Layakkah Menjadi Alumni Al-Azhar?



Perubahan adalah tabiat kehidupan. Dengan kata lain, alam semesta beserta isinya ini tidak mengenal kata diam. Tapi terus melakukan pergerakan-pergerakan yang sesuai dengan tabiat masing-masing. Rotasi bumi, metamorfosis kupu-kupu, pertumbuhan manusia, dan lain-lain—merupakan hal yang bisa dirasakan atau dilihat secara langsung oleh indera manusia.

Artinya, jika anda mendapati seseorang yang terus menerus stagnan alias tidak mau bergerak—baik untuk menuntut ilmu ataupun bekerja, maka pastikan bahwa orang tersebut telah menyimpang dari lintasan kehidupan yang semestinya ia tempuh. Orang semacam ini harus sesegera mungkin disingkirkan dari kafilah kehidupan.

Dunia akademis merupakan miniatur dari dunia yang sesungguhnya. Jika pada awal tahun akademik para mahasiswa baru mulai merasakan dunia perkuliahan, maka saat itu juga para mahasiswa tingkat akhir mulai beranjak meninggalkan dunia lamanya. Inilah yang sedang dirasakan oleh para mahasiswa maupun alumni baru al-Azhar saat ini.

Setiap tahun, ratusan wisudawan dan wisudawati Indonesia lahir dari rahim al-Azhar. Ibu Pertiwi patut berbangga dengan hal ini. Bagaimana tidak, pendidik-pendidik bangsa yang baru telah lahir dan siap ikut serta membangun dan memajukan bangsa dan negara. Karena mendidik—sebagaimana kata Anies Baswedan—adalah pekerjaan orang yang terdidik.

Sebagai lulusan al-Azhar, disamping kematangan akal dan pikiran,  kapasitas keilmuan dan wawasan juga harus berbading lurus dengan penampilan. Artinya, jangan sampai alumni al-Azhar disibukkan oleh penampilan luarnya saja, sementara pemahaman ilmu dan perbendaharaan wawasan masih dibawah standar.

Hal ini bukan hanya mencoreng harga diri alumni dan nama besar Universitas al-Azhar yang berada di pundaknya, tapi nama baik agama yang kita peluk dan banggakan ini. Karena stabilisas agama Islam—sebagaimana kata Syeikh Muhammad al-Ghazali di dalam Khuluq al-Muslim—hanya akan tetap terjaga pada pengetahuan yang matang dan pikiran yang bijak.

Adapun dampaknya adalah tidak terlaksananya misi alumni al-Azhar sebagai penyebar Islam yang moderat, santun, menghargai perbedaan, dan penuh kasih sayang—sesuai risalah al-Azhar. Namun yang dikhawatirkan adalah sebaliknya, yaitu menjadi penyebar fanatisme buta, liberalis, eksesif, ekstremis, dan jauh dari nilai-nilai fitrah—akibat ketidakmatangan pengetahuan dan kurangnya wawasan alumni.

Membaca Diri dan Mengukur Kemampuan
Inilah betapa pentingnya kita—mahasiswa maupun alumni—kembali membaca diri, mengukur kemampuan, dan akhirnya sadar diri. Dengan membaca diri, kita akan mengetahui kapasitas keilmuan kita, bahwa kematangan ilmu kita bukan pada hafalan diktat kuliah saat ujian—sehingga mendapatkan predikat Imtiyaz.

Tapi kematangan ilmu—sebagaimana kata Prof. Dr. Muhammad Hasan Utsman di salah satu majelisnya (11/10)—diukur  dari kematangan pemahaman kita terhadap berbagai disiplin ilmu yang pernah kita pelajari untuk kemudian kita ajarkan dan amalkan kelak. Dalam hal ini, timbullah pertanyaan kepada diri kita sendiri, “Layakkah aku menjadi alumni al-Azhar?”. Jika kita tidak bisa menjawab, maka kita perlu menelaah kembali apa yang sudah kita pelajari.

Tahap selanjutnya adalah mengukur kemampuan. Jika kapabilitas kita tidak memadai sebagai seorang alumni al-Azhar, alangkah baiknya kita berpikir ulang untuk kembali ke tanah air. Karena, jika kemampuan kita sebelum tiba di negeri Kinanah ini sama, dengan saat kita menggondol gelar License, maka tentu hal ini sangat memilukan.

Contoh yang paling konkret mengenai kemampuan ini adalah kemampuan kita dalam membaca, berbicara, dan menulis bahasa Arab. Namun yang paling memilukan dari ketiganya adalah kemampuan berbicara, yang selanjutnya diiringi oleh kemampuan menulis. Inilah yang patut disayangkan, kemampuan kita memahami bahasa Arab ternyata berbanding terbalik dengan kemampuan kita berbicara yang ternyata masih terbata-bata dan kemampuan menulis yang masih kaku.

Kesadaran Diri = Kematangan Akal dan Pikiran  
Tahap akhir dari upaya ini adalah kesadaran diri. Jika proses pembacaan diri dan pengukuran kemampuan telah rampung, maka tahap ini merupakan titik balik menuju perbaikan diri. Pada titik ini, kematangan akal dan pikiran menjadi tolak ukur sikap, rutinitas, dan upaya untuk menggapai cita-cita kita.

Sehingga apa yang ada dalam genggaman kita saat ini, begitu halnya dengan kejadian-kejadian yang menimpa dan kita saksikan, harus kita pikirkan seraya memetik pelajaran. Dalam hal ini kita jangan sampai terlena lalu lupa, supaya kita tidak terperosok pada lubang kesalahan yang sama.

Contoh yang paling konkret dari kesalahan yang biasa kita lakukan adalah kebiasaan menunda. Kesempatan-kesempatan berharga dalam kehidupan—semacam kesempatan untuk menuntut ilmu dan mendulang harta sebanyak-banyaknya—seringkali berlalu sia-sia kerena kebiasan tersebut. Akibatnya, kita seakan rela dengan dengan kekalahan dan kerugian kita dalam kompetisi kehidupan ini.

Akal yang dikaruniakan Allah kepada kita selaku manusia bukan semata-mata sebagai “Manath al-Taklif” atau pusat pembebanan syariat. Namun akal harus kita fungsikan menurut fitrah asalnya, yaitu menjadikan hidup kita lebih baik dan lebih terarah dari hari ke hari, dan tidak terjebak pada kesalahan serupa.

Dengan memfungsikan akal menurut fitrahnya, kita tidak akan berleha-leha lagi dalam perantauan kita menuntut ilmu. Kita akan menyadari bahwa kewajiaban kita akan selalu bertambah setiap hari, sementara persediaan waktu yang kita miliki tentu saja semakin menipis. Artinya, kewajiban kita berbanding terbalik dengan waktu yang disediakan. Karena itu, dengan kesadaran diri ini, terbuktilah perkataan bijak bestari bahwa penuntut ilmu adalah makhluk Allah yang paling menjaga waktunya.

Dengan demikian, ketika kita mau berpikir dan memakai akal kita, ketika itu pula, setiap detik dalam hidup kita selalu berujung pada dua titik kulminasi kehidupan, yaitu kita semakin dekat dengan Allah dan semakin bermanfaat bagi sesama. Bukan terjatuh pada kesalahan yang sama dan terjebak pada penyesalan yang sama pula.

Sosok Alumni Ideal
Dari pemaparan di atas, setidaknya bisa kita simpulkan sosok ideal alumni al-Azhar. Selain kematangan akal dan pikiran, Kematangan ilmu pengetahuan dan keluasan wawasan merupakan ciri utama seorang duta al-Azhar di tanah air kelak. Sebab upaya mendakwahkan Islam sesuai dengan pemahaman yang benar tidak akan pernah terwuduj jika seorang alumni tidak memiliki keempat hal tersebut, atau masih setengah-setengah.

Kita tidak akan bisa mengumpulkan keempat hal tersebut dalam diri kita kecuali jika dipersiapkan mulai dari sekarang. Tidak pantas rasanya kita disibukkan oleh hal-hal yang tidak berguna dan membuang-buang waktu. Oleh karena itu, kita harus berbenah dari sekarang mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan mematangkan ilmu kita. Sehingga sosok alumni sekaligus duta al-Azhar ideal benar-benar terwujud dalam diri kita.

Islamic Missions City, 11/10/2012
Artikel Ini dimuat di Buletin TEROBOSAN edisi 348 15 Oktober 2012

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India