Wahai Politik, Jabatlah Tanganku!

Jika dengan merasakan kehinaan pada masa pembelajaran yang penuh dengan kelabilan ini, meskipun harus menelan kembali ludah sudah terbuang, maka itu sungguh lebih baik baik ketimbang harus seperti itu saat keadaan tak mengizinkan lagi untuk mencoba-coba seperti sekarang ini. Aku rela hal itu untuk menempa diri dan mental dalam menghadapi intimidasi dan kritikan di masa yang akan datang.

Jika kemarin telingaku begitu perih saat mendengar kata politik, maka hari ini aku harus merelakan kepalaku diinjak-injak orang lain, karena kesediaanku menjadi pelaku politik itu sendiri. Tidakkah kau lihat, pembantaian manusia yang terjadi di negeri Piramid ini, bermula dari perselisihan para pelaku politik itu?

Jika kemarin dengan seenaknya saja kritikan-kritikan pedas kulayangkan ke arah wajah para pelaku politik itu, maka hari ini aku sudah menyiapkan punggungku untuk dicambuk oleh kritikan mereka. Dengan politik, aku melihat wajah asli manusia yang selama ini mereka tutupi dalam-dalam. Hari ini pun aku harus merelakan tirai hakikatku yang tertutup begitu rapat, tersingkap oleh politik itu sendiri.

Jika kemarin aku berkoar-koar mengenai permukaan politik yang begitu halus, namun menyimpan serakan duri kepentingan di dalamnya, yang siap mengoyakkan jalinan antarmanusia yang telah lama dirajut oleh cinta dan kasih; maka hari ini aku menyaksikan eksistensiku mulai terbungkus kepentingan politik yang kejam dan tak mengenal ketulusan. Bahkan sedetik dari tatapan ini menyimpan untaian kepentingan yang busuk.

Aku memilih kepahitan ini semata-mata untuk meringankan beban penghidupan saat menginjak Bumi Pertiwi kelak, di mana mata-mata kepentingan mengawasi siang dan malamku. Aku memilih kehinaan ini untuk mengurangi rajutan kehinaan yang hendak menemaniku karena hasrat ingin tahu bagaimana rasanya hidup bersama politik kelak. Aku memilih digasak timah panas politik, untuk menambah keyakinanku bahwa politik adalah kesengsaraan bersama takwa, dan menjadi alat penindasan bersama kemunafikan.

Jika pun takdir menuliskan percobaan politikku ini hanya sampai di depan gerbang kekalahan, maka itulah kemenanganku yang sebenarnya, karena politik meyakinkanku bahwa kebencianku padanya mengabadi hingga masaku nanti.

Wahai politik, jabatlah tanganku! Aku menantangmu. Aku ingin tahu, sejauh mana kamu mampu memporak-porandakan hidupku. Aku ingin tahu, sejauh mana aku bisa menahan gempuran kritikan mereka, yang disebabkan oleh ulahmu.


31 Juli 2013
=Ahmad Satriawan Hariadi=

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India