnya festival-festival peringatan kelahiran sang Nabi menjadi sarana yang paling efektif untuk menutupi kebobrokan kita ini, di samping mencari simpati politik orang banyak.
Kejadian semacam ini disebabkan karena paradigma kita yang menganggap bahwa kedekatan emosional kita dengan sang Nabi hanya sebatas ungkapan perasaan rindu dan cinta saja. Sehingga layaknya seorang pecinta, yang hanya mencukupi dirinya dengan tampilan yang seperlunya saja, agar yang dicinta percaya keseriusan cinta sang pecinta.
Sedangkan pada hakikatnya, kedekatan emosional kita dengan sang Nabi tidak terbatas pada proses pengungkapan cinta dan rindu. Sama sekali tidak. Ini semua karena Islam yang dibawa oleh sang Nabi tidak hanya sebatas ungkapan saja. Melainkan mencakup seluruh elemen kehidupan; mulai dari yang paling kecil hingga paling besar, mulai dari konsepsi hingga penerapannya, mulai dari menapaki kehidupan hingga hembusan napas terakhir.
Oleh karena itu, daripada tersibukkan oleh bermegah-megahan dalam mengadakan festival peringatan kelahiran Nabi, lebih baik orang tersebut --sebagaimana kata Syekh Muhammad al-Ghazali-- bangkit meluruskan dirinya sendiri dan memperbaiki keadaannya, agar ia dekat dengan jalan hidup seorang Muhammad; baik saat hidup maupun mati, saat berperang maupun berdamai, dalam ilmu maupun pengamalannya, dalam kebiasaan maupun ibadah-ibadahnya.
Dari sini terbukti, betapa banyak orang yang mengaku dekat dengan Nabi, atau merasa diri sepenuhnya mengikuti jalan Nabi lewat penampilan luarnya saja; namun sejatinya ia sangat jauh dan bertolak belakang dengan ruh ajaran Islam itu sendiri. Ini semua tidak akan terjadi kecuali karena pemahaman yang dangkal, dan pola pikir yang keliru.
Kemudian keadaan seperti inilah yang menuntut setiap pemegang identitas muslim untuk merenungi lebih dalam pelajaran-pelajaran penting dan butiran-butiran hikmah dari sejarah hidup sang Nabi, bukan semata-mata mengikuti alur kisah hidup beliau dari lahir hingga meninggal dunia. Karena di dalam perjalanan beliau ada kehalusan budi pekerti, sempurnanya pengorbanan, semangat yang selalu terbakar, dan sinar optimisme dalam menggapai cita-cita.
Jika boleh memberikan usulan terkait buku yang membahas hikmah dan pelajaran penting dalam sejarah hidup sang Nabi, maka penulis merekomendasikan buku Fikih Sirah milik Syekh Muhammad al-Ghazali, atau buku dengan judul yang sama karya Dr. Muhammad Said Ramadan al-Buty.

Islamic Missions City, 9 Rabiul Awal 1435 H
Ahmad Satriawan Hariadi

Kacamata Hakikat

Katakan wahai sahabatku, mengapa sayup-sayup kesedihan ini tak juga mau beranjak dari tatapan matamu? Begitu kejikah dunia ini memperlakukanmu, hingga tak ada lagi bayang-bayang senyuman dari bibirmu?
Kamu terus saja mengacuhkanku dengan tatapan kosongmu ke arah kacamata di atas meja itu. Aku tidak mendapati isyarat dari wajahmu jika kamu mendengarkan apa yang kukatakan atau hendak melafazkan beberapa kata.
Kurasakan keheningan ini semakin menjadi-jadi. Tetapi kacamata itu sama sekali tak terlepas dari tatapanmu walau sejenak saja, sahabatku. Mengapa? Ada apa dengan kacamata itu? Itukah jawaban dari kebisuanmu ini terkait pertanyaan-pertanyaanku beberapa saat yang lalu?
Aku pun mengambil kacamata itu lalu menatapnya dengan saksama. Pada gagangnya hanya tertulis: "Jangan mengenakannya!". Mataku terbalak penuh keheranan. Apakah sikap apatis yang diperlihatkan sahabatku karena ulah kacamata ini? Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengenakan kacamata itu.
Lalu apa yang terjadi?
Aku merasakan diriku berada di dalam ruang yang lapang namun pekat. Sesaat kemudian kulihat sosok diriku tak jauh di depan sana. Iya, aku melihat diriku sendiri, namun di atas layar putih. Terpikir olehku saat itu juga kalau kacamata ini adalah kacamata hakikat, yang dengannya aku bisa melihat hakikat diriku sendiri dan orang lain berikut keadaannya, di atas sebuah layar.
Ternyata dugaanku benar. Kuikuti dengan saksama 'film hakikat' ini. Kulihat diriku bukan seperti diriku yang yang kukenal. Dalam film ini, aku mendapati diriku sebagai sosok penjilat, egois, dan diktatoris. Aku tidak pernah benar-benar tulus melakukan apapun dalam hidupku.
Aku melihat diriku sangat senang memuji orang lain, namun tahukah kamu jika pujian palsu tersebut hanya untuk menipu orang lain seakan-akan aku mencintai mereka?!
Aku sering mengatakan kalau aku sangat mencintai hal-hal yang sementinya dicintai; seperti almamater dan para guruku. Tapi tahukah kamu jika itu hanya propaganda dan kamuflase agar aku dikenal sebagai pembela keduanya?!
Sehingga tatkala ada orang kritis yang mempertanyakan kebijakanku, aku mendapatkan pembelaan dari para pecinta guru dan almamaterku. Sedang pada hakikatnya, aku sendiri hampir tidak pernah menghadiri majelis mereka, apalagi untuk memahami seutuhnya apa yang dipelajari di almamaterku, berikut metode pembelajarannya.
Aku begitu semangat melakukan pendekatan dengan siapapun yang kudapati kepentinganku dalam dirinya, lalu mengatasnamakan hajat orang banyak. Aku rela menunggu berjam-jam, bahkan berhari-hari agar aku bisa merampungkannya. Tapi tahukah kamu kalau kerja keras yang terlihat dari diriku selama ini hanyalah pelindung dari badai kritikan yang ditujukan kepadaku?!
Karena logikanya: bagaimana mungkin aku yang sudah bersusah payah melakukan ini dan itu untuk kepentingan orang banyak, lalu kamu, yang duduk-duduk atau tidur-tiduran di sana, seenaknya saja mengkritik, menyalahkan, dan seakan-akan tidak menghargai jerih payahku?!
Sebagai tindakan konkretnya, aku tidak akan segan-segan mengancam orang-orang yang mencoba mengkritik dan memojokkanku, entah itu dengan tulisan maupun ucapan mereka. Kukatakan kepada mereka kalau aku mempunyai para loyalis yang siap membuat mereka babak belur, jika tidak menghapus atau mencabut kembali kritikan-kritikan mereka kepadaku.
Di atas layar itu, kudapati diriku sebagai sosok yang merasa mempunyai 'kekuasaan', sehingga aku sangat benci dengan orang-orang yang mencoba menggoyahkan kekuasaanku. Akupun akhirnya mengambil kebijakan bahwa mereka harus dijauhkan dari bayang-bayang kekuasaanku ini, agar stabilitasnya terjaga.  
Kemudian aku sangat gemar berkoar-koar bahwa aku sama sekali tidak memihak kepada siapapun. Tapi tahukah kamu, kalau hal itu hanya semacam siasat, untuk mencari muka di hadapan orang-orang yang belum mengenalku atau tidak tahu banyak tentang diriku. Akhirnya mereka pun bersimpati kepadaku, sesaat kemudian mereka berdiri dibelakangku.
Kulihat diriku di atas layar itu sebagai sosok yang merasa memiliki segudang pengalaman. Sehingga dalam semua even-even yang aku adakan, aku tidak butuh dengan ide-ide brilian orang lain dan persiapan yang matang. Aku hanya butuh kesiapan ekstra mereka pada hari H saja.  
Lalu kudapati diriku sebagai sosok yang sangat percaya diri dan merasa sangat pintar. Aku tidak segan untuk mengatakan bahwa aku layak untuk dihargai. Kemudian dalam berbagai kesempatan aku berbicara dengan gagahnya tanpa sadar sedikitpun begitu banyak kesalahan fatal di sana; isinya, kaidahnya, etikanya, dan lain-lain.
Selanjutnya agar semua orang percaya bahwa aku dekat dengan berbagai lapisan manusia, aku tidak akan malu-malu untuk berpose secara tidak lazim dengan orang-orang yang semestinya dihormati, atau sosok yang manusia menjaga jarak darinya sebagai bentuk respek mereka.
Tampilan berikutnya adalah hakikat orang-orang yang terlihat dekat denganku. Pada tampilan ini, kudapati ubun-ubunku terbakar dengan dahsyatnya. Bagaimana tidak, tenyata orang-orang yang selama ini kuanggap dekat dan akrab, ternyata menaruh kebencian yang begitu mendalam kepadaku.
Mereka ternyata selama ini kecewa dengan sikapku yang sangat diktatoris dan terlampau mementingkan diriku sendiri. Sampai-sampai mereka merasa diperalat dan dimanfaatkan olehku. Lalu setelah mendapatkan uluran tangan dari mereka, aku seakan-akan tidak menganggap keberadaan mereka sedikitpun.
***
Semakin lama menyaksikan 'film hakikat' ini membuat perasaanku tak karuan. Kudapati dadaku begitu sesak dengan apa yang kusaksikan. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, aku langsung melepas kacamata itu, lalu meletakkannya tepat di depanku. Kupandangi kacamata itu dengan dalam. Di sisi lain kurasakan badanku menggigil begitu dahsyat. Sesaat kemudian beberapa pertanyaan menghantui pikiranku.
Bukankah aku menyadari semua ini sebelumnya? Bukankan aku tahu jika apa yang kutampakkan kepada manusia selama ini tidak pernah sejalan dengan apa yang kupendam dalam hatiku? Mungkinkah jika yang luput selama ini dari perhatianku adalah apa yang manusia lihat dan rasakan terhadap diriku, sehingga aku melakukan apapun seenaknya saja tanpa mempedulikan mereka?
Akhirnya aku menyadari, mengapa sahabatku tak kuasa mengungkapkan sepatah kata pun dari bibirnya, dan mengapa ia hanya bisa duduk termangu sambil menatap kacamata itu dengan tatapan kesedihan.
Di sisi lain, aku juga menyadari bahwa sesuatu, jika semakin dekat, akan semakin susah terlihat, apalagi untuk memberikan penilaian terhadapanya. Mungkin atas dasar inilah, mengapa kekurangan dan kebobrokan diriku umpama bintang-bintang di langit sana. Terlihat kecil, namun sejatinya jauh lebih besar dari pijakanku ini.
Atas dasar itu juga, mengapa kelebihanku laksana bulan purnama. Terlihat begitu jelas di pelupuk mata, namun tidak ada apa-apanya dibanding ukurang bintang yang berjuta kali lipat lebih besar daripada bulan.   
Akibatnya, aku tidak pernah mau tahu dengan apa yang dikatakan orang lain terhadap diriku, sampai akhirnya diperlihatkan sendiri oleh 'kacamata hakikat' ini. Sehingga akupun menyadari, mengapa selama ini aku tersibukkan oleh pencapaian personal dan gemar memperhatikan kekurangan orang lain.
Aku berdoa, semoga bukan aku dan sahabatku saja yang diperkenankan memakai 'kacamata hakikat' ini. Aku berharap, para pemangku kebijakan di sekitarku berkenan memakainya, agar kebohongan dan kemunafikan ini tak selamanya mendikte langkah-langkah kita dalam menapaki kehidupan ini.

Islamic Missions City, 1 Januari 2014
Ahmad Satriawan Hariadi

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India