Islam, Syura, dan Khilafah; Analisis Historis



Prolog
Turunnya Malaikat Jibril beserta wahyu yang dibawanya kepada Nabi Muhammad sekaligus pengukuhan beliau sebagai penutup para Nabi, merupakan titik balik dan batu loncatan bagi umat manusia, bahkan alam semesta.[1] Hal tersebut menandai sapaan kalimat-kalimat Tuhan yang selama ini setia mengiringi manusia melalui Rasul-Rasul yang diutusNya, akan segera terputus dan terhenti.
Misi yang dibawa Nabi Muhammad, tidak lain adalah lanjutan dari misi-misi yang dibawa oleh Rasul-Rasul sebelum beliau.  Dengan misi utama untuk menyeru manusia agar mengesakan Allah dan hanya menyembah kepadaNya, serta tidak menyekutukanNya dengan apapun. Adapun dalam tataran misi yang lain,[2] terjadi perbedaan yang mendasar. Sebab posisi Islam sebagai agama penutup,[3] mengharuskan ajarannya memuat aturan-aturan yang universal dan komprehensif, serta selaras dengan perkembangan zaman.
Secara global, ada dua batasan dalam ajaran Islam; pertama, ajaran yang berkaitan Ibadah;[4] kedua, ajaran yang berkaitan dengan interaksi manusia kepada sesamanya (Muamalah), baik dalam lingkup pribadi, sosial, maupun bernegara.[5] Namun hal yang berkaitan dengan Muamalah, akhir-akhir ini sering menjadi bahan pembicaraan para pakar Islam kontemporer, terutama diskursus sistem pemerintahan dalam Islam. Bahkan diskursus tersebut - pasca Revolusi 25 Januari – menjadi wejangan harian para pakar dan khalayak umum.
Berbagai seminar digelar untuk merumuskan konsep negara yang ideal perspektif Islam. Bahkan al-Azhar, dibawah komando Grand Syaikh Ahmad al-Tayeb, mengumpulkan para pakar di kediamannya[6], untuk merumuskan testimoni Azhar (Watsîqah Azhar) pasca Revolusi 25 Januari terkait konsep Negara dan posisi al-Azhar.
Berbicara tentang sistem pemerintahan perspektif Islam pada dasarnya tidak bisa lepas dari latar historis kemunculan Islam dan peranan Rasulullah ketika mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, berikut para pengganti beliau (Khulafa Rasyidin) dalam merumuskan asas dan tatanan pemerintahan.
Diskursus Khilâfah Islâmiyah pun tak luput dari pembicaraan khayalak. Mulai dari para Ulama, pakar ketatanegaraan, bahkan di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir sendiri. Mulai dari yang pro dan kontra. Tak jarang obsesi para pengusung Khilâfah dari berbagai kelompok, harus menuai kenyataan kurang mengenakkan dari kelompok lainnya. Sebab kelompok yang kontra berusaha membuat mereka yang pro, agar lebih realistis dan berkaca pada kenyataan.
Gambaran di atas adalah sekelumit fenomena terkait diskursus Khilâfah. Namun penekanan historis dari tatanan khilâfah, nampaknya akan membuat pemahaman dan cara pandang kita terhadap konsep tersebut lebih dalam dan terbuka. Sehingga kita, layaknya insan akademis bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan porsi dan tatanannya masing-masing, serta lebih objektif.
Lebih lanjut mengenai sejarah, esensi, dan peranannya, Zuhairi Misrawi pernah mengutip perkataan Ibn Khaldûn yang mengatakan, “Sejarah adalah seni yang luas, bermanfaat, dan mempunyai tujuan yang mulia. Sejarah akan menjadikan seseorang mengerti latar belakang historis umat-umat terdahulu, para Nabi, dan para penguasa dalam misi politik dan tata kelola pemerintahan secara umum.”[7]

Masuknya Islam ke Yatsrib[8] dan Rasulullah sebagai Kepala Negara
Tidak disangkal bahwa dengan hijrahnya Rasulullah dan kaum Muslimin ke Yatsrib merupakan starting point perjalanan sejarah umat Islam. Sebab ketika Nabi dan para sahabat berada di Mekkah; mereka dimarginalkan, diperlakukan secara deskriminatif, bahkan tidak berperikemanusiaan.
Namun berbeda halnya ketika di Madinah. Setelah tiba di Madinah pada tanggal 27 September 622 M,[9] Nabi langsung melakukan konsolidasi dengan penduduk setempat. Dan tak lama kemudian berhasil menjadikan Madinah sebagai basis untuk meletakkan pondasi Islam, baik dalam tatanan keislaman maupun kemasyarakatan (sosial-politik).
Dalam tatanan keislaman misalnya, Nabi dengan leluasa melakukan ritual keagamaan sekaligus menyebarkan Islam ke berbagai penjuru tanpa ada intervensi, apalagi intimidasi dari pihak luar, seperti halnya sebelum hijrah.
Begitu juga dalam tatanan sosial-politik, Nabi membuat kontrak politik dengan para kepala suku dan kaum Yahudi[10] yang ada di Madinah, dengan tema dasar: Kebebasan (al-hurriyyah) dan gotong royong (al-ta’âwun). Dari dua tema dasar tersebut, tersusunlah beberapa hal penting,[11] di antaranya:
1.     Kebebasan dalam berkeyakinan
2.     Kebebasan berpendapat.
3.     Perlindungan terhadap jiwa dan harta.
4.     Penegakan hukum, keadilan, dan persamaan hak dan kewajiban.
5.     Semua perselisihan yang terjadi lintas warga Madinah diselesaikan dan dikembalikan kepada Rasulullah.
Dengan begitu, tertatalah dua pokok besar; pertama, kewajiban setiap penduduk madinah – baik kaum Muslim maupun Yahudi – untuk ikut andil dalam mempertahankan Madinah dari provokasi dan gempuran musuh, baik dengan jiwa maupun harta; kedua, berdirinya sebuah tatanan pemerintahan baru (baca: negara) yang dilindungi konstitusi.[12]
Peranan Nabi sebagai kepala negara jelas sangat signifikan. Bagaimana tidak, beliau berhasil merubah paradigma masyarakat madinah secara multidimensi. Nabi memperkenalkan sekaligus mempraktekkan konsep partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, memperjuangkan supremasi konsensus, dan menggantikan kebanggaan hubungan darah (nasab) dengan integritas dan prestasi individu berdasarkan tauhid. Dengan kata lain, Nabi memperkenalkan etika baru; dari tradisi kebanggaan afiliatif-komunalistik pada suku, digantikan dengan prinsip egalitarianisme dan prestasi individu.[13]
Begitu juga dengan rancangan Nabi terhadap tatanan kehidupan sosial yang merangkul dan melindungi kemajemukan, serta strategi politik yang amat matang, tertuang dalam Piagam Madinah dengan esensi-esensi yang telah disebutkan di atas, tentu memberikan kesimpulan betapa solidnya pemerintahan Nabi.
Dengan demikian, bisa disimpulkan secara cermat bahwa Nabi dalam pemerintahannya, di samping menyampaikan risalah Tuhan (wahyu) kepada manusia, Nabi mengatur dua pokok utama; pertama, permasalahan keagamaan, seperti menegakkan hukum dalam rangka mengimplementasikan risalah yang dibawanya secara eksklusif dan komprehensif; kedua, permasalahan duniawi (sosial-politik), seperti mengatur kehidupan bernegara secara umum.

Korelasi Konsep Syura dengan Islam dan Implementasinya
Syura berasal dari bahasa Arab yaitu الشورى, sinonim dari kata التشاور yang memiliki makna ‘bermusyawarah’ atau saling bertukar pendapat.[14] sedangkan terminologi dari Syura adalah aturan yang wajib  di terapkan jika seorang pemimpin hendak menetapkan keputusan besar, seperti penetapan penggantinya atau pengangkatan wakilnya untuk wilayah tertentu, dengan meminta pendapat kaum Muslimin.[15]  
Tidak bisa dipungkiri bahwa Syura – secara etimologi –  dalam kehidupan bermasyarakat sangatlah penting, bahkan ia adalah kebutuhan. Karena tidak akan menyesal orang yang suka bermusyawarah. Ketika Islam datang, posisi Syura melonjak tinggi, di antaranya Syura menjadi salah satu nama surat di dalam al-Quran,[16] serta menjadi sebuah konsep yang fundamental. Allah sendiri  menegaskan karakter umat Islam sebagai umat yang suka bermusyawarah,[17] bahkan secara gamblang memerintahkan Nabi – dalam konteks sebagai kepala negara – untuk bermusyawarah dalam mengambil keputusan.[18] Hal tersebut membuktikan bahwa Islam telah meletakkan asas politik anti kesewenang-wenangan dan tidak mengizinkan apapun bentuk despotisme menginfeksi tatanan pemerintahan.[19]  
Sama halnya dengan Syura dalam konteks istilah, bahkan tidak diragukan lagi bahwa konsep Syura telah memberikan andil yang sangat besar dalam peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah.[20] Sebut saja ketika Nabi beserta kaum Muslimin hendak bertempur di perang Badar, beliau lebih memilih pendapat para sahabat ketimbang pendapatnya sendiri terkait penempatan pasukan perang, begitu juga masalah tawanan perang, dan lain-lain. Dalam hal ini Abu Hurairah mengatakan, “Tidak ada orang yang paling sering melakukan Syura kecuali Nabi,” diperkuat lagi oleh perkataan penyair, “Hasil keputusan forum tidak akan mengecewakan, namun keputusan pribadi yang sering membuat orang kecewa.” [21]
Konsep Syura sendiri pertama kali diperkenalkan Nabi pada peristiwa perjanjian Aqabah II, saat musim Haji bulan Juni tahun 622 M. Saat itu kaum Muslimin dari Yatsrib yang berhaji berjumlah 70-an orang. Nabi menyuruh kaum Muslimin Yatsrib untuk memilih 12 orang yang benar-benar mewakili kabilahnya. Sesaat kemudian terpilihlah 12 perwakilan dari mereka; sembilan di antaranya berasal dari suku Khazraj dan sisanya berasal dari suku Aus.[22]
Hal ini menunjukkan bahwa Islam memandang Syura bagi seorang kepala negara sebagai suatu kemestian, bahkan harus diadakan (Dewan Syura). Mengingat Nabi pernah mengatakan kepada Abu Bakar dan Umar, anggota dewan Syura Nabi[23] yang paling dekat dengan beliau, “Jika kalian berdua telah sepakat dalam sesuatu, maka aku tidak akan menyelisihinya.” Jika Nabi saja – sebagai orang yang terlepas dari semua kesalahan – secara gamblang menyatakan untuk manut terhadap keputusan forum, maka sudah menjadi kewajiban bagi para pemimpin biasa untuk mentaati keputusan dewan Syura.[24]
Kemudian orang-orang yang tergabung dalam Dewan Syura adalah adalah perwakilan dari masing daerah atau komunitas tertentu yang memiliki integritas dan kapabilitas, baik secara intelektual maupun emosional. Mereka yang biasa disebut Ahlu al-hal wa al-‘Aqd, selain bertugas sebagai dewan pertimbangan khalifah, Dewan ini berwenang memilih dan menentukan khalifah di antara mereka, serta ikut andil dalam memecahkan masalah kenegaraan.
Dengan demikian, konsep Syura merupakan hal yang paling fundamental dalam pemerintahan Islam. Sebab Ia adalah penyeimbang sekaligus pengontrol tatanan kenegaraan secara umum. Meskipun tidak ada teks Al-Quran maupun Sunnah yang memaparkan secara gamblang tatacara implementasi dari Syura itu sendiri, namun muatan-muatan konsepnya telah tertata rapi, sehingga dalam implementasinya akan selalu sejalan, seiring perkembangan zaman.[25]

Meluruskan Khilafah Perspektif Konsep dan Historis
Sebelum masuk ke dalam konteks Khilafah, alangkah lebih baik untuk melakukan flash back terlebih dahulu terhadap Syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sebab konteks khilafah, dalam tataran historis, tidak bisa lepas dari peranan syariat sebagai salah satu misi Rasulullah yang mesti ditegakkan. Dalam hal ini, Mahmûd Syaltût menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Syariat adalah aturan atau hukum yang ditetapkan Allah kepada manusia, baik dalam konteks relasi manusia dengan Allah, maupun sesamanya.[26]
Lebih lanjut ia menjelaskan korelasi Akidah – sebagai misi utama diutusnya Nabi - dengan dengan Syariat. Ia mengatakan, “Islam mengharuskan untuk mengkorelasikan Akidah dengan syariat secara bersamaan. Sebab keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain; dengan posisi Akidah sebagai pondasi dasar dibangunnya Syariat, maka Syariat merupakan implementasi dari Akidah itu sendiri. Keterkaitan keduanya merupakan modal dasar untuk selamat di dunia dan akhirat. Namun berbeda halnya ketika seseorang hanya berakidah saja dan meninggalkan Syariat atau sebaliknya, maka tidak bisa dikatakan Muslim di sisi Allah, dan tentu tidak akan selamat di dunia maupun akhirat.”[27] Selanjutnya Syariat sebagai konstitusi agama, bersumber dari dari tiga hal, yaitu  al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Ketiga sumber ini telah disepakati dan wajib diimplementasikan oleh kaum muslimin, terlepas dari sumber-sumber hukum lain yang masih diperdebatkan.
Terkait konteks Khilafah, hal yang akan kita sorot dari ketiga sumber hukum tersebut adalah Ijma’[28], sebab Ijma’ merupakan landasan utama dari terma Khilafah tersebut. Lalu sebagai pemegang identitas Muslim, sumber hukum tersebut, selain harus diyakini kebenarannya, juga harus diimplementasikan baik dalam konteks perseorangan maupun dalam  bentuk komunal (bernegara).
Kembali kepada terma Khilafah, ia berasal dari bahasa Arab yaitu الخلافة yang berarti ‘pengganti dari yang lain’.[29] Namun didalam al-Mu’jam al-Wasîth, kata الخلافة disinonimkan dengan الإمامة dan الإمارة yang berarti kepemimpinan.[30] Sedangkan terminologi dari Khilafah sendiri adalah “Kepemimpinan universal yang menggantikan posisi Nabi dalam mengatur tatanan keislaman  dan kemasyarakatan (sosial-politik).”[31] 

I
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Nabi memiliki dua tugas utama; pertama, menyampaikan risalah Tuhan yang terakhir kepada umat manusia dan alam semesta secara inklusif, sesuai tugasnya sebagai sebagai utusan Tuhan; kedua, mengatur tatanan keislaman dan kemasyarakan secara praktikal, sesuai tugasnya sebagai pemimpin negara dan agama.
 Ketika Nabi wafat , tugas Nabi yang pertama selesai dan tidak ada lagi setelahnya. Sedangkan tugas yang kedua tetap ada, bahkan menjadi sebuah kemestian.[32] Pasalnya jika terjadi kekosongan dalam kepemimpinan, konsekuensinya akan mengganggu stabilitas Negara. Hal tersebut terbaca dengan jelas oleh para sahabat, sehingga pemakaman jasad Nabi yang suci sempat tertunda selama dua hari untuk menyelesaikan polemik siapa yang akan menjadi pemegang estafet kepemimpinan Nabi (khalîfah Rasûlillâh).
Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa pemangku jabatan ini, bertugas sebagai pengganti Nabi dalam menegakkan hukum Islam (Syariat), sekaligus mengimplementasikannnya secara inklusif dalam kehidupan bernegara sebagaimana yang ada di zaman Nabi. Bukan hanya sebatas itu, melainkan juga bertugas mengatur urusan kaum Muslimin baik tatanan sosial maupun politik.[33] Oleh sebab itu,   Khilafah atau Imamah merupakan suatu kemestian dikarenakan kewajiban menegakkan dua pokok penting, yaitu tatanan keislaman dan kemasyarakatan.
Dengan kata lain, menegakkan khilafah hukumnya wajib secara syariat (Jumhur kaum Muslimin), berdasarkan Ijma’ para sahabat dan tabi’in. Hal tersebut bisa dibuktikan bahwa ketika nabi wafat, para sahabat secara berbondong-bondong pergi membaiat Abu Bakar, dikarenakan alasan-alasan yang sudah dipaparkan di atas,[34] di samping ada beberapa teks-teks dari al-Quran dan Sunnah yang secara eksplisit mengharuskan adanya khilafah.[35]
Kewajiban menegakkan Khilafah tidak semata-mata berlandaskan syariat, sebab ada sebagian dari kau muslimin yang mengatakan bahwa kewajiban tersebut juga berlandaskan akal (logika). Mereka berdalih bahwa tidak mungkin di dalam sebuah komunitas raksasa (negara) terjadi kekosongan kepemimpinan, yang mana tugas pemimpin tersebut adalah melindungi rakyat dan mengatur kehidupan bernegara sesuai konstitusi yang berlaku. Jadi kepemimpinan (Imamah/Khilafah) menjadi sebuah kemestian secara tabiat manusia sebagai mahluk sosial.[36]
Dalam masalah ini, jelas ‘salah’ kalau kita bertanya, “Mengapa Nabi tidak mewariskan sistem atau format tertentu tentang Khilafah?.” Sebab tugas Nabi sebagai ‘kepala negara Islam pertama’ sudah jelas, berikut tatanan dan tata kelolanya.  Yang menjadi pertanyaan adalah, “Mengapa Nabi tidak menunjuk penggantinya?.” Dalam hal ini mantan Grand Syaikh Azhar, Muhammad al-Hadhar Husein (1876-1958) menjawab,  “Nabi belum menunjuk penggantinya karena beliau ingin menunjukkan bahwa jabatan Khalifah itu adalah hak rakyat. Mereka yang memilihnya, mereka juga yang menurunkannya. Mereka memilih siapa yang mampu mengemban amanah dan menurunkannya jika mereka tidak mampu atau melakukan penyelewengan dalam konteks keagamaan atau kemasyarakatan.[37]
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, “Mengapa tidak ada konsep baku dalam pemilihan Khalifah?.” Jawaban Grand Syaikh di atas sebenarnya bisa juga menjawab pertanyaan ini. Namun yang secara jelas, proses pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sebagai khalifah setelah Nabi tidak bisa lepas dari peranan dewan Syura (Ahlu al-Hal wa al-‘Aqd). Abu Bakar misalnya, dalam hal ini Umar pernah bercerita tentang peristiwa Saqîfah Bani Sâidah dan proses terpilihnya Abu Bakar secara aklamasi, ia mengatakan bahwa setelah terjadi diskusi panjang tentang siapa yang paling cocok menggantikan posisi Nabi (khalifah), Abu Bakar – setelah panjang lebar menjelaskan alasan mengapa kaum Muhajirin lebih berhak sebagai Khalifah – mengatakan kepada peserta rapat , “Baiatlah Umar atau Abu Ubaidah sebagai Khalifah.” Spontan Umar menjawab, “Engkaulah yang akan kami baiat, sebab engkaulah tuan kami dan yang terbaik dari kami, serta orang yang paling dicintai Nabi.” Kemudian ia mengambil tangan Abu Bakar dan membaiatnya, tak pelak, para peserta rapat pun langsung serempak membaiatnya.[38]
Di sini kita melihat Umar sebagai orang yang pertama membaiat Abu Bakar. Dan kita bisa ambil konklusi bahwa ia tidak akan membaiat Abu Bakar, kecuali setelah ia memahami dan membaca situasi saat itu – bahwa Abu Bakar yang paling cocok menjadi khalifah – secara matang dan jelas. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan baiat kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir pada waktu itu secara serempak. Diikuti keesokannya dengan baiat kaum Muslimin secara inklusif di Masjid Nabawi.
Kemudian mengenai penyebab Abu Bakar tidak menyerahkan urusan khilafah setelahnya kepada kaum Muslimin layaknya Nabi, melainkan menunjuk Umar serta memerintahkan kaum Muslimin untuk membaiatnya perlu ditinjau. Pasalnya fakta sejarah mengatakan bahwa Jauh sebelumnya Abu Bakar telah melakukan dengar pendapat dengan Dewan Syura[39] (Ahlu al-Hal wa al-Aqd) mengenai penujukan Umar. Diceritakan bahwa saat penyakit Abu Bakar bertambah parah, ia memanggil Abdurrahman ibn Auf, Utsman, Said ibn Zaid, Asyad ibn Hudhair, dan lain-lain sembari meminta pendapat mereka, lalu secara bersamaan menyatakan setuju (penunjukan Umar sebagai Pengganti). Setelah itu barulah dilakukan baiat umum kepada Umar oleh kaum muslimin.[40]
Begitu juga Umar, ketika hendak wafat, orang mengatakan kepadanya, “Wahai Umar, tunjuklah penggantimu.” Ia kemudian menunjuk enam kandidat yang menurutnya paling pantas menggantikannya. Keenam orang tersebut adalah Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Sa’ad ibn Abi Waqqash, dan Abdurrahman ibn Auf. Namun dalam perjalannya, Zubair, Thalhah, dan Sa’ad mengundurkan diri. Sehingga tersisalah tiga orang; Ustman, Ali dan Abdurrahman. Lalu ketiganya bersepakat bahwa Abdurrahman tidak masuk dalam kandidat, tinggallah Utsman dan Ali. Setelah itu Abdurrahman melakukan konsolidasi kepada pemuka sahabat baik dari kalangan muhajirin maupun Anshar, dan kulminasinya adalah kecondongan kepada Utsman dikarenakan faktor umur dan lain-lain. Sehingga keluarlah kesepakatan bersama bahwa Utsmanlah sebagai pengganti Umar. Ibn Taimiyyah sendiri mengatakan bahwa pemilihan Utsman tidak hanya dilakukan oleh sebagian, melainkan oleh seluruh kaum Muslimin secara aklamasi sesuai dengan alasan yang telah dipaparkan di atas.  Hal senada juga disampaikan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal.[41] Namun pada akhir hayatnya, Utsman belum sempat menunjuk penggantinya.
Adapun polemik  mengenai pembaiatan Ali, maka fakta historis yang harus diluruskan adalah pembaiatannya yang dilakukan secara inklusif. Bukan secara parsial dan sembunyi-sembunyi, apalagi lewat paksaan sebagaimana dikatakan Ali Abdul Râziq. Faktanya, setelah Utsman wafat, kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul kemudian bersepakat untuk membaiat Ali.  Lalu mereka mendatangi Ali seraya mengatakan, “Wahai Ali, kemarilah!, kami akan membaiatmu.” Awalnya Ali menolak untuk dibaiat, namun setelah beberapa pertimbangan yang diutarakan kaum Muhajirin dan Anshar, ia pun luluh dan mau dibaiat. Abdullah ibn Abbas sendiri mengatakan bahwa ia dibaiat oleh kaum Muhajirin dan Anshar dan diikuti baiat umum oleh seluruh kaum Muslimin.[42]
Penggalan berbagai kisah di atas memberikan kesimpulan bahwa konsep Syura merupakan asas yang fundamental dalam penetapan pemangku jabatan Khalifah. Ia tetap baku sebagai konsep, namun tidak akan mengurangi kebakuannya jika terjadi perbadaan dalam implementasinya, sebagaimana Abu Bakar dan Utsman yang dipilih secara aklamasi (dilakukan baiat khusus diiringi baiat umum), atau Umar yang ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya dengan pertimbangan Dewan Syura, serta Ali yang langsung dibaiat secara umum pada waktu yang bersangkutan
Jadi jelas, bahwa konsep Khilafah bukan hanya sekadar furû’ ijtihâdiyyah yang bisa berubah-ubah dan tidak memiliki legalitas di mata agama, melainkan sebuah konsep yang memiliki batasan-batasan yang jelas di bawah naungan syariat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Mengingat Khilafah sebagai suatu kemestian  yang  merupakan Ijma’ kaum Muslimin (sumber konstitusi yang ketiga) yang memiliki status sebagai dalil qath’i yang mengikat umat Islam tanpa terkecuali. Hal ini juga mematahkan statemen yang mengatakan bahwa konsep khilafah adalah hasil temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia atau kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep tanpa keterkaitan agama di dalamnya.
Lalu terkait beberapa kebijakan Khulafa Rasyidin yang dikatakan hanya sebuah ‘kebijakan politik’, tentu tidak akan mengurangi esensi khilafah itu sendiri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama. Namun jelas salah, jika kita menafsirkan kebijakan mereka sebagai ‘manifestasi Tuhan’. Sebab wahyu sudah terputus sehingga sumber konstitusi (al-Quran, Sunnah, Ijma’) menjadi baku. Tugas mereka adalah memanifestasikan Syariat (konstitusi) Tuhan di muka bumi berikut menjaga tatanan kemasyarakatan, baik dengan cara mempererat persatuan dan kesatuan kaum Muslimin maupun menjaga stabilitas politik.  Bahkan kebijakan Khulafa Rasyidin sendiri telah mendapat legalitas dari Nabi sebagai sesuatu yang harus diikuti dan diterapkan. Nabi pernah memberikan perintah arahan agar – selain berpegang teguh kepada Sunnahnya – juga berpegang teguh kepada Sunnah (tradisi atau kebijakan) Khulafa Rasyidin.
Hal yang perlu ditinjau adalah kebijakan Abu bakar dalam memerangi kaum murtad (harb al-riddah). Dalam hal ini jelas abu bakar memiliki korelasi dengan agama,[43] sebab dalam fakta historis para Khulafa Rasyidin tetap memegang teguh konstitusi (Syariat) dalam menjalankan roda pemerintahannya. Abu Ubaid mengatakan bahwa Abu Bakar menjalankan roda pemerintahannya atas dasar al-Quran dan Sunnah, jika tidak ada dari keduanya, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan pemimpin kabilah lalu bermusyawarah dengan mereka, hingga akhirnya mengeluarkan kesepakatan. Kemudian kesepakatan tersebut ia jadikan konstitusi dalam pemerintahan.”[44] Kesepakatan tersebut merupakan Ijma’ Khulafa’ Rasyidin. Jika Ijma’ selain Khulafa Rasyidin saja merupakan hukum yang wajib dipatuhi umat Islam, apalagi Ijma’ tersebut merupakan hasil kesepakatan Khulafa Rasyidin?.

Epilog
Pada prinsipnya Syariat (al-Quran beserta sumber konstitusi yang lain) telah dijadikan mudah oleh Allah untuk dipahami, dan diamalkan. Namun dalam implementasinya, membumikan Syariat sebagaimana yang telah diaktualisasikan oleh Nabi dan Khulafa Rasyidin secara multidimensi, disandingkan dengan konteks kekinian tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jangan sampai kita – dalam pengimplementasian Syariat – terjebak, sehingga menjadi skripturalis yang kaku ataupun menjadi sekularis/liberalis yang cenderung menyudutkan wahyu. Diperlukan sikap yang bisa mendamaikan antara kekhususan-kekhususan Syariat dengan situasi faktual kekinian, sehingga memunculkan hikmah dan keindahan berislam.[45] Begitu juga dengan identitas sebagai sebagai Muslim yang memiliki konsekuensi  untuk tunduk dan patuh kepada Syariat. Berikut dalam memanifestasikan Syariat Islam yang akan selalu sesuai dan selaras dengan perkembangan zaman.
Wallâh a’lam bi al-shawâb.

Makalah ini telah dimuat di Jurnal Himmah PPMI Mesir  edisi X Semester I 2011-2012



[1]Sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Anbiyâ’: 107.
[2]Seperti permasalahan yang bersifat far’iyyah.
[3]Lihat QS. Ali Imran: 3.
[4]Seperti Thahârah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji, dan lain-lain.
[5]Hasan Nafi’ah, Mabâdi’ Ilm al-Siyâsah, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyah, 2007), hal. 105.
[6]Masyîkhakh Azhar.
[7] Zuhairi Misrawi, Madinah, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, cet I, 2009), hal. 58.
[8] Nama lain dari Madinah, nama kota tersebut diubah dari Yatsrib menjadi Madinah semenjak Nabi tiba di sana. (Ibid, hal. 123).

[9] Shafy al-Rahman al-Mabârkafûry, al-Rahîq al-Makhtûm, (Manshoura: Dâr al-Wafâ’, 2010), hal. 174.
[10] KaumYahudi yang menetap di Madinah pada masa itu terdiri dari 18 suku, ada juga yang mengatakan 21 suku. Akan tetapi yang paling terkenal di antara mereka ada tiga suku; Bani Qaynuqâ’, Bani Nadhîr, dan Bani Qurayzhah. Lihat al-Sayyid Hamûr, al-Hadhârah al-Islâmiyyah, (Kairo: Al-Azhar, 2002), hal. 77.
[11] Ibid, hal. 77
[12] Sebab semua prasyarat Madinah dikatakan sebagai negara telah terhimpun, diantaranya:
1. Adanya penduduk
2. Adanya wilayah
3. Adanya konstitusi, yaitu Syariat diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad (al-Quran dan Sunnah)
4. Adanya tujuan tertentu yang hendak dicapai (menciptakan keamanan bagi penduduk Madinah dan mempertahankannya dari gempuran musuh)
5. Adanya pemimpin, tiada lain adalah Rasulullah sendiri. (Ibid, hal.77-78).

[13] Zuhairi Misrawi, op cit. Pengantar buku Madinah oleh Komaruddin Hidayat, hal XI-XII.
[14] al-Mu’jam al-Wasîth, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, cet V, 2010), hal. 518.
[15] al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-Âmmah, (Cairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2008), hal. 827.
[16] Yaitu surat ke 42.
[17] Lihat QS. al-Syûra: 34.
[18] Lihat QS. Ali Imrân: 159.
[19] Muhammad al-Hadhar Husain, Nazharât fî al-Islâm wa ushûl al-Hukm, (Cairo: Maktabah al-Îman, 2011), hal.130
[20] al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-Âmmah, hal. 827.
[21] al-Sayyid Hamûr, op. cit., hal. 79.
[22] al-Rahman al-Mabârkafûry (ed), op cit., hal. 142-145.
[23] Dewan Syura Nabi terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, mereka adalah para pembesar dan perwakilan dari suku mereka. Mereka berjumlah 12 orang, diantaranya: Hamzah ibn Abd al-Muttalib,  Abu Bakar, Umar ibn al-Khattâb, Ali ibn Abu Thâlib, Ja’far ibn Abu Thâlib, Abdullâh ibn Mas’ûd, Hudzaifah al-Yamâny, Salmân al-Fârisy, ‘Ammâr ibn Yâsir, Abu Dzar al-Ghifâry, al-Miqdâd ibn al-Aswad, dan Bilâl ibn Rabâh. (Lihat  al-Sayyid Hamûr, op. cit., hal. 78.) 
[24] Hasan Nafi’ah, op.cit., hal. 111.
[25] al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-Âmmah, hal. 828.
[26] Mahmûd Syaltût, al-Islam Aqidah wa Syariah, (Cairo: Dar al-Syuruq, cet XX, 2010), hal. 81.
[27] Ibid, hal. 30-31.
[28] Ijma’ dalam bahasa Arab berarti kesepakatan. Sedangkan terminologi Ijma’ sendiri adalah kesepakatan para Mujtahidin dalam suatu permasalahan (hukum) setelah wafatnya Nabi pada masa tertentu baik dalam permasalahan agama maupun dunia. Ijma’ memiliki legalitas sebagai sumber konstitusi jika tidak ada teks baik dari al-Quran maupun Sunnah. Rasulullah menegaskan, “Umatku tidak akan bersepakat didalam kesesatan.” Hukumnya wajib dijalankan layaknya al-Quran dan Sunnah. (Lihat al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-Âmmah, hal. 48.)
[29] Ibid, hal. 608.
[30] al-Mu’jam al-Wasîth, hal. 260.
[31] Ibn Khaldûn, al-Muqaddimah, (Cairo: al-Dâr al-Dzahabiyyah, 2006), hal. 213.
[32] al-Sayyid Hamûr, op cit., hal. 92.
[33] Ibn Khaldûn, op cit., hal. 213.
[34] Ibid, hal. 214.
[35] Seperti teks al-Quran yang memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati pemimpin atau imam (QS. al-Nisa’: 59), hal tersebut menandakan bahwa adanya kewajiban untuk mentaati pemimpin secara tidak langsung mewajibkan untuk mendirikan kepemimpinan tersebut (imamah/khilafah). Begitu juga dengan banyaknya teks-teks dari Sunnah yang senada; salah satunya hadis yang mengatakan bahwa yang akan menggantikan Nabi setelah wafat adalah para khalifah(lihat Shahîh al-Bukhari:3455). Di samping itu para sahabat tidak berselisih sedikitpun tentang pengadaan khilafah (sebagaimana dipaparkan dalam Jurnal Himmah, edisi IX 2010, hal. 9), mereka hanya berselisih pada konteks siapa yang akan menjadi khalifah setelah Nabi. Kesimpulannya, kewajiban mendirikan khilafah memiliki landasan yang fundamental baik dari al-Quran, Sunnah, maupun Ijma’. (untuk lebih jelasnya, lihat Muhammad al-Hadhar Husain, op cit., hal. 24-27).
[36] Abdul Wahhâb Khallâf, al-Siyâsah al-Syar’iyyah, (Cairo: al-Azhar Magazine, 2011), hal. 74.
[37] Muhammad al-Hadhar Husain, op cit., hal. 86.
[38] Muhammad al-Hadhar Husain, op cit., hal. 15.
[39] Dewan Syura Abu Bakar di antaranya: Umar, Abdurrahman ibn Auf, Utsman ibn Affan, Ali, Asyad ibn Hudhair, Thalhah ibn Ubaidillah, Mu’adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Sa’id ibn Zaid, Zubair ibn Awwam, dan lain-lain. (lihat al-Sayyid Hamûr, op cit., hal. 80).
[40] al-Mâwardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 2006) Tahqiq oleh Ahmad Jâd, hal.30.
[41] Muhammad al-Hadhar Husain, op cit., hal. 17.
[42] Ibid, hal. 17.
[43] Lihat QS. al-Mâidah: 54
[44] Muhammad al-Hadhar Husain, op cit., hal. 89.
[45] Hidayat Nur Wahid, Khulafa Rasyidin sebagai rujukan umat (ed), majalah Gontor edisi 02 Tahun IX Juni 2011.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India