Fakih Eksklusif


Melihat kemampuan Imam Syafii dalam mengambil kesimpulan hukum fikih dan kedalaman analisisnya, pemuda itu pun bertanya kepadanya, “Bagaimana anda mencapai level setinggi ini dalam kesimpulan fikih dan analisis anda?” Imam Syafii menjawab, “Aku belajar seluk beluk kehidupan sosial selama 20 tahun lamanya untuk memudahkanku dalam mengambil kesimpulan fikih.”

Cerita di atas, terlepas dari kebenarannya, cukup menggambarkan kepada kita bagaimana seorang fakih, atau akademisi muslim pada umumnya, harus benar-benar matang, baik ilmu pengetahuan, wawasan, maupun pengalaman. Ia harus mempersiapkan dirinya secara multidimensi dan maksimal. Kesiapan multidimensi mencakup keluasan pengetahuan terhadap ilmu agama, kejelian pikiran dalam menyingkap makna-makna yang tersirat dalam teks-teks sumber hukum serta kaitannya satu sama lain, dan kelapangan dada untuk turun langsung ke ranah kehidupan untuk membaca realitas sosial dan konstelasi politik yang marak diperbincangkan. Selain itu, ia harus memiliki kesiapan yang maksimal, baik mental maupun fisik. Dengan kata lain, seorang akademisi muslim harus benar-benar all out di dalam kehidupan ilmiahnya, tidak boleh setengah-setengah.

Titik tekan dari cerita di atas sebenarnya ada pada pentingnya seorang fakih untuk membaca realitas kehidupan. Inilah yang seringkali dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan akademisi muslim, karena beberapa sebab; di antaranya adalah terlalu terpaku pada teks sumber hukum atau pun  pada fatwa ulama-ulama terdahulu, begitu juga dengan pola pikir sang fakih yang sangat sempit, keengganan untuk melihat realitas umat dan bergaul dengan masyarakat luas (eksklusif), dan lain sebagainya. Akibatnya, hikmah Islam sebagai rahmatan lil alamin pun tergerus bersama hilangnya humanisme Islam, fleksibelitas, toleransi terhadap pemeluk Islam sendiri maupun pemeluk agama lain, dan empat karakteristik Islam lainnya sebagaimana dicatat oleh Sheikh Al-Qaradhawi di dalam al-Khashâ’ish al-‘âmmah li al-Islâm.

Tidak hanya itu, sifat eksklusif fakih ini juga berimbas pada perubahan paradigma masyarakat terhadap agama. Mereka menganggap agama hanya ritual-ritual yang menjadi rutinitas. Bahkan, mereka menganggap agama sebagai kungkungan yang setiap orang harus berlepas darinya, karena dianggap mengebiri hak-hak personal.

Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan kondisi sastra. Suatu hari, Prof. Thahir Abdul Lathif, dosen mata kuliah Sastra Arab di Fakultas Dirasat Islamiyah, pernah ditanya, “Man huwa al-adîb?” (Siapakah sastrawan itu?) Ia menjawab, “Al-Adîb huwa alladzi yamsyî tahta aqdâm al-mujtama.” (Sastrawan itu adalah mereka yang berjalan di bawah telapak kaki masyarakat). Dalam hal ini sungguh jelas, bahwa sastrawan yang sebenarnya adalah mereka menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dimengerti tatkala dibaca oleh berbagai lapisan masyarakat,  namun bermakna dalam dan penuh dengan pesan-pesan moral.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa adanya kemiripan antara “sastrawan aristokrat” dengan “fakih eksklusif” dalam hal orientasi dan cara pandang, yang masing-masing berusaha menjauhkan nilai-nilai dari sastra dan agama. Bahkan, fakih eksklusif inilah yang paling bertanggung jawab atas perubahan paradigma masyarakat terhadap agama. Jika sejatinya agama adalah pengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari aturan personal hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, maka agama di mata masyarakat saat ini adalah kumpulan ritual personal yang membosankan. Parameter takwa dalam konsep relasi vertikal, maupun parameter akhlak dalam konsep relasi horizontal, hanya tertulis di buku-buku sejarah para pendahulu. Tujuh kakteristik universal Islam yang seharusnya menjadi landasan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sekedar teori yang tak kunjung diaktualkan.

Di samping itu, ada beberapa kalangan dari akademisi muslim yang hanya menjadikan Islam sebagai alat legitimasi untuk mempropagandakan ide-ide impor yang pada dasarnya sangat sulit diterima oleh nalar dan fitrah manusia. Permasalahan yang paling kentara dan banyak diperbincangkan oleh kalangan ini adalah kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan kesetaraan (fraternity), yang berujung pada integrasi semua agama. Dalam hal ini, Islam jelas-jelas mempunyai jalan sendiri dalam memandang ketiga hal tersebut. Namun lagi-lagi, tidak banyak kaum muslimin yang mengetahuinya, apalagi mengamalkannya.

Jika ditelusuri, penyebab munculnya kalangan akademisi muslim yang seperti ini adalah karena hilangnya nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi sekaligus karakter setiap pemegang identitas muslim; seperti keikhlasan, kejujuran, dan lain-lain. Akibatnya, orientasi mereka dalam mempelajari agama bukan lagi untuk tegaknya kalimat Allah di muka bumi, namun karena tujuan-tujuan tertentu. sehingga mereka hanya mempelajari Islam secara umum, bukan secara mendetail.

Dalam hal ini, Imam Syafii merupakan tipe ideal seorang akademisi muslim. Ia merupakan sosok yang matang, baik ilmu, wawasan, maupun pengalamannya. Setelah mematangkan ilmu agamanya, ia tak segan-segan untuk mendalami berbagai disiplin ilmu sosial dan bahasa, yang secara tidak langsung sangat membantunya dalam memecahkan berbagai macam permasalahan fikih. Sehingga aktualisasi Islam sebagai rahmatan lil alamin benar-benar termanifestasi di dalam dirinya sebagai seorang akademisi muslim teladan sepanjang sejarah.

Di era modern, kita melihat beberapa fakih/akademisi muslim  yang yang patut dijadikan teladan dalam membaca realitas sosial dan konstelasi politik; seperti Syeikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqhu al-Aulawiyât (Fikih Prioritas), Fiqhu al-Aqaliyyât al-Muslimah (Fikih Muslim Minoritas), Min Fiqhi al-Daulah (Fikih Bernegara), dan lain-lain; begitu juga dengan Grand Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi dalam Muʻamalât al-Bunûk wa Ahkâmuha al-Syarʻiyyah (Hukum-hukum Syariah Transaksi Perbankan); demikian pula halnya dengan Syeikh Muhammad Imarah dalam Fiqhu Muqâwamah al-Istibdâd al-Siyâsi (Fikih Melawan Tirani), salah buku yang ia tulis pascarevolusi 25 Januari 2011 kemarin.


Mereka semua telah membuktikan bahwa hidup seorang fakih/akademisi muslim tidak hanya berkisar antara rumah atau perpustakaan. Seorang fakih justru harus membaca realitas dan mengikuti perkembangan zaman. Ia harus berbekal dengan berbagai ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Seorang akademisi muslim harus pandai memainkan kejelian pikirannya—dengan asas takwa dan jujur—untuk menguraikan hikmah dan kemudahan ajaran Islam. Sehingga Islam benar-benar menjadi pola hidup manusia, baik yang berkaitan dengan relasi vertikal maupun horizontal, di tangan para akademisi muslim yang sejati. Begitu juga Islam menjadi dasar konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Shaqr Quraisy, 15 Januari 2013
Artikel ini dimuat di Buletin Terobosan, Edisi Interaktif Liburan, 31 Januari 2013

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India