Modal Saat Iman Lemah




Hidup seakan hambar, tak ada cerita untuk melukiskannya, ia hanya berlalu begitu saja, entah mengapa? ٍSesaat kemudian kemalasan merasuk tanpa diminta, sangat pelan, sehingga seakan tidak sadar bahwa kemalasan telah menggerogoti seluruh bagian dari hidup. Kini hidup bisa dikatakan bak mayat berjalan, ia makan, minum, tidur, dan tentu bernafas. Hanya itu, tidak ada sedikitpun yang menunjukkan bahwa ia memang hidup. Lalu hidup yang dimaksud seperti apa? Bukankah ia masih bernyawa? Bukankah ia masih bernafas, makan, minum, tidur, dan lain sebagainya?

Jawabannya adalah ia memang masih hidup dalam maknanya, namun mati dalam hakikatnya. Hakikat hidup adalah beribadah, hidup adalah berzikir, hidup adalah ketika waktu diatur dan ditata sedemikian rupa sehingga ia berlalu dalam naungan cinta dan ridha Allah, hidup adalah adalah ketika orang tua ridha, hidup adalah ketika jatuhnya tetesan keringat karena membantu sesama, hidup adalah kepedulian terhadap nasib saudara-saudara lalu membantu atau mendoakan mereka, dan tentu hidup adalah bergerak dan terus bergerak.

Kenyataan harus diterima serealistis mungkin, tidak bisa dipungkiri bahwa ia melakukan rotasi terus menerus tanpa henti, hari ini jiwa begitu semangat melakukan ibadah dan ketaatan, bahkan tak jarang hingga meneteskan air mata pengakuan dosa seraya memohon ampunan, lalu berdoa dengan khusyu’, tadharru’, dan khufyah. Namun besok, lusa, atau di lain waktu jiwa akan merasa lelah dengan semua ibadah dan ketaatan tersebut, jiwa seakan terlalu uzur untuk melakukannya, sehingga yang sunnah-sunnah mulai ditinggalkan, bacaan Alquran dijarangkan, kepergian ke masjid ditunda sampai menjelang iqamat, dan yang paling miris adalah shalat jamaah ditinggalkan.

Ini adalah realita, ia merupakan sunnatullah yang harus dialami oleh  setiap anak cucu Adam. Sama sekali bukan penyakit, siapapun dan bagaimanapun kedudukannya sama saja. Mulai dari manusia yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah (Rasulullah saw), para Nabi alaihimussalam, sahabat-sahabat Rasulullah saw, tabi’in, para ulama’ hingga manusia seperti kita ini tidak akan luput dari hal tersebut.
Lantas apa yang membedakan mereka dengan kita? Mengapa jiwa mereka seakan tidak pernah lelah untuk beribadah dan melakukan ketaatan?

Kita akan mendengar bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat malam terus menerus hingga kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri, atau Said ibn Musayyab selama 40 tahun tahun tidak pernah melihat punggung orang lain di depannya ketika shalat (kerena selalu berada di shaf pertama) dan selalu mendapatkan takbiratul ihram-nya imam, atau Imam Ahmad ibn Hanbal yang selalma 60 tahun tidak pernah berselisih dengan istrinya apalagi bertengkar kemudian melakukan KDRT, atau Imam Bukhari yang semenjak baligh tidak pernah berbohong sedikitpun, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang akan membuat kita tercengang kemudian kita akan mengatakan tidak mungkin bisa seperti itu.

Yang membedakan kita dengan mereka adalah kualitas kesabaran. Ya, kualitas kesabaran. Bukan hanya dalam ibadah dan ketaatan, melainkan dalam segala aspek kehidupan. Dan itu akan membedakan antara pecundang dan pemenang, pemimpin besar dan orang munafik (koruptor), orang yang berprestasi gemilang dan pemalas.

Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran mengahadapi jiwa yang sedang lelah dengan berbagai macam ibadah dan ketaatan terutama di bulan suci Ramadan agar tetap istiqamah. Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran terhadap rasa bosan dan penat agar tetap senantiasa belajar. Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran untuk menahan jiwa agar tidak melakukan hal yang sia-sia. Dan puncaknya adalah kesabaran ketika lemahnya iman. (ASH)


Madinat Buuts Islamiyah, 19 Ramadan 1431 H


0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India