Benarkah dunia yang kupijak ini tak mampu lagi mengerti isyarat-isyarat
yang kukirimkan kepadanya? Apakah semuanya harus seterang matahari? Benarkah
nurani, yang senantiasa bersembunyi di balik keangkuhan manusia itu, kini tak
mampu lagi menangkap sindiran yang diarahkan kepada pemilik nurani tersebut?
Apakah akal-akal manusia sudah menua, hingga tak kuasa lagi memahami kekeliruan
mereka?
Aku tidak tahu, setiap hari orang-orang terdidik itu menulis,
mengarahkan, menyindir, mengkritik, dan menasihati. Namun manusia tetap saja
seperti itu. Kukuh dengan kesombongan dan kekeliruannya. Kukuh dengan kebebalan
dan ketertinggalannya. Kukuh dengan kemiskinan dan kemalasannya.
Apakah batasan keterbukaan jiwa itu sudah dipersempit, hingga para
pendidik itu tak perlu lagi memikirkan cara untuk memperhalus tutur mereka
kepada manusia berkepala batu dan berhati baja tersebut?
"Kamu itu bodoh. Jangan malas."
"Kamu itu miskin. Jangan tidur melulu."
"Kamu itu tertinggal. Jangan diam saja."
Haruskah semua itu begitu vulgar dan menyayat hati? Ataukah manusia
modern ini tidak memahami kecuali apa yang jelas dan tertuju kepadanya, hingga para
pendidik itu tak perlu lagi memikirkan hati mereka?
Keadaan rupanya hanya bisa mengangguk penuh setuju dengan semua ini.
Akal dan nurani manusia modern ini rupanya hanya akan terjaga, ketika semua
pembicaraan benar-benar jelas dan dibarengi dengan nada sarkastis. Adapun
selebihnya, maka umpama anjing mengonggong, kafilah berlalu. Tak berdampak sama
sekali.
Islamic Missions City, 24 Mei 2014
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment