Memegang teguh prinsip lalu senantiasa berjalan di atasnya, bukan hal
yang mudah. Bahkan sangat susah. Oleh karena itu, hanya segelintir saja yang
kuasa untuk demikian. Sedang selebihnya, hanya menjadi jawaban, bagaimana sih
rupa orang yang 'menelan ludahnya sendiri'.
Misalkan ada seseorang yang begitu bangga karena partainya, kata dia, berhasil
'memutihkan GBK'. Beberapa hari kemudian, partai lain melakukan kampanye di
tempat yang sama. Bedanya massanya tidak sebanyak partai yang sebelumnya. Tak ayal,
si pegiat partai tadi tak henti-hentinya memamerkan kebanggan dan kelebihan
partainya.
Tak sampai di situ, ia pun mulai mendiskreditkan partai yang kedua,
dengan masa yang sepi lah, masa yang tidak tertib lah, bahkan sampai-sampai
menghadirkan pedagang kaki lima sebagai saksi atas ketidaktertiban partai yang
kedua.
Lalu apa yang terjadi sekarang? Ketika suara partai orang tersebut
anjlok, dan partai yang kedua mengalami kenaikan pesat. Ketika ia tahu bahwa
partainya tidak memiliki kans untuk mencalonkan presiden, sedang partai yang
kedua mencalonkan presidennya. Ketika ia tahu bahwa kini partainya 'terpaksa'
berkoalisi dengan partai yang kedua. Apa yang ia perbuat?
Ia kini mengerahkan seluruh kapasitasnya untuk menarik minat rakyat agar
mereka memilih presiden yang diusung partai kedua. Tak hanya itu, ia pun
menjelek-jelekkan saingan calon presiden yang diusungnya dengan mengatainya
sebagai 'Capres Boneka' dan lain sebagainya. Begitu juga dengan kampanye
kekanakan lainnya, yang sedang gencar ia lakukan.
Ia seakan lupa dengan apa yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Ia
seakan lupa dengan 'Yao Ming Face' yang ia perlihatkan, saat melihat partai yang
kedua kalah ramai dari partainya sendiri. Ia seakan lupa dengan pedagang kaki
lima yang ia jadikan saksi atas ketidaktertiban massa partai yang kedua.
Kita pun kini percaya, bahwa cara dia untuk memenangkan sebuah kompetisi,
bukan cara ksastria dan orang-orang berjiwa besar, sebagaimana yang diajarkan
oleh agamanya. Ia lebih memilih membunuh karakter lawannya dan mengaburkan
semua kebaikannya; daripada menunjukkan keahlian yang ia miliki dan kerja
nyatanya.
Atau jangan-jangan, keahlian dan kerja nyatanya adalah membunuh karakter
lawan dan mengaburkan semua kebaikannya?! Hanya Allah yang tahu.
***
Contoh yang kedua adalah susahnya berjalan di atas prinsip karena jiwa
yang begitu tendensius dalam membenci kelompok tertentu. Kali ini kita akan
mengambil contoh dari sebuah halaman yang menjadi lidah Al-Azhar, yang di
kelola oleh beberapa mahasiswa dan mahasiswi Universitas Al-Azhar.
Dua dari pengelola bahkan pemrakarsa halaman tersebut, adalah sahabat
saya yang sangat saya hormati. Kami begitu akrab karena kami dipertemukan pada
sebuah kesamaan, yaitu naluri untuk maju dan terus berkembang. Salah satu dari
keduanya pernah menceritakan dengan sangat detail kanapa ia mendirikan halaman
tersebut, berikut risalah dan tujuannya.
Bahkan lebih dari itu, perkataan-perkataan sastrawan dari Rahim Al-Azhar
akhir-akhir ini, yang dimuat oleh halaman tersebut, pun bersumber dari
buku-buku di kamar saya, yang dibaca dengan saksama oleh sahabat saya tersebut.
Lalu apa yang menjadi titik tendensius pengelola halaman tersebut dalam
membenci kelompok tertentu? Iya, titik tendensiusnya adalah ketika pengelola
halaman tersebut memuat tulisan seorang mahasiswa Darul Ifta Mesir.
Jika tulisan-tulisan yang termuat sebelumnya adalah awal dari
keterbukaan jiwa dan ketenganan batin, karena perkataan atau tulisan ulama Al-Azhar
tersebut, bersumber dari penghayatan yang dalam terhadap risalah Nabi Muhammad,
berikut renungan filosofis yang bertujuan untuk memperbaiki gaya pikir dan
mendidik akhlak, dan bebas dari nuansa politik; maka kali ini adalah
sebaliknya.
Mereka memuat tulisan yang membakar kembali arang perpecahan dan
perdebatan. Meskipun data yang diajukan oleh penulis artikel tersebut lebih
dari cukup, bahkan bisa dikatakan kuat dari segi analisisnya dan kesimpulannya;
namun tetap saja. Tetap saja memancing perdebatan yang tidak sehat, yang bisa
berujung pada pembunuhan karakter. Penyebab utama hal tersebut adalah kaitan
artikel tersebut yang begitu kuat dengan dunia politik.
Apakah penyimpangan terhadap risalah pendirian halaman ini adalah sebuah
kesengajaan dari pengelola? Ataukah khilaf semata? Ataukah sebuah spontanitas,
yang ketika ada tulisan yang menyampaikan hakikat vonis mati, si pengelola
berasumsi bahwa ini layak untuk dimuat di halaman ini, tanpa berpikir panjang sekaligus
meraba-raba akibatnya?
Merupakan sebuah kesepakatan tak tertulis bahwa Al-Azhar adalah tempat
orang mencari ketenangan batin dan mengasah bakat yang dimilikinya. Bukan
menjadi sumber perpecahan. Seharusnya mereka, yang mendeklarasikan dirinya
sebagai lidah Al-Azhar, lebih tahu mengenai hal ini. Bahkan lebih dulu
mengaktualkan risalah Al-Azhar di dalam kehidupan nyata. Bukan sebaliknya.
Atau jangan-jangan jiwa kita terlalu tendensius dalam membenci kelompok
tertentu, hingga prinsip mulia hidup yang sebelumnya kita bangga-banggakan,
kini entah kemana. Hanya Allah yang tahu.
Saya teringat kalau Kahlil Gibran pernah berkata, "Seluruh belahan
dunia ini negeriku, dan seluruh manusia adalah keluargaku."
19 Mei 2014
Ahmad Satriawan Hariadi
0 komentar:
Post a Comment