Taha Hussein, Pemilik Uslub yang Menakjubkan

Anwar el-Gindy pernah mengatakan bahwa Taha Hussein hanya memanfaatkan uslubnya yang menakjubkan untuk melancarkan misinya, yaitu menjadi agen Barat secara multidimensional.

Namun setelah membaca al-Syaikhan, Jannah al-Syauk, al-Ayyam, makalah-makalah Taha Hussein yg dimuat di Majalah Al-Azhar, dan buku-buku dia yang lainnya; saya percaya kalau statemen el-Gindy terlalu dipaksakan, alias tidak dibangun di atas istiqra yang menyeluruh. 

Itu semua karena perhatian el-Gindy, saat membangun statemennya, terlalu tertuju pada buku Fi al-Syi'ri al-Jahily, Mustaqbal al-Tsaqafah, dan al-Wa'du al-Haqq milik Taha Hussein. Apalagi jika kita mencermati kebiasaan para penulis Arab dalam mendiskreditkan orang yang tidak sepaham dengannya; pada ujung-ujungnya semakin membuat kita yakin kalau pendapat el-Gindy jauh dari kata 'inshaf'.

Saya lebih setuju dengan pendapatnya Dr. Muhammad Imarah, yang mengatakan bahwa Taha Hussein mengalami tiga fase pemikiran di dalam hidupnya, di mana pada fase terakhir ia mengakui kekeliruan-kekeliruannya yang dulu. 

Pada fase inilah akhirnya ia secara lantang menyatakan bahwa Islam adalah agama (din) dan negara (daulah). Setelah sebelumnya ia mengakui, bahwa ia ikut serta bersama Syaikh Ali Abdul Raziq dalam mengarang buku "al-Islam wa Ushul al-Hukm", salah satu karya seorang azhary yang membakar api perdebatan di kalangan ulama maupun pemikir Mesir pada dekade 20-an. Begitu juga dengan pemikiran-pemikiran menyimpang Taha Hussein yang lainnya.

Namun saya cenderung tidak peduli dengan semua itu. Sebagai penikmat sastra, perhatiaan saya lebih tertuju pada gaya bahasa Taha Hussein yang menakjubkan. Menurut para kritikus, uslubnya seakan-akan diciptakan untuk dirinya seorang. Sedangkan orang lain hanya menikmati, namun tak kuasa menirunya.

Ketika dosen saya, Prof. Dr. Mustafa al-Qadhy, memberikan mata kuliah "Sastra Arab Modern" terkait uslubnya Taha Hussein, ada teman mahasiswa yang bertanya, "Kenapa harus Taha Hussein? Bukankah dia begini dan begitu?"

Sang dosen pun tersenyum sambil mengisyaratkan tangannya agar si penanya tetap tenang dan sabar. Ia sembari mengatakan, "Wahai anakku, tahukah kamu apa itu 'inshaf'?! Sungguh setiap orang mempunyai kebaikan dan kesalahan. Ketika seseorang misalnya mempunyai kebaikan sebesar 70% dan kekeliruan sebesar 30%, apakah yang 30% ini akan menghilangkan yang 70%?! Haihat! Tidak mungkin! Oleh karena itu, inilah makna moderatisme (wasathiyah) yang diajarkan al-Azhar, yaitu terbuka untuk mengambil mana yang baik, dan meninggalkan mana yang tidak baik."

Saya teringat kalau rujukan sastra di al-Azhar alm. Prof. Dr. Muhammad Abdul Mun'im Khafaji (1915-2006), pernah mengkaji uslubnya Taha Hussein secara detail di dalam buku "al-Adab al-Araby al-Hadits", jilid empat. Ia mengatakan, "Musikalitas dan arsitektur uslubnya yang seimbang, adalah dua hal yang paling menonjol dari gaya bahasa Taha Hussein."

Kemudian bagi anda yang ingin menjajali keindahan uslubnya, lihatlah bagaimana ketika Taha Hussein berbicara tentang hal yang mainstream --semisal kisah Umar bin Khattab pada 'Tahun Kebinasaan' (18H)-- dapat menjadi gambaran terkait apa yang saya katakan sebelumnya. 

Dalam hal ini, anda akan mendapati bagaimana hal yang sudah sangat mainstream, menjadi begitu memukau dan terasa begitu spesial, setelah mendapat sentuhan uslub Taha Hussein. 

Oleh karena itu tak heran mengapa Mustafa Sadiq al-Rafi'i, sastrawan yang pernah menjadi musuhnya, menganalogikan Taha Hussein itu sebagai salesman profesional, yang dengan kemampuannya bisa membuat barang yang biasa-biasa saja, menjadi 'wah' dan menakjubkan di mata pembeli.


Islamic Mission City, 13 Juni 2014
Ahmad Satriawan Hariadi 

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India