Pesona Terakhir


Beberapa saat lamanya, ia masih saja dalam peraduan yang sunyi. Sesekali butiran air mata menetes, lalu ia kembali mengarahkan keningnya ke tempat yang paling bawah, bumi. Kini tangannya menengadah penuh harap, berulang kali ia memuji mengagungkan Sang Pemberi, sembari menyesalkan kekeliruan dan kelalaiannya selama ini. “Wahai Tuhanku yang Maha Pemaaf, Engkau menyukai permintaan maaf. Maka maafkanlah aku,” lirihnya berulang-ulang.

Saat yang dinanti pun menyapa. Ramadan mulai menampakkan pesona yang terakhir, puncak pesona keindahan taman-taman surga. Biarlah wahyu Tuhan yang menjadi saksi, satu dari sepuluh malam penghujung Ramadan adalah benar adanya. Benar bahwa malam tersebut seumpama 84 tahun kehidupan, jika benar seseorang memaksimalkan potensi kedekatannya dan penghambaannya kepada Pemilik malam itu. Namun tidak ada yang tahu, kapan malam itu menyapa harapan-harapan para hamba.

“Jika tiba sepuluh malam penghujung Ramadan; ia menghidupkan malam-malamnya, membangunkan anggota keluarganya, dan mengencangkan ikatan sarungnya (menjauhi istri-istrinya dan bersungguh-sungguh dalam penghambaannya).” begitulah, orang-orang menceritakan bagaimana sang guru besar – yang notabenenya adalah utusan Allah – saat memasuki pesona terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw benar-benar bersungguh-sungguh mencari puncak pesona tersebut, meski dosa dan kesalahannya, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang telah diampuni oleh Maha Pengampun. Nabi saw yang mulia seakan mengisyaratkan bahwa tidak ada akhir dari kebaikan, meski kebaikan memeluk anda dengan eratnya, lakukanlah yang terbaik, dan berikan yang terbaik pula untuk diri anda sendiri maupun orang lain.

Di lain sisi, Nabi saw sesekali mengingatkan para sahabatnya, “Siapa saja di antara kalian yang beribadah pada saat malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap balasan hanya dari Allah semata, maka semua dosa dan kesalahannya yang lampau terampuni.”

Suatu hari istri tercinta Nabi saw, Aisyah, bertanya kepada suaminya tentang apa yang mesti diucapkan ketika mendapati malam yang mulia tersebut, “Wahai istriku, katakan: Wahai Tuhanku yang Maha Pemaaf, Engkau menyukai permintaan maaf. Maka maafkanlah aku.” jawab sang suami penuh perhatian.

Di antara kebiasaan sang guru sejak disyariatkannya puasa adalah beri’tikaf, terutama di sepuluh malam penghabisan. Nabi saw mengasingkan dirinya di masjid, menyendiri sambil melafazkan senandung-senandung ketenangan. Tujuan (main point) sekaligus ruh dari i’tikaf itu sendiri adalah menetapnya hati kepada Allah yang Maha Dekat. Selain menetap, kedekatan tersebut seakan menyelimuti hati yang hanya berisikan kalimat-kalimat Tuhan, nama mulia yang memenuhi relung-relung hati para hamba yang hanya mengharap ridha dan kasih sayangNya. Keadaan tersebut menyebabkan terputusnya segala bentuk kesibukan dengan ciptaan, dan hanya tersibukkan oleh Sang Pencipta. Inilah tujuan i’tikaf  yang paling agung.

Nabi saw menekuni kebiasaan tersebut hingga takdir Tuhan tiba, lalu dengan titahNya Ia memerintahkan malaikat untuk mengambil ruhnya yang suci dari dunia yang yang sudah tua renta ini. Namun hanya sekali sang guru meninggalkan kebiasaan tersebut, tak pelak Nabi saw pun menggantinya di bulan Syawal.

Nabi saw juga pernah melakukan i’tikaf sekali di sepuluh malam pertama, begitu juga di sepuluh malam pertengahan, dengan harapan bertemu dengan pesona teragung. Namun setelah nampak bahwa malam kemuliaan tersebut ada pada salah satu malam dari sepuluh malam penghabisan, tak pelak Nabi saw langsung menghabiskan sepuluh malam tersebut dengan beri’tikaf hingga ajal menjemputnya.

Begitulah teladan dari sang guru semenjak 14 abad silam, bagaimana kesungguhan beliau dalam penghambaannya di sepuluh malam penghabisan. Bulan yang mulia ini akan segera berlalu beberapa hari ke depan. Sebagai orang yang masih memiliki rasa peka dan rasa sadar diri, rugi rasanya jika ia berlalu begitu saja. Apalagi jika ia berlalu, di sisi lain dosa kita kepada Sang Pencipta terus mengepul bagai asap.

Kini waktunya membuka mata hati selebar-lebarnya. Waktunya melihat diri kita sendiri sedetail-detailnya dari berbagai dimensi, lalu berbenah dan merekonstruksi sikap kita. Biarlah yang telah berlalu hilang termakan zaman. Saatnya kita fokus untuk memperbaiki hubungan kita dengan Sang Pencipta yang Maha Pengampun mumpung masih dalam naungan Ramadan yang mulia.

Saatnya meneladani sang guru. Saatnya bersungguh-sungguh untuk i’tikaf, sebagaimana Nabi saw menekuninya dengan sungguh-sungguh. Siapa yang tahu kalau pesona terakhir akan menyapa, ketika kita benar-benar bersungguh dalam penghambaan kepada Pemilik malam itu. Siapa yang tahu sekali lagi. Jadi, kita harus bersungguh-sungguh dengan segenap kemampuan yang ada untuk mendapatkan pesona terakhir yang juga pesona teragung.

Siapa yang tahu? (ASH)

Madinat Buuts Islamiyah, 20 Ramadan 1432 H pukul 01.48


Refrensi: Zaadul Ma'ad, karangannya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah
               Fiqh Sunnah, karangannya Syaikh Sayyid Sabiq

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India