Mauqif Politik Al-Azhar setelah Revolusi 25 Januari; Selayang Pandang

Masih dalam benak kita, kejadian pada Juni 2011, ketika Syeikh Ahmad Tayyib mengumpulkan para pemikir dan para pakar tata negara untuk merumuskan "Watsiqah al-Azhar" terkait masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara Mesir. Salah satu poin penting yang tercatat di sana adalah menolak sistem teokrasi, dan menganjurkan Mesir menjadi "negara madani yang modern dan demokratis". Pada poin di atas, kita berkesimpulan, Al-Azhar mendukung terbentuknya kehidupan demokrasi di Mesir.

Beberapa bulan setelahnya, digelar pemilu parlemen yang paling demokratis di Mesir, yang diiringi dengan pemilu presiden yang juga tidak kalah demokratisnya, meskipun pada pilpres tahap dua, kedua kandidat memakai embel-embel agama dalam kampanye mereka. Yang satu, berkoar dengan ke-ikhwanan-nya, sedangkan satu berkoar dengan ke-sufi-annya.

Namun yang terjadi apa? ketika dalam masa pilpres, otoritas Angkatan Bersenjata Mesir, membekukan parlemen dengan alasan ketidakprofesionalan dll. Dari sini, kita berkesimpulan, ini langkah awal untuk menelan kembali ludah yang berceceran, karena sebelumnya semua meneriakkan demokrasi dan kebebasan.

Selanjutnya, presiden terpilih dilantik pada 30 Juni 2012. Adapun kebijakan yang paling kentara dari presiden baru adalah membuat UUD yang sesuai dengan amanat revolusi, Kemudian UUD tersebut diundangkan pada beberapa bulan setelahnya. Namun bukannya mendapat sambutan, malah yang terjadi adalah penolakan besar-besaran. Karena memegang teguh amanat demokrasi, presiden menawarkan referendum. Hasilnya, 64% rakyat setuju dengan UUD yang baru.

Yang perlu dicatat dalam perihal penyusunan UUD ini adalah keterlibatan wakil-wakil dari al-Azhar, semisal Dr. Hasan Syafii (penasehat Syeikh Azhar), Dr. Nasr Farid Wasil (mantan mufti), dll. Dengan ini, kita berkesimpulan, bahwa al-Azhar, secara institusional, setuju dengan UUD yang baru. Apalagi, para wakilnya, merupakan anggota Hai'ah Kibar Ulama.

Singkat cerita, pada 30 Juni 2013, oposisi melakukan gerakan tamarrud (pemberotakan), untuk menggulingkan presiden terpilih. Upaya mereka pun membuahkan hasil tatkala Jenderal Al-Sisi mengumumkan pemakzulan presiden terpilih, yang diikuti dengan pembekuan UUD, dan yang lain.

Yang menjadi perhatian kita kali ini adalah keikutsertaan Syaikh Azhar dalam proses pemakzulan ini. Beliau mendukung pemakzulan ini dengan dasar, "hiqnan liddima'" dan "hiffazh ala wahdatil ummah". Jika dilihat secara kasat mata, alasan beliau sungguh luar biasa, dan mencerminkan Risalah Al-Azhar.

Namun bagaimana jika mauqif itu dilihat dari kacamata politik? Mesir sudah memulai percobaan demokrasinya, sesuai dengan Watsiqah Al-Azhar. Namun tidakkah upaya pemakzulan ini merupakan langkah yang kontradiktif Watsiqah tersebut? Kemudian kita melihat dulu di media-media foto Syaikh Ahmad Tayyib yang memilih mengantri ketika memberikan suaranya saat pilpres, sebagai dukungan terlaksananya pesta demokrasi di Mesir, berikut fatwa keharaman golput. Lalu tidakkah dukungan pemakzulan ini merupakan langkah kontradiktif terhadap mauqif beliau di atas? Selanjutnya, bukankah dukungan terhadap pembekuan UUD merupakan langkah kontradiktif Al-Azhar, yang secara institusional ikut serta dalam penyusunannya, namun kini membekukannya?

Itulah sekelumit pertanyaan yang menghujani pikiran saya. Yang saya pertanyakan adalah mauqif, bukan pribadi Syaikh Al-Azhar. Sebab beliaulah yang memberikan saya dan teman-teman saya beasiswa secara langsung saat saya baru beberapa minggu tiba di Mesir, hingga saat ini. Karena secara pribadi, beliau memang amat terbuka dan dermawan. Jika tidak percaya, lihatlah bagaimana beliau meberikan beasiswa secara besar-besaran kepada mahasiswa nonbeasiswa, pada acara Muktamar Pelajar Asing, 17 April 2013 kemarin. Lihat pula, bagaimana beliau selalu mendengar keluhan para pelajar asing dalam kegiatan belajar mereka; seperti kenaikan beasiswa dan keringanan untuk para mahasiswa pascasarjana. Begitu juga tidak ada yang meragukan upaya dan jerih payah beliau dalam memperbaiki dan memajukan lembaga Al-Azhar secara multidemensional.

Namun dalam mauqif politik beliau pascarevolusi ini, saya melihat ketimpangtindihan di dalamnya. Saya berusah berbaik sangka terhadap beliau. Saya bahkan sangat mencintai beliau, namun bukan cinta buta, yang membuat saya tidak bisa melihat kebenaran. Karena tidak mempunyai kepentingan, saya tidak mendukung presiden terpilih, saya juga tidak mendukung gerakan tamarrud. Siapa itu Ikhwan? Siapa itu Mursi? Siapa itu kaum liberal? Siapa itu Salafi? Siapa itu oposisi? Siapa itu angkatan bersenjata? It means nothing to me. Sebagai warga asing, hal yang paling pantas untuk anda lakukan adalah menonton dan mengamati, bukan mendukung A, kemudian membenci B. Dengan itu, kita hanya bisa mengkritik, jika ada ketimpangtindihan mauqif; seperti pagi ini berkata "Iya", nanti sore berkata "Tidak". Selebihnya anda adalah penonton dan pengamat. 

Namun yang paling penting adalah hal-hal semacam ini melatih anda untuk bersikap kritis, dan memberi anda pelajaran untuk konsisten dalam hidup anda. Apalagi jika anda termasuk orang yang sangat terobsesi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang.

Bawwabah, 4 Juli 2013

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India