Introspeksi di Ujung Penghabisan


Seakan ada mata air yang tiba-tiba mengalir deras di tengah padang pasir yang tandus, bak munculnya air Zam-Zam bagi Hajar, istri Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail alaihimassalam, yang kemudian menjadi anugerah bagi umat manusia hingga hari kiamat. Bahkan ia merupakan satu-satunya mata air yang langsung berasal dari surga. Begitulah, aku mencoba menganalogikan bulan permata, bulan anugerah, bulan pembebasan dari api neraka, dan bulan yang memanusiakan manusia sesuai fitrah penciptaannya.


Kedatangannya begitu dielu-elukan, diagungkan, dan dimuliakan. Meskipun begitu, ia hanyalah sebuah fasilitas, atau wasilah yang Allah anugerahkan kepada umat Rasulullah saw. Namun bukan fasilitas biasa. Ia adalah fasilitas teragung, yang hanya akan disadari oleh hamba yang benar-benar menggunakan akal dan hatinya, dan tentu sangat disayangkan jika ia berlalu begitu saja.

Tidak terasa Ramadan yang mulia ini akan meninggalkanku. Kini sudah menginjak hari ke 27. Tiga hari lagi ia akan pergi, pergi untuk kembali menemuiku, atau aku yang terlebih dahulu meninggalkannya sebelum menemuiku.

Aku sendiri risih dengan pertanyaan yang dilontarkan hatiku. Adakah air mata kesedihan yang menetes ketika mengantar kepergiannya? Adakah peluh yang bersimbah karena giatnya raga beribadah? Atau adakah perasaan rugi karena tidak memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya? Bukankah Rasulullah saw telah mengingatkan bahwa orang yang paling merugi adalah orang yang ketika bulan Ramadan telah berlalu namun belum mendapatkan ampunan dari Allah?.

Aku menangis sejadi-jadinya, merasakan diriku begitu merugi, sangat rugi. Sudahkah Allah mengampuniku? Adakah rahmat Allah menaungiku? Adakah pembebasan dari api neraka untukku? Aku tidak bisa menyalahkan keadaan dan lingkunganku. Yang harus disalahkan adalah diriku sendiri. Aku yang tidak tegas terhadap diriku. Rupanya keadaan terlalu memanjakanku. Tingkahku seakan aku abadi di dunia, padahal diriku dan kematian perlahn-lahan saling mendekati. Tertawaku seakan membuatku merasa aman dari pengawasan Allah. Perbuatan maksiatku seakan menganggap Allah buta dan tuli terhadap apa yang aku lakukan.

Aku ingin lari ke masjid untuk bersujud di hari penghabisan, membaca Al-Quran, menyibukkan lidahku dengan lantunan zikir. Aku ingin hatiku hidup dengan cahaya iman. Aku ingin gemblengan Ramadan membawa pengaruh besar dalam hidupku, dan puncaknya aku ingin masuk surga lewat pintu Ar-Rayyan bersama Rasulullah saw.

Itulah harapanku di ujung penghabisan. Semoga aku bisa bertemu kembali dengan kemulianmu Ramadan! Dan aku mendapatkan sebuah kalimat yang tersirat menjelang keperginmu, “Ketegasan kepada diri sendiri adalah awal perubahan.” (ASH)

Madinah Buuts Islamiyah Cairo, 27 Ramadan 1432 H

2 komentar:

Nurul Chasanah said...

hmm.. memang penyesalan akan selalu datang diakhir dari sebuah cerita.

namun itu akan lebih baik, daripada qt tidak menyadarinya sama sekali...^_^,.

mg amal ibadah qt di bulan suci ini diterima oleh Allah SWT. amin

Ahmad Satriawan Hariadi said...

hmmm,,, benar
menyesal lebih baik dari pada nggak sadar sama sekali,,

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India