Distorsi Sejarah Masyarakat Madani, antara Islam dan Barat


Jika dispesifikasikan, ada dua hal yang menjadi misi Rasulullah; pertama, mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah, sesuai dengan fitrahnya; kedua, mengatur tatanan sosial kemasyarakatan. Kedua hal tersebut telah dilaksanakan oleh Rasulullah secara berimbang, sebab misi yang pertama telah ditanamkan dan dipupuk secara sempurna ketika ia masih di Mekah. Sedangkan misi yang kedua juga telah diterapkan secara multidimensi ketika ia di Madinah. Ini dalam konteks penyampaian misi.

Adapun dalam perihal ajaran, Rasulullah pun mengajarkan dua konsep relasi—yang sama sekali tidak bisa dipisahkan antarkeduanya—kepada umatnya; pertama, relasi vertikal, yaitu relasi manusia dengan Tuhannya  yang dalam bentuk konkretnya berupa ketaatan manusia dalam menjalankan perintah maupun menjauhi larangan Tuhan; kedua, relasi horizontal, yaitu relasi manusia terhadap sesamanya yang berupa interaksi sosial dengan memperhatikan nilai-nilai dan norma kehidupan.

Kedua konsep relasi tersebut benar-benar diaplikasikan oleh Rasulullah ketika ia berada di Madinah. Ia menjadikan Madinah—dengan kondisi yang begitu plural, berikut dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada di dalamanya—sebagai basis untuk meletakkan fondasi keislaman dan kemasyarakatan secara inklusif. Dalam hal ini Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan berperadaban. Inilah yang kemudian belakangan ini diistilahkan dengan masyarakat madani.[1] 

Dengan demikian, istilah masyarakat madani memiliki korelasi yang begitu erat dengan masyarakat madinah pada masa Rasulullah. Hal tersebut bisa dicermati secara jelas, bahwa konsep masyarakat madani tidak hanya berkutat pada perwujudan kondisi masyarakat atau warga Negara yang berperadaban dalam masalah duniawi, atau bentuk antitesis dari masyarakat militer maupun antitesis dari masyarakat politik. Akan tetapi konsep masyarakat madani—sebagaimana kondisi masyarakat Madinah pada masa Rasulullah—adalah perwujudan suatu masyarakat yang memiliki basis Iman dan Islam, yang kemudian dimanifestasikan dengan nilai dan norma yang dijunjung tinggi disertai geliat keilmuan dan kekaryaan, sehingga menghasilkan suatu komunitas yang memiliki integritas dan berperadaban. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah adalah masyarakat yang menjadikan ukhrawi sebagai fondasi dan duniawi sebagai bangunan dalam konteks kemasyarakatan.

Berbeda halnya dengan konsep civil society (masyarakat sipil) yang baru dicetuskan di Barat pada abad ke 17.[2] Konsep civil society—yang kini menjadi wacana baku ilmu sosial—pada dasarnya dipahami sebagai antitesis dari 'masyarakat politik' atau negara. Pemikiran ini dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci, dan lain-lain. Pemikiran tersebut tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal terhadap eksistensi Negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme. Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis, yang terlihat dengan marginalisasi peranan masyarakat pada umumnya.[3]

Konsep civil society yang dipropagandakan di Barat hanyalah upaya marginalisasi peranan agama dalam segala aspek kehidupan. Sebab konsep ini dicetuskan dalam upaya mereduksi kekuasaan para raja yang berkuasan atas dasar legitimasi agama.[4] Sehingga nilai dan norma agama pun direduksi sedemikian rupa yang pada akhirnya memunculkan paham dikotomi antara negara dan agama, atau yang lebih populer disebut sekularisme.

Kemudian pada tahap selanjutnya, kata civil society ini yang sebenarnya memiliki terjemahan 'masyarakat sipil', pada akhirnya diterjemahkan menjadi 'masyarakat madani'. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya integrasi konsep masyarakat madani yang telah diterapkan pada masa Rasulullah dengan konsep civil society yang dipropagandakan Barat, sehingga pada akhirnya keduanya seperti satu kesatuan yang begitu utuh. Bahkan mirisnya, hal tersebut diamini oleh beberapa kalangan intelektual muslim Indonesia, seperti Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam perspektif Islam dan civil society yang didengungkan di Barat adalah sama, karena kata 'madani' menunjuk pada makna peradaban dan kebudayaan, begitu juga kata 'civil' yang merujuk pada pola kehidupan yang teratur dalam lingkungan masyarakat.[5] Jika adanya demikian, maka masyarakat madani merupakan bentuk islamisasi dan nasionalisasi konsep civil society yang didengungkan Barat.

Berbeda halnya jika substansi dan karakteristik masyarakat madinah pada masa Rasulullah—yang kemudian diintegralkan menjadi masyarakat madani—dikomparasikan dengan substansi dan karakteristik civil society. Ranah distingsinya pun begitu mendasar, ibarat air dan minyak. Sebab keduanya memiliki orientasinya masing-masing, sehingga tidak mungkin mengintegrasikan dua hal yang sangat kontradiktif. Jika masyarakat madani merupakan perihal kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan Islam (al-Qur'an dan Hadis), maka civil society merupakan perihal kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan kepentingan. Maka nilai dan norma yang ada pada masyarakat madani, tentu tidak akan sama dengan nilai dan norma dalam civil society. Jika kemajuan peradaban, menurut civil society, adalah kemajuan yang bersifat konkret saja (al-taqaddum al-mâddy). Maka kemajuan peradaban, menurut masyarakat madani, tidak hanya berupa kemajuan yang bersifat konkret, melainkan kemajuan yang bersifat abstrak dan transendental (al-taqaddum al-ma`nawy wa al-rûhy).[6] 

Dengan demikian, masyarakat madani yang diaktualkan Rasulullah di madinah, tidak mungkin diintegrasikan dengan civil society yang tumbuh dan berkembang di Barat, sehingga seperti satu kesatuan. Sebab keduanya memiliki substansi, karakteristik, dan orientasinya masing-masing.
Bagian dari makalah yang akan dimuat di Jurnal Himmah Vol. 7 (2) 2012
Islamic Missions City, 6/4/2012


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[2] Muhammad Jamaluddin, "Konsep Negara Ideal dalam Perspektif Islam", (Jurnal Himmah PPMI, edisi X, semester I, tahun 2011-2012), hal. 15.
[3] "Masyarakat Madani" (ed), http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm (dikunjungi 19 Maret 2012).
[4] Muhammad Jamaluddin, Loc.Cit., 16.
[5] Mansur Hidayat, "Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani" (ed), (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10-13.
[6] Ahmad Fu'ad Basya, "Muqaddimah Nazhariyyah al-Hadhârah fi al-Islâm" (ed), Mawsû`ah al-Hadhârah al-Islâmiyyah, (Kairo: Wizârah al-Awqâf, 2005), hal. 15.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India