Musim Panas, Mau Dibawa Kemana?



Tujuh puluh tahun yang lalu, Ahmad Amin, sastrawan sekaligus pemikir besar di abad 20, pernah menulis artikel di salah satu majalah sastra dan budaya. Judul artikel tersebut adalah “Awqât al-Farâgh” (Waktu-waktu Luang).  
Yang menarik dari artikel tersebut adalah sebuah pertanyaan serius yang ditujukan Ahmad Amin kepada para orang tua. Ia mengatakan, “Jika di rumah-rumah, ada ratusan ribu siswa yang menghabiskan waktu empat sampai lima bulan untuk berlibur musim panas. Apakah para orang tua pernah bertanya kepada anaknya, bagaimana waktu yang panjang ini, dihabiskan oleh anak-anak mereka untuk hal-hal yang bermanfaat, baik untuk keakademisan, kepribadian, maupun lingkungan mereka? Kemudian kepada kaum perempuan, yang jumlah mereka melebihi kaum laki-laki, bagaimana kaum hawa ini mengahabiskan waktu luang mereka dirumah-rumah?”
Tidak hanya itu, kini ia masih bertanya kepada khalayak, “Jika waktu adalah alat untuk mengais harta, menumpuk ilmu, dan memperoleh kesehatan, maka berapa banyak yang hilang dari kita? Berapa banyak umur yang terbuang sia-sia, baik untuk hal yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi?”
Kutipan perkataan Ahmad Amin di atas adalah bentuk kepekaan dan perhatian seorang guru bangsa kepada rakyatnya. Ahmad Amin boleh saja berlalu dan hilang untuk selama-lamanya. Namun buah pikiran yang dituangkan melalui goresan-goresan kecintaan kepada umat, akan tetap abadi bersama rujutan kehidupan.
Salah satu buah pikiran Ahmad Amin yang bisa kita petik adalah bagaimana mengembalikan nilai dan harga waktu—yang telah ditelantarkan atau diacuhkan—ke alam bawah sadar umat ini. Kemajuan teknologi boleh saja mengalihkan pola hidup dan kesibukan kita. Ada BBM yang siap berdering setiap detiknya. Ada timeline Twitter yang menjadi dunia baru kita. Ada berbagai macam game yang siap menjadi pelampiasan kegalauan kita. Ada tumpukan kegiatan yang menunggu gilirannya. Dan masih banyak lagi warna-warni lifestyle para pelajar dan mahasiswa.
Namun titik tekan yang hendak kita angkat kepada khalayak mahasiswa dan pelajar kali ini adalah bagaimana upaya kita mengurangi dominasi para pembunuh waktu tersebut, atau yang terkategori di dalamnya. Jika dunia sudah mematenkan bahwa dunia maya adalah belahan jiwa umat manusia, maka prinsip dan idealis seorang pelajar harus tetap menjadi tolak ukur, saat ia menyelam ke dalam dunia maya tersebut. Bahwasanya mereka harus tetap memikirkan umpan balik yang akan mereka raup setelah ia terjun ke dalamnya.
Kemudian setelah selesai bertaruh jiwa dan harapan pada musim ujian tahun ini. Hal yang paling ditunggu-tunggu kawula pelajar dan mahasiswa adalah liburan musim panas yang begitu panjang setelahnya. Pertanyaan pun muncul, apa yang akan kita lakukan di musim panas ini? Bagaimana kita menghabiskan waktu kita di dalamnya?
Jika jawabannya adalah rihlah, maka berapa hari sih waktu rihlah tersebut? Sedangkan kita semua mengetahui bahwa liburan kita ini tidak seminggu atau dua minggu, akan tetapi empat sampai lima bulan. Kalau jawabannya adalah fokus menghafal al-Qur’an atau talaqqi di Masjid al-Azhar, maka kita semua harus meniru orang ini.
Memang benar, jasad dan ruh kita ini benar-benar dipres sedemikian rupa saat musim ujian kemarin, sehingga penyegaran batin dan ketenagan jiwa memang sangat dibutuhkan.  Namun apakah hal tersebut membutuhkan waktu sampai empat atau lima bulan? Kita rasa tidak. Seminggu atau dua minggu saja sudah lebih dari cukup untuk sekedar refreshing.
Jika mahasiswa-mahasiswa Mesir berencana menghabiskan liburan mereka untuk bekerja, maka kita yang notabene adalah mahasiswa pendatang di Bumi Kinanah ini mau apa? Apa pantas persepsi khalayak yang menganggap kita sebagai mahasiswa islamis yang moderat, kita ubah menjadi rombongan turis asing yang hanya memiliki visa pelajar?
Islamic Missions City, 15 Juni 2012

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India