Kebusukan Diri

Pada akhirnya, semua kebusukan yang kita pendam selama ini akan terkuak pelan-pelan oleh waktu. Jika tidak hari ini, maka esok hari. Jika tidak esok hari, maka esok lusa. Begitu seterusnya. Bahkan jika tidak pada saat kita menghembuskan napas, maka setelah kita menutup mata. Yang jelas, terkuaknya kebusukan kita adalah sebuah kepastian yang menunggu masanya.
Kebusukan-kebusukan yang kita pendam, semisal kemunafikan, pengkhianatan, kedengkian, dan niat jahat; adalah rajutan benang merah kepedihan yang bakal kita tuai nantinya. Jejak-jejak kebusukan yang kita torehkan, pada akhirnya juga akan ditemukan oleh orang-orang yang datang setelah kita. Sebab sadar atau tidak, kita, selaku manusia, ternyata hidup untuk dua hal: pertama, untuk diri kita sendiri; kedua, untuk orang lain.
Namun tidak banyak dari kita yang menyadari hal ini. Yang ada hanyalah kita, hidup untuk diri kita sendiri, itu saja. Sebab mental egoistis adalah mental para pecundang dan orang-orang lemah. Dalam ranah sosial, mereka tak sempat memikirkan orang lain, karena sibuk memikirkan apa yang bakal diraup untuk diri mereka sendiri.
Inilah mental kebanyakan manusia setiap masa. Tipe-tipe manusia yang bermental seperti ini, sama sekali tidak layak untuk menjadi pemimpin sejati. Kalaupun orang seperti ini menjadi pemimpin, maka bisa dipastikan jika ia bakal menyalahgunakan kekuasaannya. Entah diaktualkan lewat korupsi ataupun tirani. Mental egoistis inilah yang seringkali menghalangi manusia untuk menyadari kalau ia ternyata hidup untuk orang lain.
Adapun sebaliknya, yaitu mental altruistis, adalah mental para pemenang dan orang-orang yang berjiwa besar. Inilah mental pemimpin sejati, yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain atas dirinya sendiri dalam ranah sosial. Tipe-tipe manusia yang bermental seperti inilah yang senantiasa sadar kalau ia, selain untuk dirinya sendiri, ternyata juga hidup untuk orang lain.
Dengan mental altruistisnya, ia tidak akan rela jika ia menjadi penambah derita orang lain dengan perkataan dan perbuatannya. Ia juga tak akan sudi sedikit pun jika suatu saat ia didapati oleh orang di sekitarnya sebagai orang munafik, pengkhianat, pendengki, dan berhati busuk. Oleh sebab itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa ikhlas dan memberikan perlakuan yang terbaik kepada sesamanya.
Orang yang bermental altruistis selalu ingat, bagaimana sejarah pada akhirnya selalu membuka kedok orang-orang munafik. Sejarah tak peduli, bagaimanapun lihainya seorang munafik dalam menyembunyikan kebusukannya. Yang pasti ia bakal terkuak. Dan manusia yang datang setelah itu pun akan leluasa melihatnya. Beberapa saat kemudian, mereka pun mengutuk kebobrokan sang munafik.
Lalu kita, yang masih diberikan anugerah kehidupan oleh Allah seperti sekarang ini, masihkah kita larut dalam kegoisan kita ini? Sampai kapan kita terus saja menyimpan kebusukan di dalam hati kita? Sampai kapan kemunafikan ini terus saja mendikte langkah-langkah kita? Tidakkah kita sadar jika kita adalah bahan percontohan bagi orang-orang yang datang setelah kita? Lalu mengapa kita masih saja memberikan contoh yang buruk untuk mereka?

27 Maret 2014
Ahmad Satriawan Hariadi 

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India