Pembaringan Tua

(Untuk Imam Syafi'i, Waki', Al-Layts, Ibnu Hajar, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Daqiq al-'Ied, dll)    
 
aku berdiri di depan pembaringan tua
menyekar tempat terakhirmu melihat dunia
menengadah ke langit untuk kasih dan ketenangan
meski telah lama sebelumku untaian itu mengalir
melihat tempat tidurmu yang harum
hingga pikir menyadarkanku hakikat hidup
bahwa yang abadi hanyalah ilmu yang kau goreskan saat senjakala
sementara jasadmu telah menyatu dengan pijakan
jerih payah dan ketulusan telah mengukir namamu di langit
meski kau tenggelam, generasi esok hari tetap melihat cahayamu
mengagumi lalu berdoa untukmu sepanjang jalan

jika bukan karena ilmu dan goresan itu
kamu seperti ciptaan yang lain
ada, hidup, lalu hilang tak berjejak
tak ada mata yang tertuju padamu

begitulah! keabadian hanya bersama karyamu
bukan kekuasaan yang disalahgunakan
biarkan langit menjadi saksi
aku yang berjalan di atas titianmu
walau bukan seperti wujudmu

20 Desember 2012
(Saat ziarah ke makam para ulama. Mulai kutulis di makam Imam Syafi'i, dan selesai di makam Ibnu Atha'illah)

Inilah Mahasiswa


Masa-masa saat menjadi mahasiswa memiliki rasa dan pengaruh tersendiri bagi yang merasakannya. Saya melihat idealisme terbakar di ubun-ubun mereka, yang kemudian mempengaruhi gaya pikir dan corak hidup mereka. Bahkan, pada masa inilah mereka berusaha menunjukkan eksistensi dengan karya-karya mereka yang muncul ke permukaan. Mereka bekerja seharian, bertekad merampungkan pekerjaan hingga dini hari. Mereka tak peduli dengan sayup-sayup keletihan yang terpancar di wajah mereka. Ya! Inilah mahasiswa.

Di samping obsesi yang tinggi terhadap ilmu dan wawasan yang baru, mereka juga amat peduli dengan konstelasi politik dan hingar bingar bangsa. Mereka keluar ke jalanan, lalu berteriak lantang. Mereka haus akan kebenaran. Mereka benci konspirasi-konspirasi kotor para penguasa negeri. Mereka ingin, maling-maling itu dipancung di hadapan mereka sendiri. Ya! Inilah mahasiswa.

Namun kehidupan mahasiswa tidak seindah yang anda bayangkan. Meskipun mereka adalah tulang punggung keseimbangan bangsa, tapi kebanyakan mereka hidup dalam ketidakseimbangan. Skala prioritas hidup mereka hanya tertulis rapi dalam angan-angan dan perkataan, sementara mereka sendiri dalam kebingungan. Ide-ide inspiratif mereka rupanya berbanding terbalik dengan tingkah laku mereka sehari-hari. Meskipun akhirnya kita sadar, kalau kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa. Ya! Inilah mahasiswa.

Jika selama ini pakar psikologi menyatakan bahwa kelabilan hanya menjadi corak hidup remaja, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Saya melihat jiwa mahasiswa jauh lebih labil. Mereka akan berdecak kagum dengan hal baru yang membuat hati mereka terkesima. Lalu secara pelan-pelan mengaguminya secara diam-diam. Mereka bahkan sangat idealis saat melihat lawan jenis mereka. Bagi mereka, lawan jenis merupakan ladang yang paling empuk untuk belajar metode kritik. Ya! Inilah mahasiswa.

Jika anda bertanya, apakah yang paling diinginkan oleh mahasiswa? Apakah kesuksesan? Apakah pasangan yang jelita? Apakah strata pendidikan yang tinggi? Maka saya menjawab, semuanya memang diinginkan oleh mereka. Namun tahukah anda apa yang paling mereka inginkan? Jawabannya adalah “pengakuan”, yaitu pengakuan atas eksistensi. Para pemangku kebijakan di negeri ini seperti pura-pura tidak tahu, kalau yang paling mereka butuhkan adalah pengakuan. Ya! Inilah mahasiswa.

Akhirnya, saya berkesimpulan, kalau masa-masa mahasiswa adalah masa-masa kejayaan dalam hidup. Sebab, pada masa inilah wujud karakter seseorang mulai mencapai derajat kesempurnaan. Apakah itu berupa karakter keilmuan, karakter pribadi, ataupun yang lainnya.  Pada masa inilah kematangan potensi diri termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa inilah orang-orang mulai mengenal siapa dia sesungguhnya. Pada masa inilah tabiat menjadi sempurna, yaitu tabiat yang bakal ia bawa sampai mati kelak. Ya! Inilah mahasiswa. 


Islamic Missions City, 15 Desember 2012

Hingga Masaku Tiba

hingga masaku tiba
langkah menunjukkanku dua wajah mereka
persepsiku pun membias sedih dan duka

hingga masaku tiba
masa-masa bimbang hanya bermuara pada diam
hari esok pun menjadi kelam tak ada mentari

hingga masaku tiba
obsesi darah muda adalah simbol kegigihan
yang menghancurkan tirani yang tak bernurani

hingga masaku tiba
jalinan sepasang ciptaan sebelum masanya hanyalah awan kelam
yang menyebabkan hujan tangis sepanjang jalan

hingga masaku tiba
kesungguhan dan kesabaran adalah mata air kehidupan
yang menjadikan tegar di tengah ketidakpedulian

hingga masaku tiba
ketenangan dan kedamaian ada pada simpuh tulus
hingga akhirnya kembali ke pangkuan keesaan


 
H-6, 20 Muharram 1434 H 09.37

REDAKSI

(Buat rekan-rekanku: Fahmi, Sifrul, Lia, Devi, Iis, Isma, dan Bila)

Lima hari berjalan dalam pelangi
Tawa, duka, malu, perih, dan jengkel
Semuanya membias suasana yang hidup
Bekerja seharian demi mahalnya pengalaman
Berawal dari obsesi yang berbeda
Hingga sadar kalau napas tak pernah berhenti
Mendulang ilmu yang terpisah jauh
Lalu kembali terlelap saat pekat
Hidup adalah karya
Karya adalah hidup
Kitalah yang mengabadi bersama goresan ini

Islamic Missions City, 29/11/2012

Lingkaran Warna


lingkaran warna bercerita tentang permulaan
dan aku pun bermula pada noktah yang rapuh
sempoyongan mendulang napas yang kuhirup
bangun, duduk, merangkak, berdiri, lalu berlari
lingkaran warna pupus saat tertiup angin
warna-warni kehidupan ini tak lagi mampu kutatap
warnaku lenyap dalam desau angin yang bising
hingga kembali memutih dan aku pun tak berjejak

12/11/12

Tafsir (ألا له الخلق والأمر)

Ayat (ألا له الخلق والأمر) merupakan penggalan dari ayat 54 surat al-Aʻrâf. Pada permulaan ayat ini, terdapat perbedaan pendapat para ulama pada firman Allah (ثم استوى على العرش) sebanyak 14 pendapat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Syaukani.

Adapun mengenai firman Allah (ألا له الخلق والأمر), Syaikh Azhar, Dr. Muhammad Sayyid Tantawi, di dalam al-Tafsîr al-Wasîth mengatakan, “Maka yang dimaksud dengan al-khalq menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Sedangkan yang dimaksud dengan al-amr pengaturan dan pengurusan yang sesuai dengan kehendak Allah terhadap apa yang diciptakan.”

Namun Imam Muhammad al-Syaukani mengatakan bahwa firman Allah (ألا له الخلق والأمر) merupakan penjelasan dari Allah kepada para hamba-Nya bahwa semua makhluk adalah milik Allah seutuhnya, begitu juga dengan perintah Allah—secara terperinci—maupun berupa pengurusan Allah kepada mahluk-Nya. Dalam hal ini, al-khalq diartikan sebagai al-makhlûq (ciptaan), dan al-amr diartikan sebagai al-tadbîr (pengurusan) dan al-tasharruf (tindakan). Namun ada beberapa ulama yang mengartikan al-amr sebagai perkataan Allah (kalâmullâh) yaitu kata-kata “kun” di dalam firman Allah (إنما قولنا لشيء إذا أردناه أن نقول له كن فيكون).

Jadi, kaitan antara al-khalq dan al-amr menjadi jelas, bahwasanya setelah Allah menciptakan jagat raya ini, maka pengaturan dan pengurusannya—berikut apa yang ada di dalamnya—dilakukan oleh Allah sendiri, sesuai dengan kehendak dan kuasa-Nya.
 
Wallâhu aʻlam

8/11/2012

Apalah Arti Pengorbanan

apalah arti pengorbanan tanpa keikhlasan
dulu, ada kitab yang bercerita tentang bapak-anak
mereka adalah lukisan sempurnanya takwa
akhirnya mengabadi hingga masanya tiba

apalah arti pengorbanan tanpa keikhlasan
jika hanya mencari mata yang menyaksikan
di lain waktu tak acuh dengan peminta jalanan
atau menjaga nama agar sebening embun di obrolan

apalah arti pengorbanan tanpa keihkhlasan
jika dada tak selapang lendang hari akhir
mengubur tangis kecewa yang dulu
lalu merasakan hangatnya kasih

apalah arti pengorbanan tanpa keikhlasan
inilah hari di mana senyum mereka bertemu
saat aku dan kamu terlahir kembali untuk cinta
mengarungi hidup yang tak lama lagi


hari yang adha, 26 Oktober 2012

Senandung Tanah Suci


Ada dataran suci yang dirindu sepanjang detik kehidupan
Sementara tangis kawula bersahutan di kejauhan

Bumi itu diinjak-injak manusia pongah tak berhati
Menutup penjuru dengan tangisan dan darah pribumi
Bumi itu murung di penantian tak berakhir
Rintihan hati ini memikirkannya hingga titik nadir

Ada kawula yang tak mengenal ringkih demi kemerdekaan
Berhari dan bermalam dengan semangat millitan
Ada untaian doa sebening embun untuk bumi yang suci
Bersenandung di bawah terik dan pekat malam sunyi
Ada uluran keikhlasan dari punggawa kehidupan
Berdiri seharian di jalanan untuk jerit tangis penindasan
Menyeka tangis ibu-ibu para mujahid yang kehilangan
Mengatapi gadis kecil yang kehilangan ayah di medan

Balita itu baru saja menghirup napas kehidupan yang gersang
Namun kembali menutup mata di bawah cahaya lembayung
Ulu hati bayi suci digasak timah panas yang dilaknati
Namun ia tetap tersenyum memasuki taman mimpi

Sajak ini berseru di bawah palang kata yang dirangkai
Ia bercerita, menangis, berdoa, dan mencintai
Tak bisakah kaum ini memikirkan tanah suci yang merintih?
Memilah beberapa detik walau dengan doa-doa ringkih

Sejak ini bercerita tentang kerinduan pada masjid yang jauh
Tempat utusan Tuhan menyandar diri mengaku tak lagi kukuh
Kembalilah bumi suci ke pangkuan keesaan yang diberkati
Biarlah senandung langit dilantunkan lagi di masjid ini
Salam untuk masjid dan penduduk tanah suci
Rindu dan cinta ini mengabadi di bawah mentari

Qa'ah Andalus, 22 Oktober 2012
Ditulis dengan air mata pada acara konser amal dalam rangka solidaritas untuk rakyat Palestina di Al-Azhar Conference Center, Nasr City.

Sehari Hidupku

Untuk kesekian kali rasa ini menutupi mata
Menjebak hasrat pada tanya-tanya yang sama
Akhirnya rasa dan langkah membias pelangi
karena makna mulai bersemayam dari sini

Jika kemarin ada semalam untuk selamanya
Maka hari ini ada sehari untuk mengabadi
Ragaku berakar menembus celah kehampaan
Sedang ia meniti jejak kehidupan esok hari

Apalah arti rasa, jika tak ada sempat untuk menoleh ke belakang lagi?

Senandung malam kueja terbata
Tak kuasa menafsirkan makna dari keterbukaan itu
Jiwa hanya merintih bingung saat fajar di ufuk
Melangkahi hari bersama desauan angin musim gugur


Islamic Missions City, 2 Zulhijjah 1433 H

Layakkah Menjadi Alumni Al-Azhar?



Perubahan adalah tabiat kehidupan. Dengan kata lain, alam semesta beserta isinya ini tidak mengenal kata diam. Tapi terus melakukan pergerakan-pergerakan yang sesuai dengan tabiat masing-masing. Rotasi bumi, metamorfosis kupu-kupu, pertumbuhan manusia, dan lain-lain—merupakan hal yang bisa dirasakan atau dilihat secara langsung oleh indera manusia.

Artinya, jika anda mendapati seseorang yang terus menerus stagnan alias tidak mau bergerak—baik untuk menuntut ilmu ataupun bekerja, maka pastikan bahwa orang tersebut telah menyimpang dari lintasan kehidupan yang semestinya ia tempuh. Orang semacam ini harus sesegera mungkin disingkirkan dari kafilah kehidupan.

Dunia akademis merupakan miniatur dari dunia yang sesungguhnya. Jika pada awal tahun akademik para mahasiswa baru mulai merasakan dunia perkuliahan, maka saat itu juga para mahasiswa tingkat akhir mulai beranjak meninggalkan dunia lamanya. Inilah yang sedang dirasakan oleh para mahasiswa maupun alumni baru al-Azhar saat ini.

Setiap tahun, ratusan wisudawan dan wisudawati Indonesia lahir dari rahim al-Azhar. Ibu Pertiwi patut berbangga dengan hal ini. Bagaimana tidak, pendidik-pendidik bangsa yang baru telah lahir dan siap ikut serta membangun dan memajukan bangsa dan negara. Karena mendidik—sebagaimana kata Anies Baswedan—adalah pekerjaan orang yang terdidik.

Sebagai lulusan al-Azhar, disamping kematangan akal dan pikiran,  kapasitas keilmuan dan wawasan juga harus berbading lurus dengan penampilan. Artinya, jangan sampai alumni al-Azhar disibukkan oleh penampilan luarnya saja, sementara pemahaman ilmu dan perbendaharaan wawasan masih dibawah standar.

Hal ini bukan hanya mencoreng harga diri alumni dan nama besar Universitas al-Azhar yang berada di pundaknya, tapi nama baik agama yang kita peluk dan banggakan ini. Karena stabilisas agama Islam—sebagaimana kata Syeikh Muhammad al-Ghazali di dalam Khuluq al-Muslim—hanya akan tetap terjaga pada pengetahuan yang matang dan pikiran yang bijak.

Adapun dampaknya adalah tidak terlaksananya misi alumni al-Azhar sebagai penyebar Islam yang moderat, santun, menghargai perbedaan, dan penuh kasih sayang—sesuai risalah al-Azhar. Namun yang dikhawatirkan adalah sebaliknya, yaitu menjadi penyebar fanatisme buta, liberalis, eksesif, ekstremis, dan jauh dari nilai-nilai fitrah—akibat ketidakmatangan pengetahuan dan kurangnya wawasan alumni.

Membaca Diri dan Mengukur Kemampuan
Inilah betapa pentingnya kita—mahasiswa maupun alumni—kembali membaca diri, mengukur kemampuan, dan akhirnya sadar diri. Dengan membaca diri, kita akan mengetahui kapasitas keilmuan kita, bahwa kematangan ilmu kita bukan pada hafalan diktat kuliah saat ujian—sehingga mendapatkan predikat Imtiyaz.

Tapi kematangan ilmu—sebagaimana kata Prof. Dr. Muhammad Hasan Utsman di salah satu majelisnya (11/10)—diukur  dari kematangan pemahaman kita terhadap berbagai disiplin ilmu yang pernah kita pelajari untuk kemudian kita ajarkan dan amalkan kelak. Dalam hal ini, timbullah pertanyaan kepada diri kita sendiri, “Layakkah aku menjadi alumni al-Azhar?”. Jika kita tidak bisa menjawab, maka kita perlu menelaah kembali apa yang sudah kita pelajari.

Tahap selanjutnya adalah mengukur kemampuan. Jika kapabilitas kita tidak memadai sebagai seorang alumni al-Azhar, alangkah baiknya kita berpikir ulang untuk kembali ke tanah air. Karena, jika kemampuan kita sebelum tiba di negeri Kinanah ini sama, dengan saat kita menggondol gelar License, maka tentu hal ini sangat memilukan.

Contoh yang paling konkret mengenai kemampuan ini adalah kemampuan kita dalam membaca, berbicara, dan menulis bahasa Arab. Namun yang paling memilukan dari ketiganya adalah kemampuan berbicara, yang selanjutnya diiringi oleh kemampuan menulis. Inilah yang patut disayangkan, kemampuan kita memahami bahasa Arab ternyata berbanding terbalik dengan kemampuan kita berbicara yang ternyata masih terbata-bata dan kemampuan menulis yang masih kaku.

Kesadaran Diri = Kematangan Akal dan Pikiran  
Tahap akhir dari upaya ini adalah kesadaran diri. Jika proses pembacaan diri dan pengukuran kemampuan telah rampung, maka tahap ini merupakan titik balik menuju perbaikan diri. Pada titik ini, kematangan akal dan pikiran menjadi tolak ukur sikap, rutinitas, dan upaya untuk menggapai cita-cita kita.

Sehingga apa yang ada dalam genggaman kita saat ini, begitu halnya dengan kejadian-kejadian yang menimpa dan kita saksikan, harus kita pikirkan seraya memetik pelajaran. Dalam hal ini kita jangan sampai terlena lalu lupa, supaya kita tidak terperosok pada lubang kesalahan yang sama.

Contoh yang paling konkret dari kesalahan yang biasa kita lakukan adalah kebiasaan menunda. Kesempatan-kesempatan berharga dalam kehidupan—semacam kesempatan untuk menuntut ilmu dan mendulang harta sebanyak-banyaknya—seringkali berlalu sia-sia kerena kebiasan tersebut. Akibatnya, kita seakan rela dengan dengan kekalahan dan kerugian kita dalam kompetisi kehidupan ini.

Akal yang dikaruniakan Allah kepada kita selaku manusia bukan semata-mata sebagai “Manath al-Taklif” atau pusat pembebanan syariat. Namun akal harus kita fungsikan menurut fitrah asalnya, yaitu menjadikan hidup kita lebih baik dan lebih terarah dari hari ke hari, dan tidak terjebak pada kesalahan serupa.

Dengan memfungsikan akal menurut fitrahnya, kita tidak akan berleha-leha lagi dalam perantauan kita menuntut ilmu. Kita akan menyadari bahwa kewajiaban kita akan selalu bertambah setiap hari, sementara persediaan waktu yang kita miliki tentu saja semakin menipis. Artinya, kewajiban kita berbanding terbalik dengan waktu yang disediakan. Karena itu, dengan kesadaran diri ini, terbuktilah perkataan bijak bestari bahwa penuntut ilmu adalah makhluk Allah yang paling menjaga waktunya.

Dengan demikian, ketika kita mau berpikir dan memakai akal kita, ketika itu pula, setiap detik dalam hidup kita selalu berujung pada dua titik kulminasi kehidupan, yaitu kita semakin dekat dengan Allah dan semakin bermanfaat bagi sesama. Bukan terjatuh pada kesalahan yang sama dan terjebak pada penyesalan yang sama pula.

Sosok Alumni Ideal
Dari pemaparan di atas, setidaknya bisa kita simpulkan sosok ideal alumni al-Azhar. Selain kematangan akal dan pikiran, Kematangan ilmu pengetahuan dan keluasan wawasan merupakan ciri utama seorang duta al-Azhar di tanah air kelak. Sebab upaya mendakwahkan Islam sesuai dengan pemahaman yang benar tidak akan pernah terwuduj jika seorang alumni tidak memiliki keempat hal tersebut, atau masih setengah-setengah.

Kita tidak akan bisa mengumpulkan keempat hal tersebut dalam diri kita kecuali jika dipersiapkan mulai dari sekarang. Tidak pantas rasanya kita disibukkan oleh hal-hal yang tidak berguna dan membuang-buang waktu. Oleh karena itu, kita harus berbenah dari sekarang mumpung masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan mematangkan ilmu kita. Sehingga sosok alumni sekaligus duta al-Azhar ideal benar-benar terwujud dalam diri kita.

Islamic Missions City, 11/10/2012
Artikel Ini dimuat di Buletin TEROBOSAN edisi 348 15 Oktober 2012

Akal dan Kesalahan yang Sama



Apa yang ada dalam genggaman kita saat ini, begitu halnya dengan kejadian-kejadian yang menimpa dan kita saksikan, semestinya harus kita pikirkan seraya memetik pelajaran. Tapi kita dalam hal ini seringkali terlena lalu lupa, sehingga kita selalu terperosok pada lubang kesalahan yang sama.

Contoh yang paling konkret dari kesalahan yang biasa kita lakukan adalah kebiasaan menunda. Kesempatan-kesempatan berharga dalam kehidupan—semacam kesempatan untuk menuntut ilmu dan mendulang harta sebanyak-banyaknya—seringkali berlalu sia-sia kerena kebiasan tersebut.

Namun kita seakan rela dengan dengan kekalahan dan kerugian kita dalam kompetisi kehidupan ini. Apalagi jika keadaan ini diperburuk dengan sikap stagnan dan murung yang berkepanjangan. Hal ini membuktikan bahwa kita telah menggadaikan akal kita. Pesan Allah yang menggugah dalam Alquran semacam "Tidakkah kalian berpikir?!" dan "Tidakkah kalian mengambil ibrah wahai orang-orang yang berakal?!", seakan berlalu begitu saja bersama tiupan halus angin musim gugur.

Akal yang dikaruniakan Allah kepada kita selaku manusia bukan semata-mata sebagai "Manath al-Taklif" atau pusat pembebanan syariat, tapi akal harus kita fungsikan menurut fitrah asalnya, yaitu menjadikan hidup kita lebih baik dan lebih terarah dari hari ke hari, dan tidak terjebak pada kesalahan serupa.

Dengan memfungsikan akal menurut fitrahnya, kita tidak akan berleha-leha lagi dalam perantauan kita menuntut ilmu. Kita akan menyadari bahwa kewajiaban kita akan selalu bertambah setiap hari, sementara persediaan waktu yang kita miliki tentu saja semakin menipis.

Artinya, kewajiban kita berbanding terbalik dengan waktu yang disediakan. Karena itu, dengan kesadaran diri ini, terbuktilah perkataan bijak bestari bahwa penuntut ilmu adalah makhluk Allah yang paling menjaga waktunya.

Dengan demikian, ketika kita mau berpikir dan berakal, ketika itu pula, setiap detik dalam hidup kita selalu berujung pada dua titik kulminasi kehidupan, yaitu kita semakin dekat dengan Allah dan semakin bermanfaat bagi sesama. Bukan terjatuh pada kesalahan yang sama dan terjebak pada penyesalan yang sama pula.

Kampung Sepuluh, 8/10/2012

Aku Heran


Aku heran dengan keraguan manusia pada Tuhan
Padahal mereka melihat ciptaan Tuhan

Aku heran dengan kematian yang dilupakan
Padahal mereka melihat kematian yang berhamburan

Aku heran dengan kehidupan setelah mati yang diingkari

Padahal mereka melihat kehidupan dari ketiadaan diri

Aku heran dengan kefanaan yang dimakmurkan

Namun mereka membiarkan kebadiaan dihancurkan

Aku heran dengan keangkuhan dan kesombongan manusia

Padahal kemarin mereka berupa air lalu esok menjadi jasad tak bernyawa

(Terinspirasi dari perkataan Khalifah Umar bin Khattab)

23/9/2012

Bayi Itu Saudaramu!



Balita itu terkubur reruntuhan
Bukan sekali dua kali mata memandangnya
Ada wajah-majah mungil di Palestina
Yang harus kembali lagi kepada Tuhan
Setelah menikmati dua tiga teguk napas kehidupan

Ada sedu-sedu bayi di Irak saat fajar
Namun kembali sunyi dibawah cahaya lembayung
Ada juga di Bosnia, Rohingya, Kashmir, dan pelosok-pelosok Dataran Biru
Raga ini tegar bersama miris jiwa yang menangis

Namun belakangan ini raga dan dan jiwaku sama-sama ringkih
Aku melihat bayi di Syiria terkubur reruntuhan rumahnya sendiri
Setengah raganya masih terbenam di bumi
Tidurnya pulas sekali
Rambutnya menguban
Kulitnya memutih

Iya, sisa-sisa reruntuhan melapisi tubuhnya

Jika sebelumnya para pembantai adalah musuh yang dituliskan Alquran
Maka di Syiria pembantainya adalah saudara mereka sendiri
Ia adalah teman bermain masa kecil
Sama-sama berlari mengitari kampung kelahiran
Lalu berteriak sekeras-kerasnya

Kekuasaan telah menutupi mata hatinya
Jabatan telah melenakan siang malamnya
Kini ia berpijak di atas kepala rakyatnya
Berjalan dan berlari seharian

Bayi itu terlalu lemah untuk dijadikan pijakan
Bayi itu seharusnya diiming-iming dengan kasih
Bayi itu adalah saudaramu, Kawan!
Jangan heran! Bayi itu akan jadi bumerang suatu saat nanti

Islamic Missions City, Syawal 1433 H

GURU



Salah satu kelebihan yang Allah berikan kepada kita adalah kerunia ilmu pengetahuan yang diajarkan lewat perantara guru. Jika dicermati, tugas guru hampir serupa dengan tugas Rasulullah. Guru-lah yang membimbing dan menuntun manusia agar senantiasa berada pada rel kebenaran dan cahaya ilmu pengetahuan. Maka dalam hal ini, sungguh tepat orang Arab tatkala mengatakan, “Hampir saja seorang guru menjadi Nabi.”

Jika meniliti tabiat kehidupan lebih jauh, maka semua makhluk Tuhan (baca: alam semesta) adalah guru, terlebih kita sebagai manusia, yang ditunjuk menjadi khalifah di muka bumi. Kita adalah guru bagi diri kita sendiri, kemudian keluarga, hingga menjadi guru bangsa.

Ini merupakan konsekuensi logis yang mesti kita terima dengan lapang dada. Sebab, tabiat hidup memang telah didesain untuk selalu berubah setiap detiknya, sehingga menuntut kita untuk selalu siap menempati posisi yang ditinggalkan oleh para pendahulu.

Kita harus menujukkan bahwa kita—sebagaimana kata Sultan Muhammad al-Fatih saat hendak menaklukkan Konstantinopel—memang layak menjadi penerus generasi terdahulu.

Proses regenerasi merupakan bukti yang paling konkret, betapa kita memang harus menjadi guru—terlepas dari pekerjaan sebagai guru formal. Proses pertumbuhan dan perkembangan yang kita alami; mulai dari balita hingga dewasa—membuktikan bahwa hidup memang tidak stagnan. Rela atau tidak, hidap telah mendaulat kita menjadi guru bagi orang-orang setelah kita.

Generasi setelah kita adalah tanggung jawab kita seutuhnya. Jika tidak bisa memberikan pendidikan/pengajaran yang lebih baik dari apa yang telah diberikan oleh pendahulu kita, maka paling tidak kita harus memberikan hal yang sama kepada generasi setelah kita.

Oleh sebab itu, hal yang paling logis untuk kita lakukan adalah melakukan pembenahan diri sejak dini. Kita harus menjadi sosok yang matang dan berkualitas secara pola pikir, yang kemudian diaktualkan dengan tindakan yang terpuji dan bermanfaat bagi umat manusia.

Untuk menjadi sosok yang didamba tersebut, tentu tidak mungkin dicapai dengan bermimpi atau bermalas-malasan. Pola pikir yang matang dan berkualitas hanya akan didapati dengan membaca kehidupan, yaitu dengan menambah pengalaman dan memperkaya wawasan kita.

Adapaun cara yang paling jitu untuk memperkaya pengalaman adalah berinteraksi langsung dengan alam semesta, bukan berdiam diri di tempat tinggal. Begitu juga dengan pengayaan wawasan, kita tidak mungkin bisa memperkaya wawasan dengan cengengesan di depan laptop ataupun nongkrong di mall maupun di pinggir jalan. Wawasan kita hanya akan bertambah dengan membaca dan membaca.

Kematangan pola pikir saja tidak cukup untuk menjadi sosok ideal bagi seorang guru. Ia harus mengaktualkannya dalam tindakan-tindakan terpuji, hingga ia menjadi teladan yang baik bagi orang disekitarnya. Proses pengaktualan ini—dalam aplikasi realnya—tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia membutuhkan motor penggerak yang senantiasa mengarahkannya untuk melakukan tindakan yang bermanfaat bagi umat manusia. Motor penggerak tersebut adalah keimanan yang kokoh dan kesempurnaan tawakal kepada Tuhan.

Kondisi ekonomi kita boleh saja tidak kuasa mengantarkan kita menyelesaikan jenjang pendidikan yang kita dambakan. Namun, jangan sampai terbesit dalam pikiran kalau kita tidak ada apa-apanya di dunia ini.Kita adalah guru yang sejati. Guru bagi generasi setelah kita. Jika kita hanya bisa menyebrangi satu pulau, maka generasi setelah kita harus mengelilingi dunia. Obsesi mereka tidak akan bisa menjadi kenyataan kecuali adanya dorongan yang konsisten dari kita, selaku guru bagi mereka semua.

Islamic Missions City, 4 September 2012
Ahmad Satriawan Hariadi

Lukisan Sesal dan Harap



Ada yang membahasakan dimensi yang berjarak
Hingga sepasang ciptaan kaku dan meringkih tertunduk
Mengeja masa lalu yang berharikan tawa lepas

Ada yang meratapi kepergian belahan jiwa
Bilamana masa-masa itu ada sempat untuk menyeka air matanya?
Agar sesal ini tak terpikul oleh sesaknya dada

Ada yang menangisi keindahan yang melepuh
Sebab dulu paras dan pesona mengisi mimpi-mimpi darah muda
Kini memandang diri pun bisa menjadi sedih tak berkesudahan

Ada yang menyesali kesempatan yang terabaikan
Masa kuat dan jaya terseret dalam ambigu lalu berlalu
Jiwa pun tak kuasa meredam teriakan penyesalan

Ada Jasad terpaku karena sihir dua senyuman
Sihir gadis jelita yang jenjang dan bermata lentik
Cekatan merawat pujangga dan menerima apa adanya

Islamic Missions City, Syawal 1433 H
Ahmad Satriawan Hariadi

Kaum Terpelajar, Sejauh Mana?



Secara alami, kita sering memusuhi apa yang tidak kita ketahui. Bahkan, dengan pengetahuan kita terhadapnya yang masih setengah-setengah, kita semakin memusuhi hal tersebut. Hal tersebut, menurut pandangan penulis, sangatlah wajar. Bagaimana tidak, minat kita untuk lebih banyak membaca, kemudian menganalisis, lalu keluar dengan kesimpulan yang matang dan dipertanggungjawabkan—memang belum sampai kepada hal tersebut.

Hal tersebut juga diakui oleh sastrawan Arab terkemuka, Taha Hussein (1889-1973), terlepas dari pandangannya yang kontroversial. Menurutnya, minat kita terhadap membaca hal-hal yang berat memang sudah sangat menurun. Media-media, lanjutnya, merupakan hal-hal yang sangat ringan dan tidak membutuhkan jerih payah dan akal yang matang untuk memahaminya. Jika dicermati, apa yang dikatakan oleh Taha Hussein ada benarnya, dan sangat sejalan dengan apa yang kita lihat pada masa kita saat ini. Kaum terpelajar yang tugas utamanya adalah belajar dan belajar, sudah melupakan jati dirinya sendiri. Mereka lebih condong kepada hal-hal yang bersifat materi dan berpola pikir pendek.

Jika para pendahulu menjadikan materi sebagai penunjang untuk keberlangsungan studi mereka; seperti perjuangan Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu—maka kaum terpelajar saat ini menjadikan studi sebagai penujang keberlangsungan bisnis mereka; seperti visa pelajar yang dimanfaatkan untuk bekerja. Jadi, anda saat ini jangan berpikir masalah minat baca mereka, tapi seyogianya berpikir bagaimana mengubah paradigma kaum terpelajar ini. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sehingga hal ini bukan saja menjadi kebiasaan, melainkan sudah menjadi karakter kaum terpelajar kita saat ini.

Jika setengah abad yang lalu sastrawan sekaligus pemikir Arab, Ahmad Amin (1886-1954) di dalam Faydh al-Khâthir, mengeluhkan keadaan kawula muda yang tidak mau menelaah dan mempekerjakan otaknya untuk membaca dan menanalisis buku-buku besar, sehingga mereka cenderung terbiasa dengan bacaan-bacaan yang tidak menguras energi dan pikiran; semacam koran, majalah, dan cerita-cerita ringan—maka saat ini kita jangan sampai mengeluhkan yang sama. Sebab kawula terpelajar belakangan ini memang tidak mau membaca dan belajar. Kita akan mendapati bahwa cita-cita yang begitu mulia dan tinggi akan berbanding terbalik dengan upaya untuk mengaktualkannya.

Maka produktivitas kaum terpelajar kita saat ini berada pada titik nadir yang ironis. Mereka sudah tidak lagi berpikir tentang sumbangsih kepada agama dan negaranya. Mereka sudah tidak lagi berpikir masalah peradaban. Mereka sudah tidak lagi berpikir masalah ketertinggalan. Mereka hanya bisa berkomentar dan berkomentar. Mereka hanya bisa mengkritik. Lidah mereka bukan lagi aktualisasi kematangan nurani dan pikiran, melainkan bahasa nafsu yang pedas dan menyakiti perasaan. Mereka hanya bisa memikirkan keuntungan apa yang bisa diraup untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Sampai kapan engkau seperti ini wahai kaum terpelajar?

Islamic Missions City, 8 Syawal 1433 H

KECEWA



Kecewa adalah kehidupan
Tak selamanya hidup kuasa tertawa
Adakala air mata dan ringkih jiwa
Sampai tak kuasa membuka mata

Adakala keindahan rekah bunga tak mampu mengalir ke hati
Hingga dada terpasung dalam sempit kesedihan

Bilamana mimpi tentang dia
menjelma nyata?

Kecewa ini dibalut air hujan
Mengapa harus sekarang?
Sementara harapan telah puluhan purnama memaknai wujudnya
Ia telah membahasakan sempurnanya ciptaan
Mengukir nama dan jiwanya di hidupku

Kini nyawa tergeletak di bawah surau
Mengadu kecewa di balik simpuh kesunyian

Aku kecewa!
Pergilah!

Syawal 1433 H

Secret Admirer (Cerpen)


Obsesi dan harapan terhadap sesuatu memang tidak ada putusnya. Keduanya terus bermetamorfosis bersama mentari yang tak bosan menampakkan lesung pipinya di ufuk timur, begitu juga riak-riak merah merona yang romantis saat ia terbenam. Ada saja tawaran yang menggiurkan dari hidup kepada manusia dalam iringan detik-detik kehidupan.
Manusia dalam hal ini hanya bisa berkaca-kaca dalam hasrat yang haus dan kelaparan. Pikirannya pun dipenuhi dengan obsesi dan harapan agar bisa lebih dekat lalu bersua. Selepas itu, apakah tawa atau tangis? Tidak ada yang tahu. Lalu bagaimana jika obsesi dan harapan betah dalam pertapaannya sehingga tidak kunjung berwujud?
Langkah boleh saja pasti. Tekad boleh saja membaja. Namun keberanian untuk membuatnya menjadi nyata, masih saja terlelap dalam pikiran dan pandangan. Ia telah lama memendamnya dalam hati. Pertemuannya yang cukup rutin di angkutan umum saat pulang dari kampus membuat wajah dan cekikikan gadis Pattani itu menginang erat di rongga hati.
Belakangan ini, ia baru tahun nama gadis itu dari Ismail, teman sekampusnya yang berasal dari Pattani, Thailand. Naya. Ya, nama gadis itu adalah Naya. Mahasiswi bertubuh jenjang asal Pattani Thailand itu ternyata harus memperdalam bahasa Arabnya di Kulliyah al-Ulum al-Azhariyah atau yang lebih populer di kalangan mahasiswa Indonesia dengan sebutan Daurul Lughah. Sementara dirinya, pada tes perdana yang ia jalani di Mesir, dinyatakan lulus dan bisa langsung tercatat sebagai mahasiswa pada fakultas yang ia pilih sebelumnya. Ia lebih memilih fakultas Dirasat Islamiyah wal Arabiyah atau yang lebih dikenal di kalangan mahasiswa asing di Madinatul Buus (asrama resmi mahasiswa asing Universitas al-Azhar) sebagai Kulliyah al-Rijal (kampusnya para kesatria), yang berada di kawasan H-6, Nasr City, bersebelahan dengan kampus Daurul Lughah.
***
Sudah enam bulan ia digerayangai perasaan yang tak menentu jika ia bertemu dengan gadis putih itu. Dampaknya pun selalu begitu, gadis itu menjadi trending topic di dalam pikiran dan napas yang ia hembuskan selepas ia tiba di flatnya. Sampai saat ini ia tak kunjung berani untuk sekedar menyapanya. Memang, mahkota azhari yang bertengger di atas kepalanya, selalu mencegah hasrat dan memasung mimpinya.
“Sampai kapan kamu seperti ini? Oh ya, saya pernah menonton film Alexandria. Apa kamu tidak takut menyesal di kemudian hari, kalau sampai Naya belum tahu perasaanmu, seperti seperti sosok Bagas yang akhirnya harus menerima kenyataan pahit karena ia terlambat mengungkapkan cintanya pada Alexandria?” kata Reza membuyarkan lamunannya.
Nadif hanya menggelengkan kepalanya. Perasaannya masih terus terkatung-katung tak menentu. Suasana seperti itu seringkali membuat lidah membeku.
“Sudahlah, Bro! Besok, kalau kamu ketemu dengan Naya, disapa saja, terus kenalan, gimana?” ujar Reza menawarkan idenya.
“Nggak!” jawab Nadif tegas sambil memusatkan pandangannya kepada Reza.
Melihat hal demikian, Reza pun memahami keadaan sahabatnya. Nadif memang tertekan dengan perasaannya sendiri yang terkadang bisa membuat orang menjadi sangat sensitif. Keduanya pun membatu.
“Sampai kapan pun, saya tidak akan menyapanya, apalagi kenalan, titik!” suara Nadif memecah keheningan. “Saya juga akan berusaha untuk tidak bertemu lagi dengannya. Mulai hari ini, Naya lenyap, Naya mati, Naya is no more! Jadi kamu jangan sekali-kali menyebut nama gadis itu di depan saya. Saya kesini mau belajar. Saya tidak mau kalau nilai saya pada tahun kedua ini terperosok gara-gara dia.”
***
Usia termin dua sudah merenta. Para mahasiswa sibuk mempersiapkan dirinya untuk melawan momok ujian yang siap memupus optimisme atau boleh jadi mengukir kebahagiaan di pelupuk mata. Semua tergantung pada diri masing-masing. Jika meremehkan, maka rasa sok pintar akan bercokol di dalam sikap dan tingkah laku. Ujung-ujungnya pun tampak jelas, tangis dan penyesalan. Sedangkan jika tidak meremehkan, maka itu adalah seberkas cahaya di esok hari. Ada ribuan tawa dan cekikikan yang mengantre di depan sana.
Nadif sibuk mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian. Ia mendesain kamarnya agar ia bisa belajar senyaman mungkin tatkala berduaan dengan diktat kuliahnya. Ia benar-benar all out untuk hal ini. Naya dan wajahnya entah kemana. Persinggahannya hanya dua, masjid dan kamarnya.
Ujian termin dua ia jalani dengan suka cita. Rona kepuasan selalu menjadi penuntas goresannya pada lembar jawaban ujian. Liburan musim panas pun telah menantinya di lintasan kehidupan. Ia kini telah menemukan dunia barunya. Nadif tidak pernah bertemu lagi dengan Naya sejak ia bertekad untuk menghindari pertemuannya dengan gadis itu. Ketika berangkat ke kampus, ia lebih memilih mengendarai mobil Tramco daripada bus umum; dengan rute dari Buus ke Duwea, dari Duwea ke kampusnya.
Berbeda halnya dengan Naya. Saat para mahasiswa di fakultas-fakultas lain mulai menikmati liburan musim panas mereka, mahasiswa-mahasiswi Daurul Lughah masih tetap intens mengikuti perkuliahan. Ada sepuluh mustawa (jenjang) yang mesti dilewati oleh mahasiswa Daurul Lughah agar bisa mengecap manisnya bangku perkuliahan yang sebenarnya. Naya kini sudah berada di mustawa terakhir. Sebentar lagi gadis manis itu akan berkampus di Awal Sabi, pusat kampus putri Universitas al-Azhar.
Godokan para dosen di Daurul Lughah rupanya sudah cukup memberikan Naya kepercayaan dirinya untuk masuk ke dalam dunia perkuliahan al-Azhar yang sejati. Kemampuan membaca, memahami, dan menulis Arabnya sudah cukup mumpuni untuk masuk jurusan bahasa Arab di Fakultas Dirasat Islamiyah Banat, jurusan yang ia cita-citakan sejak ia masih di Pattani dulu.
Cerita tentang perasaan Nadif kepadanya sama sekali ia tidak tahu. Selama ini ia lebih memilih menunduk atau bercanda ria bersama temannya saat mengendarai angkutan umum. Naya tidak pernah terpikir sedikit pun, kalau selama ini, ada yang diam-diam memperhatikan gerak-geriknya. Nasib yang menyebabkan ia masuk ke Daurul Lughah sudah cukup membuatnya sadar diri, bahwa ia memang harus belajar lebih intens lagi.
***
Aula Wisma Nusantara sore itu terbilang cukup ramai. Perkumpulan mahasiswa Pattani mengadakan acara hajatan besar selepas ujian termin dua. Aneh memang. Wisma Nusantara yang semestinya lebih sering diramaikan oleh mahasiswa Indonesia dengan berbagai aktivitas, baik yang bersifat akademis maupun sosial, nyatanya tidak demikian. Justru mahasiswa asing-lah yang lebih aktif memakmurkan Wisma Nusantara dengan geliat intelektual dan sosial yang signifikan; sebut saja mahasiswa Pattani  yang selalu mengadakan kajian intens minimal satu kali seminggu, dan lain-lain.
Naya rupanya tidak ketinggalan untuk menghadiri acara hajatan tersebut. Acara pun berjalan sesuai dengan agenda yang ditetapkan. Ketika Naya hendak pulang tiba-tiba ada yang memanggil namanya.
“Bagaimana kabar Nadif?” sapa Ismail yang tidak lain merupakan teman sekampungnya.
Kening Naya mengkerut. Ia bingung dengan pertanyaan Ismail. Hatinya ingin sesegera mungkin mengetahui maksud dari pertanyaan temannya.
“Nadif?”
“Iya, Nadif.”
“Siapa Nadif? Ada apa dengannya? Apa kaitannya denganku?”
Ismail tersentak. Ternyata dugaannya selama ini salah. Perkiraanya kalau Nadif dan Naya sudah saling kenal satu sama lain—kemudian mengubahnya menjadi kesepahaman, sehingga ikatan batin antarkeduanya terjalin menuju cita-cita yang mulia—salah total. Naya belum tahu sedikit pun tentang Nadif. Apalagi mengetahui rencana dan harapan Nadif terhadapnya. Ismail kini bertanya-tanya kepada dirinya. Buat apa Nadif bertanya begitu detail tentang Naya selama ini? Ismail pun menceritakan kepada Naya perihal Nadif dan perasaannya.
***
Hati gadis itu bimbang. Ia senang, bingung, dan penasaran sekaligus. Senang karena ternyata ada juga kaum Adam yang menjadi pengagum rahasianya selama ini. Bingung karena pemuda tersebut tidak kunjung berani untuk sekedar memperkenalkan namanya. Padahal, menurut Ismail, ia begitu terobsesi untuk bisa menjalin hubungan dengannya. Sedangkan rasa penasarannya tertuju pada sosok pemuda tersebut. Bagaimana rupanya? Bagaimana akhlaknya? Dan bagaimana seterusnya?
Perasaan tak menentu tersebut terus melekat bersama Naya. Hal ini terus berlanjut sampai ia benar-benar lulus dari Daurul Lughah. Kini Naya sibuk mengurus berkas-berkasnya di bagian Tansiq dan Daurul Lughah sendiri untuk kemudian dikirimkan ke Kulliyah Banat. Tetapi Naya pada tahapan berikutnya mengalami kesulitan di bagian Tansiq (penerimaan mahasiswa baru), karena proses administrasinya yang berbelit-belit. Gadis itu menangis kecewa di pojok rektorat. Ia terus di-bukroh-kan (disuruh datang besok pagi) oleh pegawai Tansiq. Sudah lima kali ia ke tempat memuakkan tersebut. Ia tak habis pikir, Ia ternyata tercatat di Departemen Ushuluddin, bukan Departemen Bahasa Arab. Permasalahan pun semakin kompleks. Ia semakin meringis pilu.
Naya saat ini mempunyai permasalah baru. Ia harus segera mengurus administrasi perpindahan jurusan sebelum berkas-berkasnya dipindahkan ke Kulliyah Banat. Ia teringat dengan Ismail. Ia harus meminta bantuan sahabatnya. Proses administrasinya kini mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Surat permohonan perpindahan jurusan kepada Rektor sudah rampung. Begitu juga dengan uang administrasi sebesar EGP. 200,00, sudah ia setorkan.
Rona keceriaan bersemi di pelupuk mata gadis berkerudung lebar ini. Rasa terima kasihnya tiada terkira. Kini ia mengerti betul arti sahabat. Ismail hanya tersenyum mendengar sahabat kecilnya berterima kasih girang. Tiba-tiba Naya teringat dengan Nadif, sosok yang menghadirkan tiga perasaan sekaligus dalam hidupnya akhir-akhir ini. Tetapi Ismail hanya menjawab sekenanya. Ismail mengakui kalau intensitas pertemuannya dengan Nadif selepas ujian semakin jarang.
“Dia jarang kelihatan di Buus.”
“Mmm. Begitu ya?!” rona ketidakpuasan terpacar cerah di sela-sela kerutan dahi Naya.
Ismail hanya menganggukkan kepalanya, lalu meneruskan langkahnya menuju halte bus di belakang Fakultas Tarbiyah. Sambil menunggu bus jurusan Darrasa, mereka mengisi waktu dengan obrolan-obrolan ringan.
“Bagaimana natijah-mu (nilai ujian)?” tanya Naya.
Natijah ya? Hehehe. Sudah keluar kemarin. Alhamdulillah saya najah (lulus). Jayyid.”
“Alhamdulillah. Mmm. Oh ya, kalau Nadif bagaimana?”
“Oh ya, saya lupa memberitahu kamu tadi. Saya sangat salut terhadap pengagum rahasiamu itu. Dia satu-satunya wafidin (mahasiswa asing) yang mendapatkan predikat Imtiyaz di Fakultas Dirasat.”
Mata Naya berkaca-kaca lalu tersenyum lebar. Ada perasaan bangga yang meluap-luap dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia bangga karena yang menjadi secret admirer-nya adalah seorang yang brilian. Rasa penasaran dan kagumnya terhadap sosok Nadif mulai menyemi indah di setiap rongga hatinya. Hatinya berulang kali mendesaknya untuk mengetahui dan melihat secara langsung pemuda brilian itu. Tiba-tiba Ismail membuyarkan lamunannya.
“Kok tersipu gitu sih Nay? Busnya datang tuh. Ayo kita naik!”
“I..iya.”
Mereka berdua harus berdiri. Kursi yang ada di dalam bus itu terisi penuh. Mereka kembali melanjutkan obrolan, sementara pengemudi mulai memacu angkutan umum tersebut.
“Lah! Itu Nadif baru keluar dari pintu gerbang utama!” kata Ismail tiba-tiba memotong pembicaraan, seraya mengarahkan telunjuknya pada sosok pemuda.
“Hah! Mana orangnya?” tanya Naya terperanjat dengan perasaan tak menentu.
“Itu lo! Pemuda bertubuh jenjang yang mengenakan kaos bola.”
Naya hanya tersenyum. Ia membiarkan hatinya menafsirkan kalimat-kalimat jiwa yang tersulam dalam rasa kagum, bahagia, bahkan rindu. Perasaan gadis jelita berdarah melayu itu tak menentu. Ia mengunci lidah lalu membatu di atas pijakannya. Lengkap sudah rentetan kebahagiaan yang mengitari hidupnya hari ini. Proses adimistrasinya sudah hampir ia rampungkan dan ia akhirnya mengetahui sosok pemuda yang mengaguminya selama ini. Bahkan sebaliknya, pemuda yang mulai ia kagumi untuk saat ini dan seterusnya.
***
“Mau kemana Dif? Rapi amat,” sapa Reza.
“Ke acara peringatan malam Lailatul Qadar. Lah! Kamu tidak ikut? Ada Syekh Azhar lo!”
“Aduh maaf, saya ada acara di kekeluargaan. O ya, nanti kalau kamu pulang, jangan lupa dibagi-bagi ilmunya.”
Nadif beranjak meninggalkan kamarnya menuju halte bus yang berada di depan Rumah Sakit Buus. Acara tersebut dilaksanakan di Al-Azhar Conference Center (ACC) yang terletak di H-6, Nasr City. Pembicaranya hanya tiga orang; Syekh Azhar, Mufti, dan Menteri Wakaf. Nadif menyimak dengan saksama apa yang disampaikan oleh para ulama tersebut. Setelah secara perlahan ia berusaha menghilangkan Naya dari kehidupannya beberapa bulan terakhir, kini ia berhasil melepaskan diri dari kungkungan perasaan. Ia merasa bahwa perasaanya terhadap Naya selama ini ia rasakan seorang diri. Perasaan yang memasung riak-riak kebahagiaan di hari esok. Nadif bertekad untuk terjun total ke dalam geliat keakademisan, layaknya seorang penuntut ilmu. Selepas ujian termin dua hingga menjelang kepergian Ramadan ini, konsentrasinya hanya tertuju pada kegiatan talaqqi, membaca, dan menyempurnakan hafalan al-Qur’an.
Acara yang berlangsung di Qa’ah Andalus (Aula Andalus) tersebut belangsung tertib. Selepas acara, sebagian hadirin beranjak ke depan panggung untuk bersalaman dengan para narasumber sekaligus foto bersama. Sementara Nadif lebih memilih keluar dan langsung pulang. Akan tetapi langkahnya terhenti beberapa meter sebelum menapaki pintu ruangan. Ia terhentak sejenak, lalu membatu dengan tatapan kosong. Ia bertemu pandang dengan seorang gadis yang tidak asing dalam hidupnya. Ya! Nadif dan Naya terdiam sejenak dalam tatapan mereka satu sama lain.

Islamic Missions City, 12 Ramadan 1433 H
Ahmad Satriawan Hariadi

Masyarakat Madani dalam Perspektif Islam: Konsepsi Substantif, Aplikatif, dan Solutif

Ahmad Satriawan Hariadi
Faculty of Islamic and Arabic Studies Al-Azhar University, Cairo, Egypt

ABSTRACT
A discourse of madani society is not new thing to be discussed. But in it way, there is an overlap conception with the concept of civil society in western countries. As for the conception of madani society, that actually adopted from Rasulullah's concept when he built madani society at Medina, has experienced a reduction of the essence and concept. So that ultimately cause the integrative tendencies between the concept of civil society with the concept of madani society in the Islamic perspective, which in essence is very contradictive. This paper endeavors to brings back the authenticity of Islamic concept in order to build a madani society, that takes its point of departure from the Rasulullah's actualization concept at Medina. Further, this paper also presents three characteristics of Islam that became the foundations, characteristics, and orientation of madani society in the Islamic perspective, which are Islamic humanism, Islamic moderation, and Islamic tolerance.
Keywords: Conception, Islam, Madani Society

ABSTRAK
Diskursus masyarakat madani memang bukan hal yang baru lagi untuk diperbincangkan. Namun di dalam perjalanannya, terjadi tumpang-tindih konsepsi dengan konsep civil society yang di dengungkan Barat. Adapun konsepsi masyarakat madani, yang sejatinya diadopsi dari konsep Rasulullah ketika membangun masyarakat Madinah, telah mengalami pereduksian esensi dan konsep. Sehingga pada akhirnya menimbulkan tendensi integratif, antara konsep civil society dengan konsep masyarakat madani dalam perspektif Islam, yang sejatinya sangat kontradiktif. Tulisan ini berupaya menghadirkan kembali autentisitas konsepsi Islam guna membangun masyarakat madani, yang mengambil titik tolak dari aktualisasi konsep Rasulullah pada masyarakat Madinah. Lebih lanjut, tulisan ini juga menghadirkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi fondasi, karakteristik, dan orientasi masyarakat madani dalam perspektif Islam; yaitu Islam yang humanis, Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.
Kata Kunci: Konsepsi, Islam, Masyarakat Madani

PENGANTAR
Konsepsi adalah salah satu keistimewaan manusia yang diberikan oleh Allah. Menusia diberi kemampuan untuk menginterpretasikan setiap gerak-gerik, langkah, dan kejadian yang mereka alami sesuai dengan kondisi dan suasana batin yang mereka rasakan. Penyesuaian hasil interpretasi itu kemudian disempurnakan menjadi konsep-konsep yang siap diaplikasikan dalam kehidupan mereka di lapangan. Proses pembelajaran seperti inilah yang membuat manusia—secara langsung maupun tidak langsung—semakin paham akan seluk-beluk kehidupan, sehingga mereka mampu mengukuhkan eksistensi mereka di muka bumi sebagai pengelola dan pemberdaya secara utuh dan berkesinambungan.[1]

Kemampuan manusia melakukan konsepsi yang diperoleh dari hasil observasi secara langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan, menjadikan mereka sebagai makhluk terbaik yang diciptakan Allah (ahsan al-taqwîm). Ide-ide dan pikiran inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Berawal dari prakonsepsi, dilanjutkan dengan konsepsi, kemudian lahir sebuah konsep, dan diakhiri dengan aktualisasi konsep tersebut dengan tindakan-tindakan konkret.

Dalam aplikasinya, setidaknya ada dua orientasi yang terlihat kontradiktif dari tindakan-tindakan tersebut. Pertama, orientasi natural, yaitu yang didasarkan pada fitrah dan nurani manusia. Karena faktanya, Tuhan telah menciptakan fitrah dan naluri tersebut secara sama dan merata dalam diri manusia. Sehingga agama yang diturunkan pun bersesuaian dengan fitrah tersebut,[2] baik dalam konteks perseorangan maupun komunal; baik dalam konteks keyakinan (tauhid), peribadatan, maupun interaksi sosial sesama manusia. Karena itu, orientasi ini juga bisa disebut sebagai orientasi religius. 

Kedua, orientasi artifisial, yaitu yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi maupun publik belaka. Karena beragamnya kepentingan manusia, maka paling tidak hal tersebut menjadikan seseorang mencari berbagai macam cara untuk meraih obsesinya, tanpa memperhatikan norma-norma kehidupan, berikut hak-hak dan kewajibannya yang ada di dalamnya. Dampak dari hal tersebut adalah merebaknya sikap apatis dan hipokritis di tengah-tengah masyarakat. Pada ujungnya, terjadilah dikotomi interaksi sosial perubahan paradigma manusia, dari naturalis menjadi pragmatis-oportunis.

Jika dengan konsep buatannya saja manusia bisa menunjukkan eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi ini, maka bagaimana halnya jika konsep tersebut datang dari Allah, Tuhan yang menciptakan alam semesta? Inilah yang menjadi titik tolak pembahasan makalah singkat ini. Konsep yang dibawa oleh para nabi dan utusan ini adalah bentuk konkret dari kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. sebagai panduan hidup yang menuntun mereka kepada kesejahteraan dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tugas Rasulullah dalam hal ini begitu jelas, beliau hanya diutus sebagai rahmatan li al-âlamîn, itu saja.[3]

­­­­­­­­­­­­­­­­
Distorsi Konsepsi Masyarakat Madani, antara Islam dan Barat
Jika dirinci, ada dua hal yang menjadi misi diutusnya Rasulullah: pertama, mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah,  sesuai dengan fitrahnya; kedua, mengatur tatanan hidup dan sistem sosial kemasyarakatan. Kedua hal tersebut telah dilaksanakan oleh Rasulullah  secara berimbang, meskipun dengan tahapan yang berbeda. Misi pertama telah ditanamkan sejak di Mekah sebagai fondasi untuk membangun misi kedua. Sedangkan misi yang kedua, baru bisa diterapkan secara sempurna pada periode Madinah, setelah Rasulullah  hijrah dari Mekah ke Madinah.

Adapun dalam perihal ajaran, Rasulullah  pun mengajarkan kepada umatnya dua konsep relasi yang saling melengkapi, dan sama sekali tidak bisa dipisahkan antarkeduanya. Pertama, relasi vertikal, yaitu relasi manusia dengan Tuhan yang termanifestasi dalam bentuk amalan ritual keagamaan berupa ketaatan manusia dalam menjalankan perintah maupun menjauhi larangan Tuhan. Kedua, relasi horizontal, yaitu relasi manusia terhadap sesamanya yang termanifestasi dalam bentuk interaksi sosial-kemasyarakatan dengan memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Kedua konsep tersebut benar-benar diaplikasikan oleh Rasulullah  ketika ia berada di Mekah maupun Madinah. 

Dalam periode Madinah, konsep ini terlihat lebih jelas dibanding periode Mekah. Rasulullah telah menjadikan Madinah—dengan kondisi yang begitu plural, berikut dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada di dalamanya—sebagai basis untuk meletakkan fondasi keislaman dan kemasyarakatan secara inklusif. Dalam hal ini, Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu dan peradaban. Konsep inilah yang belakangan ini diistilahkan sebagai konsep masyarakat madani.[4]

Dengan demikian, istilah masyarakat madani memiliki korelasi yang begitu erat dengan masyarakat Madinah pada masa Rasulullah. Dari sini, kita bisa mengambil sebuah pendapat bahwa konsep masyarakat madani tidak hanya berkutat pada perwujudan kondisi masyarakat atau warga negara yang berperadaban secara materi (duniawi) saja. Akan tetapi, konsep masyarakat madani—sebagaimana kondisi masyarakat Madinah pada masa Rasulullah—adalah perwujudan suatu masyarakat yang memiliki basis keimanan dan keislaman yang kuat, yang kemudian dimanifestasikan dalam nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh seluruh elemen masyarakat. Kondisi seperti ini harus pula disertai dengan geliat intelektual yang tinggi, sehingga menghasilkan komunitas yang berintegritas tinggi dan berperadaban luas. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat madani yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah adalah masyarakat yang menjadikan akhirat (spirit keagamaan) sebagai fondasi, dan dunia (materi) sebagai bangunannya.

Jika demikian halnya, maka konsep masyarakat madani berbeda dengan konsep civil society (masyarakat sipil) yang baru dicetuskan oleh Barat pada abad ke 17.[5] Konsep civil society—yang kini menjadi wacana baku ilmu-ilmu sosial—pada dasarnya dipahami sebagai antitesis dari 'masyarakat politik' atau negara militer. Pemikiran ini dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci, dan lain-lain. Pemikiran tersebut tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal terhadap eksistensi negara yang cenderung menjadi alat kapitalisme. Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis, yang terlihat dengan marginalisasi peranan masyarakat pada umumnya.[6] Selain itu, konsep ini juga dicetuskan dalam upaya mereduksi kekuasaan para raja yang berkuasan atas dasar legitimasi agama.[7]

Karena itu, konsep civil society yang dipropagandakan di Barat lebih kental terlihat sebagai upaya marginalisasi peranan agama dalam segala aspek kehidupan. Nilai dan norma agama pun direduksi sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya memunculkan paham dikotomi antara negara dan agama, atau yang lebih populer disebut sekularisme.

Pada tahap selanjutnya, kata civil society yang sebenarnya memiliki terjemahan 'masyarakat sipil', pada akhirnya diterjemahkan menjadi 'masyarakat madani'. Di sinilah awal mula adanya tumpang-tindih antara konsep masyarakat madani yang telah diterapkan pada masa Rasulullah  dengan konsep civil society yang dipropagandakan Barat. Pada akhirnya, keduanya terlihat seperti satu kesatuan yang begitu utuh. Bahkan mirisnya, hal tersebut diamini oleh beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia seperti Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dan civil society adalah sama, karena kata 'madani' menunjuk pada makna peradaban dan kebudayaan, begitu juga kata 'civil' yang merujuk pada pola kehidupan yang teratur dalam lingkungan masyarakat.[8] Jika demikian adanya, maka masyarakat madani merupakan bentuk islamisasi dan nasionalisasi konsep civil society yang didengungkan Barat.
Berbeda halnya jika substansi dan karakteristik masyarakat madinah pada masa Rasulullah—yang kemudian diintegralkan menjadi masyarakat madani—dikomparasikan dengan substansi dan karakteristik civil society. Ranah distingsinya pun begitu mendasar, ibarat air dan minyak. Sebab keduanya memiliki orientasinya masing-masing, sehingga tidak mungkin mengintegrasikan dua hal yang sangat berbeda. Jika masyarakat madani menitikberatkan orientasinya pada pencapaian kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan agama (al-Qur'an dan Hadis), maka civil society berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan kepentingan. Dalam hal ini, nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat madani tentu tidak bisa disamakan dengan nilai dan norma dalam civil society. Jika kemajuan peradaban, menurut civil society, adalah kemajuan yang bersifat materi (al-taqaddum al-mâddy) an sich, maka kemajuan peradaban menurut masyarakat madani tidak hanya bersifat materi, melainkan diiringi pula dengan kemajuan spiritual-keagamaan (al-taqaddum al-maʻnawy wa al-rûhy).[9]
Dengan demikian, masyarakat madani yang pernah diterapkan oleh Rasulullah di madinah tidak mungkin disamakan dengan civil society yang tumbuh dan berkembang di Barat. Selain keduanya memiliki substansi dan karakteristik yang berbeda, orientasi yang dituju oleh masing-masing pihak juga berbeda.
PEMBAHASAN
Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.[10] Jika ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah  di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian. 

Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahim—yang saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September 1995. Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan memahami.[11] Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).

Kemudian di dalam ranah pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan, hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi nilai-nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani terhadap konsep civil society mengindikasikan kalau diskursus tersebut mengalami pembiasan esensi dan proses integrasinya pun cenderung kompulsif. Inilah kemudian yang menjadi alas an utama betapa perlunya menghadirkan kembali dan menarasikan secara utuh, ide-ide dalam masyarakat madani yang pernah diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam pembahasan ini. Sehingga tidak ada lagi tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak terhadap diskursus ini.

Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah
Dengan kondisi geografis yang cukup subur, jauh sebelumnya lahir masyarakat madani, Madinah telah ditempati oleh masyarakat plural yang terdiri dari beragam suku dan aliran kepercayaan. Daerah tersebut dulunya bernama Yatsrib, yang kemudian diganti menjadi Madînah al-Rasûl—atau yang lebih popular disebut Madinah saja—setelah Rasulullah tiba di sana.[12] Setidaknya ada delapan suku yang eksis ketika Rasulullah  tiba di Madinah.[13] Selain itu, pada masing-masing suku terdapat beragam aliran kepercayaan; seperti penganut agama Islam, penganut agama Yahudi, dan penganut paganisme. Dengan kondisi yang amat plural, dari sini akan terlihat jelas bagaimana Rasulullah merancang sebuah konsep yang sangat ideal dalam rangka membangun masyarakat madani.

Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana Rasulullah—yang baru tiba di Madinah, berikut sambutan masyarakat Madinah yang begitu antusias dengan kedatangan Rasul—langsung melakukan konsolidasi dengan penduduk setempat. Dalam hal ini, Rasulullah sebagai seorang pemimpin, melihat secara jelas tiga tipologi masyarakat Madinah dalam perspektif keyakinan dan aliran kepercayaannya.[14] Pertama, penganut agama Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika di Mekah, hak-hak dan kebebasan kebebasan kaum muslimin dalam beribadah dan berinteraksi sosial dipasung sedemikian rupa, berikut ketiadaan basis dan kekuatan untuk melakukan konsolidasi dan proses islamisasi. Maka keadaan di Madinah berbalik 180° dari keadaan di Mekah, kini mereka memiliki basis dan kekuatan yang mumpuni—di samping melakukan konsolidasi dan proses islamisasi—untuk menggerakkan dan mengelola berbagai sektor kehidupan bermasyarakat dan bernegara; seperti sektor ekonomi, politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.  
 
Kedua, penganut agama Yahudi, yang terdiri dari tiga kabilah besar, yaitu Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha. Ketiga kabilah inilah yang dulu menghegemoni konstelasi politik dan perekonomian di Madinah, hal tersebut disebabkan karena keahlian dan produktivitas mereka dalam bercocok tanam dan memandai besi.[15] Sementara kabilah-kabilah Arab yang lain masih hidup dalam keadaan nomadik, atau karena keterbelakangan mereka dalam hal tersebut. Adapun imbasnya adalah pengaruh mereka yang begitu besar dalam memainkan peranannya yang cenderung destruktif dan provokatif terhadap kabilah-kabilah selain mereka. Hal tersebut berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga akhirnya Rasulullah tiba di Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi yang oportunistis tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang konstruktif dan solutif.

Ketiga, penganut paganisme, dalam hal ini yang dimaksud adalah komunitas masyarakat Madinah yang masih menyembah berhala seperti halnya penduduk Mekah. Di dalam buku-buku sejarah, komunitas ini disebut kaum musyrik. Mereka inilah yang masih mendapati keraguan dalam diri mereka untuk mempercayai dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Namun pada akhirnya komunitas tersebut masuk Islam secara berbondong-bondong terutama pascaperang Badar. 
 
Setelah membaca dan memahami karakter ketiga golongan tersebut, barulah Rasulullah melakukan konsepsi—yang tidak lain merupakan wahyu—yang dilanjutkan dengan aktualisasi konkret terhadap konsep tersebut. Jika orientasi dakwah Rasulullah di Mekah adalah memperkokoh akar keimanan para pengikutnya, maka orientasi Rasulullah di Madinah adalah membangun tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan penegakan syariat Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi pembangungan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung Islam, berikut nilai dan norma yang ada pada al-Qurʼan dan petunjuk Nabi. Sementara terkait dengan penganut kepercayaan lain, seperti kaum Yahudi dan kaum Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan untuk memperkokoh stabilitas sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Madinah.

Tiga Karakteristik Masyarakat Madani
Jika dicermati secara komprehensif, maka di dalam ajaran Islam terdapat karakteristik-karakteristik universal baik dalam konteks relasi vertikal, maupun relasi horizontal. Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi mencatat, ada tujuh karakteristik universal tersebut, yang kemudian ia jelaskan secara spesifik di dalam bukunya al-Khashâ'ish al-ʻAmmah li al-Islâm. Ketujuh karakteristik tersebut antara lain; ketuhanan (al-rabbâniyah), kemanusiaan (al-insâniyyah), komprehensifitas (al-syumûliyah), kemoderatan (al-wasathiyah), realitas (al-wâqi`iyah), kejelasan (al-wudhûh), dan kohesi antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam’ bayna al-tsabât wa al-murûnah).

Ketujuh karakteristik inilah yang kemudian menjadi paradigma integral setiap Muslim dari masa ke masa. Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik fundamental yang menjadi tolak ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insâniyyah) dan kemoderatan (al-wasathiyyah). lima karakteristik yang lain—kecuali al-rabbâniyyah—setidaknya bisa diintegrasikan ke dalam kategori toleran (al-samâhah). Karena al-rabbâniyah, menurut al-Qaradhawi, merupakan tujuan dan muara dari masyarakat madani itu sendiri.[16] Pengintegrasian karakteristik-karakteristik tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menyederhanakan konsep masyarakat madani yang dibahas dalam makalah ini, sebab Islam sendiri—menurut Umar Abdul Aziz Quraysy—merupakan agama yang sangat toleran, baik di dalam masalah akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya.[17]
 
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik keislaman yang menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani, yaitu Islam yang humanis, Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.
  
1.      Islam yang Humanis
Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman, "Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."[18]
 
Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah  dengan mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.

Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa manusia—berdasarkan fitrahnya—memiliki tendensi untuk melakukan hal-hal yang bersifat konstruktif dan destruktif sekaligus. Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang terpuji dan mana yang tercela.[19]
 
Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai sosok egois dan pragmatis, sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek sosial dengan mengatasnamakan kebebasan personal; kaum sosialis melakukan sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri hak-hak personal dengan mengatasnamakan kepentingan sosial. Di sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial, memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia.[20] Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang, sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan universal.[21]

Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah bagaimana Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri dan tabiat manusia itu sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun komunal. Manusia juga telah diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk Allah lainnya.[22] Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Isrâ’ ayat 23-34.[23]
  
2.      Islam yang Moderat
Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada dimensi vertikal (al-wasathiyah al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah  dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah  diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawâzun (keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional).[24] Dalam hal ini Allah  menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.[25]
 
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."[26]

Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik fundamental Islam sebagai agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya sangat kompatibel dengan naluri dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga yang membuat Islam dengan mudah diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui atau tidak, nilai-nilai kemoderatan inilah yang menjadi lambang supremasi universalitas ajaran Islam sebagai agama penutup, yang mengabolisikan ajaran Yahudi yang memiliki tendensi ekstremis dengan membunuh para Nabi dan Rasul yang Allah utus kepada mereka,[27] sedangkan ajaran Nasrani memiliki tendensi eksesif dengan menuhankan Nabi Isa al-Masih dan lain-lain.[28]  

Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan.[29] Konsep integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga lambat laun konsep tersebut menjadi identitas eternal keislaman yang diajarkan Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat percontohan bagi siapa saja yang datang setelahnya.

Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salâm al-ʻÂlamy wa al-Islâmy mengamini bahwa keseimbangan sosial (al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi utama guna mewujudkan keadilan sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di tengah-tengah masyarakat. Nilai keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk mewujudkan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat madani.[30]  
  3.      Islam yang Toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah atau al-tasâmuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul atau al-luyûnah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri.[31] Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim). 

Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  Sebab pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk dipahami maupun diaktualkan. Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.

Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn yang shâlih li kulli zamân wa makân, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Sehingga di dalam perjalanannya, banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah berfirman, "Allah tidak membebani seseorang hamba, melainkan pembebanan tersebut sesuai dengan kesanggupannya."[32] Demikian juga teks al-Qur'an yang mengatakan, "Allah hanya menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran sedikit pun."[33] Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia mengatakan, "Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah."[34]  

Adapun teks-teks dari Hadis mengenai keringanan dan kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muʻadz dan Abu Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi berpesan, "Permudahlah, jangan mempersulit."[35] Masih dalam konteks yang sama, Nabi bahkan mengafirmasi bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas.[36] Di samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan, "Tidak pernah Nabi diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak ada larangan untuk hal tersebut."[37]

Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas ajaran Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi bukti eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarahkan kepada kekerasan dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua hal; pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur.[38] Hal tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan yang gemilang. Kedua, sikap kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar. Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya rasa iba hati dan belas kasih, sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan.[39] Sikap kompulsif ini tiada lain merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.

Pada tataran aplikasi realnya, jika kita cermati hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita juga akan mendapati berbagai indikasi augmentatif yang—secara tidak langsung—mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang berbentuk konkret maupun abstrak; atau perintah untuk membangkitkan kepekaan sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas.[40] Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia banyak.[41] Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu dan melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi mereka di dunia ini.[42]

Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah  berfirman, "Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan ketentuan yang sesuai."[43] Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga."[44]
 
Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama, dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan[45]; kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata;[46] ketiga, dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak prerogatif Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan agama.[47]
 
SIMPULAN
Dengan demikian, ketiga karakteristik Islam yang diaktualkan oleh Rasulullah pada masyarakat Madinah benar-benar menjadi manifestasi Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn. Dari ketiga karakteristik inilah prinsip-prinsip agung Islam diturunkan, dan dijadikan sebagai dasar konstitusi untuk membangun masyarakat madani dalam perspektif Islam. Pada akhirnya, masing-masing karakteristik tersebut memiliki keistimewaan dan peran tersendiri dalam upaya untuk membangun tatanan masyarakat madani. Jika karakter yang pertama dan kedua berfungsi untuk menyolidkan barisan intern kaum Muslimin, maka karakteristik yang ketiga, selain mengukuhkan, juga berfungsi untuk merangkul segenap pemeluk agama lain untuk sama-sama membangun tatanan masyakarat yang menjunjung nilai-nilai peradaban dan kemajuan, dengan orientasi kulminatik yaitu orientasi rabbani. Sehingga titik akhir dari diskursus ini adalah bahwasanya karakteristik masyarakat Madinah yang paling fundamental adalah masyarakat yang memegang teguh prinsip agung Islam.

Selanjutnya apa yang yang telah dipaparkan dalam diskursus ini hanyalah secuil dari apa yang semestinya harus dinarasikan guna mengungkap hakikat Islam yang telah lama luput atau memang sengaja dibiaskan agar jejaknya hilang dimakan zaman. Berbagai cara dilakukan untuk mengaburkan konsep Tuhan yang Maha Sempurna untuk mengatur tatanan umat manusia, dengan memutarbalikkan konsepsi Tuhan dengan konsep buatan manusia yang dicetuskan di Barat maupun yang lain. Bahkan tidak hanya itu, berbagai tuduhan dan pelecehan dilemparkan kepada konsepsi Tuhan (dalam konteks akidah, syariat, dan muamalahnya) sebagai upaya untuk meredupkan riak-riaknya di berbagai belahan bumi. Apalagi khalayak semakin dipersulit untuk mendapatkan penjelasan yang sebenarnya mengenai konsep Tuhan tersebut, dengan berpangkunya khalayak pada cendekiawan-cendekiawan muslim imitatif dan hegemoni media-media massa yang—di dalam pemberitaannya—memiliki tendensi untuk mereduksi nilai-nilai dan norma kehidupan.

Lantas bagaimanakah seyogianya seorang muslim bersikap dalam menghadapi tuduhan miring terhadap agamanya tersebut? Mengenai hal ini, Umar Abdul Aziz Quraysyi mengatakan bahwa satu-satunya cara adalah menjelaskan kepada khalayak hakikat Islam yang sesungguhnya dan mengklarifikasi semua hal yang selama ini dianggap tabu mengenai Islam. Allah berfirman kepada Nabi, "Kami menurunkan al-Qur'an kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa  yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir."[48] Adapun mengenai sikap defensif, maka hal tersebut tidak dibenarkan oleh wahyu maupun nalar manusia. Sebab konsepsi Tuhan sama sekali tidak butuh pada pembelaan manusia. Bahkan hal tersebut bisa mereduksi esensi akidah jika terbesit dalam keyakinan, kalau konsepsi Tuhan butuh pembelaan terhadap apa yang dilontarkan manusia.[49] Jadi inilah upaya penulis dalam rangka ikut serta menjelaskan hakikat Islam kepada khalayak mengenai konsepsi masyarakat madani. Akhirnya penulis hanya bisa meminjam perkataan Nabi Syuʻayb yang diabadikan oleh Allah di dalam surat Hûd ayat 88, "Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan kebaikan semampuku. Dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan kembali." 

(Artikel ini dimuat di Jurnal HIMMAH PPMI Mesir volume 7, nomor 2, Agustus 2012)   

 DAFTAR PUTAKA  
  1. Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 2002. ʻAzhamah al-Islâm. Kairo: Maktabah al-Usrah.
  2. Al-ʻArabiyah. Majma’ al-Lughah. 2010. al-Muʻjam al-Wasîth. Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawliyah.
  3. Al-Fayruzabadi, Muhammad. 2010. al-Qâmûs al-Muhîth. Kairo: Mu’assasah al-Mukhtâr.
  4. Al-Mabarkafury, Shafy al-Rahman. 2008. al-Rahîq al-Makhtûm. Kairo: Dâr al-Wafâ.
  5. Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. al-Khashâ’ish al-ʻAmmah li al-Islâm. Kairo: Maktabah Wahbah.
  6. ________. 2007. al-Dîn wa al-Siyâsah; Ta'shîl wa Radd Syubhât. Kairo: Dâr al-Syurûq.
  7. Al-Sirjany, Raghib. 2010. Fann al-Taʻâmul al-Nabawy maʻa ghayri al-Muslimîn. Kairo: Dâr Aqlâm.
  8. Amin, Ahmad. 2009. Fajr al-Islâm. Kairo: Dâr al-Syurûq.
  9. Anon. 2012. "Masyarakat Madani". http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm (dikunjungi 19 Maret 2012).
  10. Anon. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline. http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi (dikunjungi 19 Maret 2012).
  11. Basya, Ahmad Fuʼad. 2005. "Muqaddimah Nazhariyyah al-Hadhârah fi al-Islâm" dalam Mawsûʻah al-Hadhârah al-Islâmiyyah. Kairo: Wizârah al-Awqâf.
  12. Hidayat, Mansur. 2008. "Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani" dalam Jurnal Komunitas, Vol. 4 (1) 2008, hal. 10-13.
  13. ʻImarah, Muhammad. 2010. al-Samâhah al-Islâmiyah wa Huqûq al-Insân. Kairo: Dâr al-Salâm.
  14. Jamaluddin, Muhammad. 2011. "Konsep Negara Ideal dalam Persperktif Islam" dalam Jurnal Himmah PPMI Mesir, Vol. 6 (1), hal. 3-22.
  15. Katsir, Ibnu. 2003. Tafsîr al-Qur’ân al-ʻAzhîm. Kairo: Dâr al-Hadîts.
  16. Khaldun, Ibnu. 2008. Muqaddimah Ibn Khaldûn. Kairo: Dâr al-ʻAqîdah.
  17. Quraysyi, Umar Abdul Aziz. 2011. Samâhah al-Islâm. Kairo: Dâr al-Salaf al-Shâlih.
  18. Quthb, Sayyid. 2010. al-Salâm al-ʻÂlamy wa al-Islâmy. Kairo: Dâr al-Syurûq.
  19. Thanthawi, Muhammad Sayyid. tt. Tafsîr al-Wasîth li al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: Dar al-Saʻâdah.
 

[1] Sesuai dengan beberapa ayat di dalam al-Qur'an, di antaranya surat al-Baqarah ayat 30.
[2]  Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Rûm ayat 30.
[3] Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Anbiyâʼ ayat 107.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[5] Muhammad Jamaluddin, Konsep Negara Ideal dalam Perspektif Islam, (Jurnal HIMMAH, vol. 7, no. 1, Februari 2012), hal. 15.
[6] "Masyarakat Madani", http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm (dikunjungi 19 Maret 2012).
[7] Muhammad Jamaluddin, Loc.Cit., 16.
[8] Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10-13.
[9] Ahmad Fu'ad Basya, Muqaddimah Nazhariyyah al-Hadhârah fi al-Islâm (ed), Mawsûʻah al-Hadhârah al-Islâmiyyah, (Kairo: Wizârah al-Awqâf, 2005), hal. 15.
[10] Mansur Hidayat, Loc.Cit., 10.
[11] Ibid, 12.
[12] Shafy al-Rahman al-Mabarkafury, al-Rahîq al-Makhtûm, (Kairo: Dâr al-Wafâ, cet. XXI, 2010), hal. 162. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Kairo: Dâr al-`Aqîdah, 2008), hal. 387.
[13] Kedelapan suku tersebut merupakan kesimpulan dari suku-suku yang disebutkan di dalam Traktat Madinah. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk Muhammad ʻImarah, al-Samâhah al-Islâmiyah wa Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2010), hal. 67-71.
[14] Shafy al-Rahman al-Mabarkafury, Op.Cit., 169-171.
[15] Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (ed), (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2009), hal. 50.
[16] Yusuf al-Qaradhawi, al-Khashâ’ish al-ʻAmmah li al-Islâm, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. VII, 2008), hal. 52.
[17] Untuk lebih jelasnya lihat Umar Abdul Aziz Quraysyi, Samâhah al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Salaf al-Shâlih, cet. VI, 2011), hal. 34-37.
[18] (Q.S. al-Rûm: 30).
[19] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, ʻAzhamah al-Islâm, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2002), vol. 1, hal. 21-22.
[20] Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., 70.
[21] Ibid, 81.
[22] Di antara kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia adalah perihal manusia sebagai makhluk yang mulia dan paling sempurna, dijadikan sebagai Khalifah di muka bumi, diberikan izin untuk mengeksploitasi bumi seisinya, diberikan berbagai macam kenikmatan baik yang konkret maupun yang abstrak, diutusnya para Rasul kepada manusia, berikut kitab-kitab suci yang mengirinya, dikaruniai akal, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya, silakan lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Dîn wa al-Siyâsah; Ta'shîl wa Radd Syubhât (ed), (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2007), hal.190.
[23]  Ayat ini menginstruksikan kepada manusia untuk menggabungkan antara relasi vertikal dan relasi horizontal. Jika karakteristik tersebut telah diaplikasikan secara sempurna oleh setiap masyarakat, maka akan tumbuh masyarakat paripurna yang yang diidamkan-idamkan oleh setiap manusia (al-mujtama al-kâmil al-mansyûd). Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit., 38-41.
[24] Majma’ al-Lughah al-ʻArabiyah, al-Muʻjam al-Wasîth, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawliyah, cet. V, 2010), hal. 1074. Lihat juga Yusuf al-Qaradhawi, al-Khashâʼish al-ʻAmmah li al-Islâm, hal. 115. Begitu juga al-Fayruzabady, al-Qâmûs al-Muhîth, (Kairo: Mu'assasah al-Mukhtâr, cet. II, 2010), hal. 640.
[25] Sebagaimana Allah  berfirman kepada umat Islam, "Dan demikianlah Kami telah menjadikan kalian—wahai umat Islam—sebagai umat yang moderat agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia, demikian pula Rasulullah menjadi saksi atas perbuatan kalian." (QS. al-Baqarah ayat 143).
[26] Shahîh Muslim no. 2720.
[27] Sebagaimana Allah menceritakan di dalam berbagai ayat perihal kaum Yahudi yang membunuh para Nabi dan Rasul yang diutus kepada mereka, di antaranya surat al-Baqarah ayat 61.
[28] Sesuai dengan interpretasi para ulama terhadap surat al-Mâ’idah ayat 116. Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-ʻAzhîm, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003), vol. 2, hal. 151. Begitu juga Muhammad Sayyid Thanthawy, Tafsîr al-Wasîth li al-Qurʼân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Saʻâdah, tt), vol. 4, hal. 348.
[29] Yusuf al-Qaradhawi, al-Khashâʼish al-ʻAmmah li al-Islâm, Op.Cit., 119-122.
[30] Sayyid Quthb, al-Salâm al-ʻÂlamy wa al-Islâmy, (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. XV, 2010), hal. 129.
[31] al-Fayruzabady, Op.Cit., 197. Lihat juga Majma` al-Lughah al-ʻArabiyah, Op.Cit., 465.
[32] (Q.S. al-Baqarah: 286).
[33] (Q.S. al-Baqarah: 185).
[34] (Q.S. al-Nisâʼ: 28).
[35] Shahîh al-Bukhâri no. 6124.
[36] Ibid, no. 39.
[37] Ibid, no. 6126.
[38] Lihat substansi firman Allah pada surat al-Tawbah ayat 153.
[39] Lihat substansi firman Allah dalam surat al-Nûr ayat 2.
[40] Umar Abdul Aziz Quraysy, Op.Cit., 34.
[41] Lihat misalnya surat al-Tawbah ayat 105. Begitu juga seruan agar terus bekerja guna menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dalam surat al-Qashash ayat 77 dan surat al-Jumuʻah ayat 10.   
[42] Lihat misalnya surat al-Mujâdilah ayat 11, al-Zumar ayat 9, dan al-Anʻâm ayat 50.
[43] (Q.S. al-Anʻâm: 151).
[44] Raghib al-Sirjany, Fann al-Taʻâmul al-Nabawy maʻa Ghayri al-Muslimîn, (Kairo: Dâr Aqlâm, cet. II, 2010), hal. 22.
[45] Lihat surat al-Isrâ' ayat 70.                                      
[46] (Q.S. Yûnus: 99).
[47] Umar Abdul Aziz Quraysyi, Op.Cit., 109-111.
[48] (Q.S. al-Nahl: 44).
[49] Umar Abdul Aziz Quraysyi (ed), Op.Cit., 133.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India