Kekacauan Sebuah Kritik

Membaca tanggapan Saudari Zulfah Nur Alimah selepas ia membaca "Mir'atul Islam", salah satu buku terbaik Taha Hussein ini; membuat saya bertanya-tanya, apakah dia benar-benar membaca secara utuh buku tersebut, ataukah dia membacanya secara serampangan.
Namun ketika Zulfah mengatakan, "Bahkan beberapa kali aku tertidur ketika membaca, karena untuk pertama kalinya Taha Hussein tak menarik perhatianku, dan aku tak tahu apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan dalam buku ini." Saya semakin yakin bahwa dia memang membacanya secara dangkal, dan bahkan serampangan.
Kita pun tahu implikasi logis dari pembacaan yang dangkal dan serampangan. Ya. Tanggapan Zulfah pun menjadi dangkal, analisisnya pun tidak bisa dijadikan acuan untuk menjustifikasi salah satu karya terbaik Taha Hussein di senjakala usianya. 
Sehingga kita tidak perlu heran, saat mendapati tanggapan dan analisisnya; tidak bernilai apa-apa, ketika dihadapkan pada tanggapan dan analisisnya Dr. Muhammad Imarah pada kata pengantarnya di buku “Mir'atul Islam”, yang menjadi hadiah Majalah Al-Azhar beberapa waktu yang lalu.
Sebagai pembaca yang bebas, Zulfah berhak mengatakan, "Di akhir buku, jelas sekali terlihat bagaimana narasinya yang ngaco." Namun pembacaan yang komprehensif dan mendetail, nyatanya tidak berkata demikian. Justru, di sana kita akan melihat Taha Hussein sedang berusaha sekuat tenaga memberikan solusi, bagaimana umat Islam ini bisa menjadi maju dan terdepan lagi seperti dulu. Dia menegaskan bahwa syarat umat Islam bisa seperti dulu hanya dua, tidak lebih. Pertama, memahami Turas Islam dengan sebaik-baiknya. Kedua, mengambil ilmu dan teknologi dari Barat.
Yang menjadi pertanyaannya adalah, di mana letak "ngaconya" Taha Hussein di sana? Apa yang salah dengan kedua syarat di atas? Zulfah tentu tahu implikasi kedua syarat di atas dalam diri seorang muslim, sehingga saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar, mengapa Taha Hussein mensyaratkan dua hal tersebut, bukan mensyaratkan salah satunya. Bukankah ini adalah titik balik dari apa yang pernah dikatakan Taha Hussein dalam buku "Mustaqbal al-Tsaqafah", ketika ia memberikan solusi, bagaimana cara Mesir bisa bangkit dari ketertinggalannya?
Ketika Zulfah tidak mengerti mengapa Taha Hussein banyak mengutip ayat-ayat Alquran pada awal-awal "al-Kitab al-Tsani", seharusnya ia tidak seenaknya saja mengatakan, "Aku hanya merasa sedang membaca buku seorang ustad yang gemar berdalil tanpa memberikan penjelasan rinci dari ayat ayat yang dikutipnya." Ya. Zulfah tidak seharusnya berkata demikian. Ketika Anda tidak mengerti sesuatu, bukan berarti Anda harus membencinya, kan?
Jika saya menghargai diri saya sendiri, dan menghormati Taha Hussein sebagai salah seorang sastrawan besar Arab di era modern; saya tentu akan merasa bersalah sekali ketika mengatakan, "Taha Hussein yang kukenal, tidak akan membiarkan idenya mengambang dangkal." 
Karena hal ini, bukan saja mendiskreditkan Taha Hussein dan bukunya "Mir'atul Islam", namun juga menzaliminya semikian rupa. Bukankah Taha Hussein pernah menukil puisi Al-Ma'arry di muqaddimah Syarah Luzumiyyat-nya, "Jangan pernah kalian menzalimi mereka yang telah meninggal, meskipun telah lama. Aku takut, satu saat kalian akan bertemu."
Jika Zulfah memang mendaku telah mengenal Taha Hussein, maka salah satu cara untuk membuktikannya adalah dengan membaca buku-bukunya dengan pembacaan yang komprehensif dan mendetail. Sehingga Zulfah tahu mengapa Taha Hussein memilih menulis seperti ini dan berbeda dari yang sebelumnya, mengapa Taha Hussein berpendapat seperti ini, bukan seperti yang dulu. Sebagai mahasiswa sastra dan kritik sastra, Zulfah tentunya tahu, apa saja langkah-langkah yang dilakukan seseorang ketika ia mulai membaca teks sastra sebagaimana dijabarkan panjang lebar oleh Dr. Ahmad Haikal dalam “Dirasat Adabiyyah”. 


Nasr City, 2 Mei 2019
Ahmad Satriawan Hariadi

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India