Siapa Lagi Kalau Bukan Kita?


Salah satu cerminan dari sempurnanya pendayagunaan anugerah akal adalah ketika pembawaan seseorang menjadi lebih tenang dan tidak banyak bicara. Ia cenderung malas untuk mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, sekaligus merasa lebih nyaman sebagai pendengar saja. Ia menatap, namun bukan tatapan abal-abalan. Ia sangat reaktif terhadap keadaan di sekitarnya, namun bukan dengan perbuatan dan silatan lidahnya, melainkan dengan pikirannya. Kata-katanya selalu tertunggu. Sikapnya selalu dinantikan.

Jika anda termasuk pemerhati sosio-kultural manusia, maka anda akan mendapati puncak kesulitan untuk menemukan orang semacam ini dalam sebuah komunitas, karena begitu langkanya tipe manusia yang demikian. Tidak berlebihan rasanya jika kita hampir menafikan eksistensi orang tersebut.


Karena pada kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, kita semua lebih cenderung dengan kebalikan tipe manusia di atas. Entah itu banyak omong, tidak mau mendengar, selalu merasa paling benar, sangat reaktif terhadap kondisi sekitar sehingga seenaknya saja memaki dan menyalahkan orang lain, kalaupun menatap maka dengan tatapan meremehkan, dan lain sebagainya.


Bagaimana menurut anda jika keadaan semacam ini telah menjadi karakter sebuah bangsa? Atau dengan kata lain, telah menjadi jati diri sebuah bangsa? Anda tentu tidak dapat membayangkan betapa amburadulnya bangsa tersebut. Apalagi kondisi geografisnya sangat-sangat mendukung terbentuknya para pemalas dan pengibul.


Tidakkah kita menyadari, bahwa delapan abad yang lalu, Ibnu Khaldun pernah mengatakan, “Bangsa yang miskin secara geografis dan sumber daya alam, secara tabiat lebih sering melakukan ekspansi.” Jika anda masih ragu dengan hukum di atas, tanyakanlah pada diri anda sendiri, apa yang melandasi negara-negara Eropa untuk melakukan ekspansi ke seluruh penjuru dunia pada abad ke-14 Masehi? Apa yang melatarbelakangi Belanda untuk menjajah bangsa Indonesia, sehingga kekayaan alam berupa rempah-rempah dan yang lain terangkut semua ke negeri yang hampir tidak mempunyai daratan itu?


Kita tentunya sangat setuju dengan gambaran Gus Mus betapa kayanya negeri kita, sehingga menyebabkan penduduknya lebih senang berleha-leha, daripada mengembangkan diri dengan lebih banyak belajar dan bekerja. Simaklah puisi “NEGERIKU”, milik Gus Mus berikut:

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia

dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku…
Puisi di atas, mengingatkan kita dengan para penyair Arab Jahiliah yang --menurut para kritikus sastra-- sangat berhasil dalam menggambarkan sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliah pada masa itu. Berbeda halnya dengan sastra modern, yang menurut Ahmad Amin, sama sekali tidak mewakili eksistensi masyarakat modern. Puisi di atas begitu detail dalam menggambarkan betapa kaya dan suburnya negeri yang bernama Indonesia. Akan tetapi kembali lagi, kekayaan dan kesuburan tersebut menyebabkan bangsa kita lebih banyak santai. Akhirnya, karena tidak ada yang menyibukkannya, bangsa kita mengisi keluangannya dengan bertikai sesama saudaranya, dan terprovokasi oleh fitnah sekte agama dan golongan.

Lalu apa yang harus kita perbuat setelah ini? Haruskah kita menyalahkan kondisi alam yang terlalu kaya dan subur sehingga melahirkan para pemalas dan para pecundang yang berjiwa inferioris? Ataukah menyalahkan diri kita sendiri, karena kita sudah memiliki bahan eksperimen yang lebih dari cukup untuk menjadi bangsa adidaya di dunia, namun tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai?


Sebagai makhluk yang diberi kebijaksanaan, kita tentu lebih menyalahkan diri sendiri, ketimbang menyalahkan keadaan. Kitalah yang lebih enak tidur-tiduran, sementara bangsa di belahan sana melakukan revolusi industri. Kitalah yang lebih nyaman berdiam diri di rumah, ketimbang meninggalkan kampung halaman untuk melihat-lihat pencapaian bangsa lain, lalu mempelajarinya untuk dikembangkan di tanah airnya sendiri. Kitalah yang sudah tahu diri ketinggalan, namun masih saja berdiam diri di tempat, tanpa melakukan gebrakan-gebrakan yang berarti untuk mengejar ketinggalan.


Lalu sekarang, siapa yang tidak memaksimalkan anugerah akal, yang sejatinya memiliki kesamaan potensi untuk sama-sama maju dalam berbagai dimensi kehidupan? Siapa lagi kalau bukan kita sendiri.



Wisma Nusantara, 3 Juli 2013

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India